Perang Tondano: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
Tag: Dikembalikan Suntingan perangkat seluler Suntingan peramban seluler
k Suntingan 101.128.126.130 (bicara) dibatalkan ke versi terakhir oleh InternetArchiveBot
Tag: Pengembalian
Baris 1:
'''Perang Tondano''' adalah perang yang berlangsung antara [[Suku Minahasa]] dengan [[Republik Batavia|Pemerintah Kolonial Spanyol dan PerancisBelanda]] pada tahun 1661-1664 dan 1808-1809 yang berlangsung di [[Walak]] [[Walak tondano|Tondano]] atau sekarang bernama [[Tondano (kota)|Tondano]].''{{Sfn|Supit|1991|p=1}}''
 
== Perang Tondano I ==
Perang ini terjadi pada periode tahun 1661 sampai 1664. Perang ini terjadi karena ambisi Spanyol[[Vereenigde Oostindische Compagnie]] (VOC) untuk memonopoli beras di semua kawasan Walak Minahasa yang akhirnya ditandai dengan pembangunan pusat pemukiman yang bernama ''Minawanua'' pada tahun 1644''.{{Sfn|Supit|1991|p=1}} 'Minawanua'' memiliki makna bekas [[wanua]] yang kata ''mina'' bermakna sudah tiada sebagai penggambaran bahwa wilayah ini telah tiada akibat keganasan perang yang terjadi kala itu. {{Sfn|Supit|1991|p=iv-v}} Peperangan ini dimulai pada tanggal 1 Juni 1661 dengan beranggotakan 1400 pasukan yang juga diikuti para perempuanperempyan minahasa yang berlangsung di atas perairan dan rawa.<ref>{{Cite web|last=Igir|first=Biondy|date=4 Mei 2018|title=Sejenak di Benteng “Genangan Darah” Moraya|url=https://pauddikmassulut.kemdikbud.go.id/berita-380-sejenak-di-benteng-%E2%80%9Cgenangan-darah%E2%80%9D--moraya.html|website=pauddikmassulut.kemdikbud.go.id|language=Indonesia|access-date=23 Januari 2022}}</ref> Para pasukan ini menaiki ratusan perahu yang mampu ditumpangi empat sampai lima orang beserta peralatan perang, tapi tetap mampu bergerak di atas air serta rumput-rumput rawa dengan kencang dan sigap.<ref>{{Cite news|last=Lasut|first=Tommy A|date=10 Agustus 2016|title=Sejarah Perang Tondano, kisah heroik warga Minahasa Spanyolmelawan Belanda|url=https://www.merdeka.com/peristiwa/sejarah-perang-tondano-kisah-heroik-warga-minahasa-melawan Spanyol-belanda.html|work=[[Merdeka.com]]|language=id|access-date=23 Januari 2022|editor-last=Pratomo|editor-first=Yulistyo}}</ref> Selain perahu-perahu yang juga dilengkapi meriam-meriam di atasnya, pasukan Tondano ini juga memiliki rakit-rakit yang berukuran besar sebagai transportasi dalam peperangan yang berlangsung selama berbulan-bulan dan mengorbankan banyak korban jiwa dari kedua pihak. Ada beberapa tokoh Tondano yang menjadi terkenal dalam peperangan ini yaitu, Kawengian, Wengkang, Gerungan, Nelwan, Tawaluyan dan Rumambi. Namun, tak hanya Tondano, Tokoh Wilayah [[Remboken, Minahasa|Remboken]] seperti Kentei, Tellew, Tarumetor, serta Wangko dari kakas juga merupakah tokoh dalam peperangan ini. {{Sfn|Wuntu|2002|p=24-25}}Selain diperangi dengan beberapa pasukan, SpanyolVOC juga melakukan pembendungan Sungai Temberan sehingga membanjiri tempat tinggal masyarakat. Minahasa pun melawan usaha ini dengan membangun tempat tinggal mereka menjadi rumah apung di sekitar [[Danau Tondano]].<ref name=":1">{{Cite news|last=Ningsih|first=Widya Lestari|date=10 Januari 2021|editor-last=Nailufar|editor-first=Nibras Nada|title=Perang Tondano I: Latar Belakang, Jalannya Perang, dan Akhir|url=https://www.kompas.com/stori/read/2021/10/01/100000579/perang-tondano-i-latar-belakang-jalannya-perang-dan-akhir|work=[[Kompas.com]]|language=id|access-date=22 Januari 2002}}</ref>
 
Suatu hari sebagai upaya untuk menekan Tondano agar menghentikan perang dan menjadikan mereka sebagai pihak yang kalah, pihak SpanyolV O.C mengirimkan sebuah ekspedisi yang dipimpin oleh [[Daftar Gubernur Maluku|Simon Cos]] . Dia yang ditemani beberapa pemimpin wilayah Minahasa yang ikut membelot mengunjunggi beberapa walak untuk mencari bantuan sekaligus membawa [[kora-kora]] hingga ke wilayah perbentengan Tondano. Sesudah sampai di Tondano, pihak SpanyolV.O.C pun menyampai tiga ultimatum yang berisi:{{Sfn|Wuntu|2002|p=25-26}}
 
# Memerintahkan warga Tondano untuk memindahkan tempat tinggal mereka dari wilayah rawa ke daratan
# Menyerahkan para pemimpin-pemimpin rakyat kepada pihak SpanyolV.O.C
# Mengganti rugi semua kerugian yang terjadi selama perang sekaligus pasokan beras yang berkurang akibat perang yang terjadi
 
Pihak Tondano tidak menerima ultimatum ini dan kembali mengobarkan perang yang sempat berhenti dan berakhir dengan kekalahan Cos yang mundur kembalik ke Manado.<ref name=":1" />
 
Pada tahun 1663, warga Tondano melakukan serangan balasan yang dibantu oleh Pendeta [[Yesuit]] dari Spanyol, Pater de Miedes yang memasok [[bubuk mesiu]] serta keperluan lain untuk melakukan penyerangan ini. Tondano menyerang SpanyolV.O.C dengan membawa 5 kapal penyerang menuju Manado. Akan tetapi, pihak Spanyol harus kembali ke Filipina karena harus menghadapi ancaman [[Perompakan|bajak laut]] Tionghoa sehingga pada tanggal 2 Juni 1663, pihak Spanyol kembali ke [[Manila]]. Mundurnya Spanyol serta pasokan beras yang menumpuk membuat pihak Tondano akhirnya menuruti ultimatum poin pertama dengan memindahkan kampung mereka yang berada di atas air setelah membakarnya ke tempat yang telah ditentukan SpanyolBelanda.<ref>{{Cite web|last=Mukthi|first=M.F|date=9 September 2015|title=Orang Tondano Melawan SpanyolKompeni|url=https://historia.id/kuno/articles/orang-tondano-melawan-Spanyolkompeni-PKNKG|website=Historia|language=id-ID|access-date=23 Januari 2022}}</ref>
 
== Perang Tondano II ==
Baris 18:
=== Penyebab perang ===
 
==== ''Verbond'' 1016 Januari 1679 ====
Asal usul penyebab perang ini bermula dari sebuah ''Verbond'' atau perjanjian antara para ''Ukung'' Minahasa dan Belanda pada tanggal 10 Januari 1679 di Benteng Amsterdam.{{Sfn|Wenas|2007|p=44-45}} Perjanjian ini mengandung beberapa poin yang akan disetujui oleh beberapa perwakilan Ukung Minahasa, seperti Ukung dari [[Walak]] Ares, [[Klabat, Dimembe, Minahasa Utara|Klabat]], Bantik, [[Maumbi, Kalawat, Minahasa Utara|Klabat-Atas (Maumbi)]], [[Kakaskasen, Tomohon Utara, Tomohon|Kakaskasen]], [[Kota Tomohon|Tomohon]], [[Tombariri, Minahasa|Tombariri]], [[Sarongsong Satu, Airmadidi, Minahasa Utara|Sarongsong]], [[Sonder, Minahasa|Tounkimbut Bawah (Sonder)]], [[Kawangkoan, Minahasa|Tounkimbut-Atas (Kawangkoan)]], [[Rumoong Atas, Tareran, Minahasa Selatan|Rumoong]], [[Tombasian Atas, Kawangkoan Barat, Minahasa|Tombasian]], [[Langowan Timur, Minahasa|Langoan]], [[Kakas, Minahasa|Kakas]], [[Remboken, Minahasa|Remboken]], [[Tompaso, Minahasa|Tompasso]], [[Tondano (kota)|Tondano]], [[Tonsea]], [[Kota Manado|Manado]], [[Tonsawang, Tombatu, Minahasa Tenggara|Tonsawang]], [[Pasan, Minahasa Tenggara|Pasan]], [[Ratahan, Minahasa Tenggara|Ratahan]] dan [[Belang, Minahasa Tenggara|Ponosakan]]<ref>{{Cite web|last=Lumoindong|first=David DS|date=14 Maret 2021|title=Perjanjian VOC Dan Negara-Negara Perserikatan (Minahasa) dan Kerajaan di Minahasa Tenggara|url=https://kanalsulsel.com/perjanjian-voc-dan-negara-negara-perserikatan-minahasa-dan-kerajaan-di-minahasa-tenggara/|website=Kanal Sulsel|language=id-ID|access-date=25 Januari 2022|archive-date=2022-01-25|archive-url=https://web.archive.org/web/20220125052554/https://kanalsulsel.com/perjanjian-voc-dan-negara-negara-perserikatan-minahasa-dan-kerajaan-di-minahasa-tenggara/|dead-url=yes}}</ref> Pada saat perjanjian berlangsung, ada tiga orang yang bertugas sebagai [[juru bicara]] , yaitu Ukung Maondi (Mandey), Pacat Supit Sahiri Macex , dan Pedro Rantij (Ranti) dan dari pihak Belanda, yaitu [[Daftar Gubernur Maluku|Robertus Padtbrugge]] yang mewakili [[Rijcklof van Goens|Rijckloff van Goens]] serta [[Dewan Hindia]] yang mewakili de [[Vereenigde Oostindische Compagnie|Nederlandsche g’octroyeerde Oost Indische]] dengan Bastian Sawaij selaku penerjemah.<ref name=":0">{{Cite web|last=Tanod|first=Meiyer|date=14 Januari 2018|title=Kisah Supit Lontoh dan Paat|url=http://www.beritanusantara.co.id/kisah-supit-lontoh-dan-paat/|website=beritanusantara.co.id|language=id-ID|access-date=25 Januari 2021}}</ref>
 
Perjanjian ini diketahui hanya dibuat sebanyak satu salinan naskah dan menurut Dr. E.C.Godee Molsbergen dalam bukunya ''Geschiedenis van de Minahasa tot 1829'', naskah perjanjian ini hilang saat proses penerjemahan oleh pihak Minahasa. Namun, menurut Bert Supit, alasan hilangnya naskah ini sulit diterima karena para ukung saat itu tidak mampu menulis dan berbahasa dengan huruf latin yang juga diperkuat dengan bentuk tanda tangan para ukung yang hanya berbentuk coretan. Lagipula, berdasarkan perjanjian-perjanjian yang dilakukan sebelumnya atau kebiasaan yang dimiliki oleh Minahasa, mereka tidak terlalu memperdulikan tentang keberadaan suatu naskah. Fakta ini juga diperkuat dengan pernyataan Molsbergen pada buku yang sama, bahwa pihak V.O.C tidak terlalu memperdulikan perjanjian wilayah-wilayah kecil seperti wilayah Minahasa dan hanya memperdulikan hubungan antar kerajaan-kerajaan seperti [[Kesultanan Tidore]] dan [[Kesultanan Ternate|Ternate]]. Maka dari itu, Supit menyimpulkan bahwa naskah ini hilang dalam penyimpanan V.O.C.{{Sfn|Supit|1991|p=9-11}}
 
Perang pertama dimulai pada tahun 1681 dikarenakan munculnya kesempatan masyarakat Tondano untuk menyerang V.O.C di tengah kerusuhan yang terjadi di Ternate yang dilawan oleh V.O.C dengan mengirimkan kora-kora kembali ke Danau Tondano. Serangan ini berlangsung sengit sehingga pada tahun 1682, pihak V.O.C mencari siasat lain dengan meminta bantuan kepada pemimpin walak Tonsea yang mengirimkan puluhan pasukan serta 70 orang dari ''watervalvolken'' untuk menyerang Tondano. Sembari menunggu bantuan datang, pihak V.O.C telah membendung kembali Sungai Temberan untuk membanjiri tempat tinggal para warga Tondano yang berakhir dengan kekalahan di pihak {{Sfn|Wuntu|2002|p=34-37}}
 
==== ''Verdrag'' 10 September 1699 ====
Baris 30 ⟶ 32:
Akhirnya perjanjian ini ditandatangani oleh tiga orang walak yang semuanya berasal dari Toumbulu, yaitu Supit yang merupakan kepala walak Tombariri, Pa'at Kolano sebagai kepala walak Tomohon, dan Lontoh Tuunan sebagai kepala walak Sarongsong dari pihak Minahasa serta dari pihak Belanda yang diwakili oleh Paulus Brieving dan Samuel Hartingh sebagai residen.''{{Sfn|Supit|1991|p=14-15}}'' Setelah perjanjian ini juga, Belanda mengangkat tiga orang tersebut sebagai Hukum Mayoor yang kemungkinan diangkat pada periode tahun 1700-1706.{{Sfn|Wenas|2007|p=46}} Menurut Bert Supit, Supit merupakan yang pertama dipecat dari gelar ini, yaitu pada tanggal 10 Januari 1711 yang diikuti Lontoh Tuunan pada tanggal 12 Januari 1712 dan Paat pada tanggal 3 Februari 1722.<ref name=":0" />
 
Beberapa tahun setelah perjanjian disahkan, Tondano melakukan peperangan kembali dengan Belanda pada tahun 1707 karena tipu daya yang muncul akibat ''Verdrag'' 10 September 1699 dikarenakan V.O.C tidak hanya membuat kehidupan Minahasa menjadi lebih buruk, V.O.C juga memaksa mereka tunduk pada Belanda.<ref>{{Cite web|last=Resty|first=Errisha|editor-last=Dewinta|editor-first=Elsa|title=Latar Belakang Terjadinya Perang Tondano: Sejarah Perlawanan Rakyat Minahasa Melawan Belanda|url=https://www.poskata.com/histori/latar-belakang-perang-tondano/|website=PosKata|language=id-ID|access-date=26 Januari 2022}}</ref> Pada peperangan ini, Tondano dibantu oleh Kakas dan Remboken dan berlangsung hingga pada tahun 1711 yang menyebabkan banyak korban serta mengakibatkan hilangnya kepercayaan Belanda kepada para mayor yang memimpin di Minahasa.''{{Sfn|Wuntu|2002|p=43}}''
Setelah ketiga mayor dipecat dari jabatan Hukum Mayoor, V.O.C mengulangi sistem pemilihan jabatan ini untuk kedua kalinya. Pemilihan ini dilakukan oleh Marten Lelievelt yang menjabat sebagai Gubernur Maluku dengan saran dari Residen Manado, yaitu Jan Smit di tahun 1739. Lelievelt memilih Tololiu Supit yang merupakan anak dari Pacat Supit dari istri Suanen bernama yang juga saat itu juga menjabat Kepala Balak Ares.<ref name=":0" /> MKali ini Belanda memilih Tololiu Supit pada tanggal 27 Agustus 1740 di Fort Amstedam. Tololiu merupakan Walak Ares yang cukup disegani di kalangan masyarakat. Tetapi seperti sebelumnya, , jabatannya ini tidak terlalu berpengaruh terhadap walak-walak lain. '
 
Setelah ketiga mayor dipecat dari jabatan Hukum Mayoor, V.O.C mengulangi sistem pemilihan jabatan ini untuk kedua kalinya. Pemilihan ini dilakukan oleh Marten Lelievelt yang menjabat sebagai Gubernur Maluku dengan saran dari Residen Manado, yaitu Jan Smit di tahun 1739. Lelievelt memilih Tololiu Supit yang merupakan anak dari Pacat Supit dari istri Suanen bernama yang juga saat itu juga menjabat Kepala Balak Ares.<ref name=":0" /> MKali ini Belanda memilih Tololiu Supit pada tanggal 27 Agustus 1740 di Fort Amstedam. Tololiu merupakan Walak Ares yang cukup disegani di kalangan masyarakat. Tetapi seperti sebelumnya, , jabatannya ini tidak terlalu berpengaruh terhadap walak-walak lain. ''{{Sfn|Supit|1991|p=17}}'' Pada akhirnya, meskipun posisi Tololiu ini selalu dibela oleh Residen Manado Johannes Pauwen agar tidak dicopot. Tololiu Supit pun tetap dicopot pada tanggal 30 Juli 1743.<ref name=":0" />
V.O.C melakukan perubahan untuk meningkatkan perdagangan beras yang dilakukan selama ini. Mereka mulai memberikan fasilitas kepada kepala-kepala walak yang menjabat serta mendorong para kepala-kepala walak untuk menguasai wilayah-wilayah sengketa antar walak untuk memperbesar daerah produksi beras.Hal ini berhasil menimbukan beberapa konflik :
 
Karena taktik pengangkatan jabatan Hukum Mayoor tidak berhasil, maka V.O.C melakukan perubahan taktik untuk meningkatkan perdagangan beras yang dilakukan selama ini. Mereka mulai memberikan fasilitas kepada kepala-kepala walak yang menjabat serta mendorong para kepala-kepala walak untuk menguasai wilayah-wilayah sengketa antar walak untuk memperbesar daerah produksi beras.Hal V.O.C memanfaatkan kelemahan walak ini karena mereka tahu bahwa bagi para walak, luas wilayah kekuasaan berbanding lurus dengan kehormatan dan kebesaran kepala walak. Taktik ini berhasil menimbukan beberapa konflik :
 
# Tonsea dengan Tondano (1755)
Baris 42 ⟶ 46:
# Langowan dan Tompaso dengan Pasan dan Ratahan (1789)''{{Sfn|Supit|1991|p=17-18}}''
 
Karena konflik yang terus berlangsung, V.O.C berusaha mendamaikan salah satu konflik. Usaha perdamaian ini dilaporkan dari sebuah laporan oleh J.D Schierstein pada tanggal 8 Oktober 1789 yang mendamaikan Bantik dan Tombulu (Tateli) yang dikenal dengan nama "Perang Tateli"<ref>{{Cite news|date=31 Agustus 2020|editor-last=Irham|editor-first=Muhammad|title=Asal Muasal BangsaSuku Minahasa di Sulawesi Utara|url=https://tribunmanadowiki.tribunnews.com/2020/08/31/asal-muasal-bangsasuku-minahasa-di-sulawesi-utara|work=[[Tribunnews|Tribunnews.com]]|language=id|access-date=29 Januari 2021|last=irham|first=muhammad}}</ref>serta kelompok Toulour dan kelompok Tonsawang.<ref>{{Cite news|date=5 Januari 2021|title=Tahukah Kamu Asal Kata Minahasa, Maknanya Sama Seperti Bhineka Tunggal Ika|url=https://travel.tempo.co/read/1420320/tahukah-kamu-asal-kata-minahasa-maknanya-sama-seperti-bhineka-tunggal-ika|work=[[Tempo.co]]|access-date=30 Januari 2021|editor-last=Kustiani|editor-first=Rini|language=id}}</ref> Pada perdamaian ini juga, nama Minahasa muncul pertama kali dari kata Min'hasa sebagai kata yang dipakai oleh [[Landraad]]. Karena keberhasilan Schierstein dalam meredakan konflik yang terjadi di Minahasa, dia pun melakukan musyawarah kembali pada tahun 28 Juli 1790 di Fort Amsterdam. Namun , usahanya digagalkan oleh Pangalila selaku kepala Walak Tondano serta Ukung Sumondak dan kepala walak lainnya karena mereka hanya menyetujui Verbon 10 Januari 1679 sebagai satu-satunya perjanjian yang disetujui. Berkat pemberontakan ini, Schierstein melancarkan rencana untuk menangkap Pangalila dan teman-temannya sehingga perjanjia pada tanggak 5 Agustus 1790 berhasil. Mereka berhasil ditangkap dan Pangalila mati di Tahanan, sedangkan teman-temannya dibawa keluar daerag dengan kapal Belona.''{{Sfn|Supit|1991|p=18}}'' Menurut Taulu dalam buku ''Sejarah perlawanan terhadap imperialisme kolonialisme sulawesi utara'', Pangalila ditangkap oleh Puluwang karena terlambat mengumpulkan beras ke Puluwang sebelum diserahkan kepada Kepala Balak Tonsea. Puluwang merupakan seorang perwakilan residen dalam mengumpulkan beras kepada V.O.C.<ref>{{Cite book|date=1981|url=http://repositori.kemdikbud.go.id/13022/|title=Sejarah perlawanan terhadap imperialisme dan kolonialisme di Sulawesi Utara|location=Jakarta|publisher=Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional, Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Sejarah Nasional|pages=83|language=id|url-status=live}}</ref>
 
Perang Tondano II (18081681-18091682)
 
Perang Tondano yang terjadi pada 1808-1809 adalah perang yang melibatkan orang Minahasa di Sulawesi Utara dan pemerintah Perancis melalui Daendels yang merupakan utusan darikolonial PerancisBelanda pada permulaan abad XIX. Perang pada permulaan abad XIX ini terjadi akibat dari implementasi politik pemerintah kolonial PerancisHindia Belanda oleh para pejabatnya di Minahasa, terutama upaya mobilisasi pemuda untuk dilatih menjadi tentara “ (Taufik Abdullah dan A.B. Lapian, 2012:375)
 
Perang Tondano II sudah terjadi ketika memasuki abad ke-19, yakni pada masa pemerintahan kolonial PerancisBelanda. Perang ini dilatarbelakangi oleh kebijakan Gubernur Jenderal Daendels. Daendels yang mendapat mandate untuk memerangi Inggris, memerlukan pasukan dalam jumlah besar. Untuk menambah jumlah pasukan maka direkrut pasukan dari kalangan pribumi. Mereka yang dipilih adalah dari suku-suku yang memiliki keberanian berperang. Beberapa suku yang dianggap memiliki keberanian adalah orangorang Madura, Dayak dan Minahasa. Atas perintah Daendels melalui Kapten Hartingh, Residen Manado Prediger segera mengumpulkan para ukung. (Ukung adalah pemimpin dalam suatu wilayah walak atau daerah setingkat distrik). Dari Minahasa ditarget untuk mengumpulkan calon pasukan sejumlah 2.000 orang yang akan dikirim ke Jawa. Ternyata orang-orang Minahasa umumnya tidak setuju dengan program Daendels untuk merekrut pemuda-pemuda Minahasa sebagai pasukan kolonial. Banyak di antara para ukung mulai meninggalkan rumah. Mereka justru ingin mengadakan perlawanan terhadap kolonial PerancisBelanda. Mereka memusatkan aktivitas perjuangannya di Tondano, Minawanua. Salah seorang pemimpin perlawanan itu adalah Ukung Lonto. Ia menegaskan rakyat Minahasa harus melawan kolonial PerancisBelanda sebagai bentuk penolakan terhadap program pengiriman 2.000 pemuda Minahasa ke Jawa serta menolak kebijakan kolonial yang memaksa agar rakyat menyerahkan beras secara cuma-cuma kepada PerancisBelanda.
 
Dalam suasana yang semakin kritis itu tidak ada pilihan lain bagi Gubernur Prediger kecuali mengirim pasukan untuk menyerang pertahanan orang-orang Minahasa di Tondano, Minawanua. PerancisBelanda kembali menerapkan strategi dengan membendung Sungai Temberan. Prediger juga membentuk dua pasukan tangguh. Pasukan yang satu dipersiapkan menyerang dari Danau Tondano dan pasukan yang lain menyerang Minawanua dari darat. Tanggal 23 Oktober 1808 pertempuran mulai berkobar. Pasukan PerancisBelanda yang berpusat di Danau Tondano berhasil melakukan serangan dan merusak pagar bambu berduri yang membatasi danau dengan perkampungan Minawanua, sehingga menerobos pertahanan orang-orang Minahasa di Minawanua. Walaupun sudah malam para pejuang tetap dengan semangat yang tinggi terus bertahan dan melakukan perlawanan dari rumah ke rumah. Pasukan PerancisBelanda merasa kewalahan. Setelah pagi hari tanggal 24 Oktober 1808 pasukan PerancisBelanda dari darat membombardir kampung pertahanan Minawanua. Serangan terus dilakukan PerancisBelanda sehingga kampung itu seperti tidak ada lagi kehidupan. Pasukan Prediger mulai mengendorkan serangannya. Tiba-tiba dari perkampungan itu orang-orang Tondano muncul dan menyerang dengan hebatnya sehingga beberapa korban berjatuhan dari pihak PerancisBelanda. Pasukan PerancisBelanda terpaksa ditarik mundur. Seiring dengan itu Sungai Temberan yang dibendung mulai meluap sehingga mempersulit pasukan PerancisBelanda sendiri. Dari jarak jauh PerancisBelanda terus menghujani meriam ke Kampung Minawanua, tetapi tentu tidak efektif. Begitu juga serangan yang dari danau tidak mampu mematahkan semangat juang orang-orang Tondano, Minawanua. Bahkan terpetik berita kapal PerancisBelanda yang paling besar tenggelam di danau Perang Tondano II berlangsung cukup lama, bahkan sampai agustus 1809. Dalam suasana kepenatan dan kekurangan makanan mulai ada kelompok pejuang yang memihak kepada PerancisBelanda. Namun dengan kekuatan yang ada para pejuang Tondano terus memberikan perlawanan. Akhirnya pada tanggal 4-5 Agustus 1809 Benteng pertahanan Moraya milik para pejuang hancur bersama rakyat yang berusaha mempertahankan. Para pejuang itu memilih mati daripada menyerah.
 
== Akhir Perang ==
Kekalahan rakyat Minahasa dan Tanah Minahasa kehilangan kemerdekaannya ke tangan [Hindia Belanda].
Inggris yang berada di Seram Maluku membantu para waraney prajurit Minahasa sehingga Inggris memenangkan peperangan di Tondano dan Napoleon Bonaparte tertangkap di Waterloo.
 
Salah satu bukti Inggris membantu Minahasa adalah patung Korengkeng Sarapung di Tondano menggunakan Seragam Perwira Inggris
 
== Lihat pula ==