Terowongan Neyama: Perbedaan antara revisi
Konten dihapus Konten ditambahkan
k →Terowongan Neyama 1: memperjelas |
→Sejarah: penambahan info |
||
Baris 5:
== Sejarah ==
===
Hingga masa pendudukan Belanda di Indonesia, terdapat dua rawa di Tulungagung bagian selatan, yakni Rawa Bening dan Rawa Gesikan yang total luasnya mencapai 3.000 hektar. Di musim hujan, luas dari dua rawa tersebut dapat mencapai 25.000 hektar,<ref name="clap"/> akibat meluapnya Sungai Ngasinan, Sungai Tawing, dan Sungai Dawir, sehingga oleh masyarakat setempat disebut sebagai wilayah [[Campurdarat, Tulungagung|campur darat]]. Meluapnya tiga sungai tersebut antara lain disebabkan karena Sungai Brantas juga mengalami [[sedimentasi]] akibat letusan [[Gunung Kelud]], sehingga air dari tiga sungai tersebut tidak dapat ditampung oleh Sungai Brantas. Angkatan Laut Belanda pun memanfaatkan dua rawa tersebut sebagai salah satu markas bagi [[pesawat terbang laut]] miliknya.
Pada tahun 1916, telah muncul gagasan untuk mengalirkan air dari tiga sungai tersebut ke Samudra Hindia guna mengatasi banjir di Tulungagung bagian selatan, tetapi belum dapat terlaksana. Pada tahun 1939, perencanaan untuk mengatasi banjir mulai disusun oleh seorang insinyur berkebangsaan [[Belanda]], yakni [[H. Vlughter]]. Ia lalu menghasilkan perencanaan berupa mengalirkan sebagian air Sungai Ngasinan dan Sungai Tawing ke Rawa Bening dan Rawa Gesikan, agar tidak semuanya mengalir ke [[Sungai Brantas]]. Dengan mengubah aliran dari dua sungai tersebut, banjir yang disebabkan oleh dua sungai tersebut diharapkan dapat berkurang, sehingga memungkinkan pembukaan lahan pertanian baru dan mengurug Rawa Gesikan secara alami dengan memanfaatkan [[sedimen]] yang terbawa oleh dua sungai tersebut.<ref name="clap">{{cite magazine | date= 1983 | title= Proyek Drainasi Tulungagung | url= https://sibima.pu.go.id/vid/clapeyron_ugm/clapeyron_ugm/1983_VOL.16_CLAPEYRON.pdf | magazine= Clapeyron | location= Yogyakarta |publisher= Keluarga Mahasiswa Teknik Sipil UGM | access-date= 8 Januari 2023}}</ref>
Infrastruktur yang kemudian dibangun oleh pemerintah Hindia Belanda untuk mewujudkan rencana
=== Terowongan Neyama Lama ===
Baris 22:
=== Terowongan Neyama 1 ===
Pada tahun 1956, Dinas Pekerjaan Umum Provinsi Jawa Timur mengusulkan pembangunan Parit Raya untuk mengalirkan air Sungai Ngasinan dan Sungai Tawing ke Samudra Hindia, agar tidak semuanya mengalir ke [[Sungai Brantas]]. Pemerintah Indonesia lalu menunjuk [[Nippon Koei]] untuk melakukan survei. Nippon Koei kemudian menyimpulkan bahwa untuk menembus bukit yang ada di Tulungagung bagian selatan, terowongan lebih cocok untuk dibangun daripada saluran air, karena tidak perlu menggali tanah dalam jumlah yang banyak. Nippon Koei pun mengusulkan pembangunan terowongan berdiameter 7,2 meter sepanjang 1.000 meter untuk mengalirkan sebagian air Sungai Ngasinan dan Sungai Tawing ke Samudera Hindia
Terowongan lalu mulai dibangun pada tahun 1959 oleh [[Kajima]] dengan menggunakan dana [[pampasan perang]] dari Jepang sebanyak US$ 2 juta. Pada tanggal 31 Agustus 1960, [[Asahi Shimbun]] memuat berita berjudul "''Successful Reparations Work in Indonesia''" yang menyatakan bahwa terowongan telah selesai digali pada tanggal 3 Agustus 1960 dan mulai dilapisi dengan beton. Terowongan direncanakan selesai pada bulan Maret 1961. Asahi Shimbun juga menyatakan bahwa harga tanah di sana telah naik tiga kali lipat.<ref name="jica4"/> Selain itu, juga dilakukan pembangunan [[Bendung Bendo]] untuk mengalirkan air Sungai Ngasinan ke Parit Raya dan [[Pintu Air Kendal]] untuk mengatur debit air Rawa Bening yang dialirkan ke Parit Raya.<ref name="clap"/>
Setelah
Setelah terowongan selesai dibangun, masyarakat juga menjadi berminat untuk makin memperkecil luas Rawa Bening dan Rawa Gesikan. Secara
=== Terowongan Neyama 2 ===
|