Sejarah Indramayu: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
Wirantaka (bicara | kontrib)
Catatan sejarah: Indramayu dan Wiralodra
Tag: Dikembalikan menambah kata-kata yang berlebihan atau hiperbolis kemungkinan perlu dirapikan kemungkinan perlu pemeriksaan terjemahan menambah tag nowiki Menghilangkan referensi VisualEditor
Wirantaka (bicara | kontrib)
k Perapihan paragraf dan sisipan arsip surat
Tag: Dikembalikan VisualEditor
Baris 7:
 
==Catatan sejarah==
'''PELABUHANPelabuhan CIMANUKCimanuk CIKALcikal BAKALbakal KOTAKota DERMAYUDermayu'''
 
Nama Indramayu selalu dikaitkan dengan kisah Wiralodra dan Nyi Indang Darma Ayu. Dalam historiografi tradisional nama Indramayu sendiri diambil dari nama Nyi Indang Darma Ayu atau Nyi Darma Ayu yang dibaca menjadi Darmayu.<sup>[1]</sup> Secara umum orang Indramayu mengucapkannya Dermayu. Sementara kata Darmayu yang berubah menjadi Indramayu disebabkan penulisan para juru tulis Belanda pada abad ke-17 yang menambahkan kata ''in- (Inland)'' didepan nama ''Dermayu'' yang berarti di Dermayu atau merujuk lokasi asli tanah Dermayu yang terletak di pedalaman tanjung Cimanuk. Dalam peta tahun 1610 tanjung ini ditulis dengan ''Cust Dermayo'' (Pesisir Dermayu)[2]. Dalam peta-peta asing letak atau posisi tanah yang bernama Dermayu berada di sebelah barat Sungai Cimanuk, diantara kawasan yang bernama Sindang dan Terusan. Sindang mengandung arti tempat persinggahan sementara sebelum menuju dermaga ataupun pelabuhan atau juga tempat berlabuh kapal-kapal.  Kawasan Sindang kuno memang menjangkau desa-desa toponimi pelabuhan yaitu Desa Pagirikan-Pasekan-Pabean berada dalam kawasan Kecamatan Sindang dimana pada tahun 2006 sebagian wilayah Kecamatan Sindang ini dimekarkan menjadi Kecamatan Pasekan (Zulkarnaen, dkk., 2022 : 126).
Baris 18:
 
Pemberian nama Dermayu sendiri hanya dapat diketahui dari tradisi lisan masyarakat yang kemudian ditulis dalam historiografi tradisional ''Babad Dermayu.'' Selain dari babad tersebut, belum ada informasi lain yang menjelaskan asal-usul nama Indramayu. Informasi babad tersebut yang menerangkan asal-usul nama Dermayu khsususnya sang inisiator yaitu Kiai Wiralodra, juga merupakan bentuk legitimasi yang dilakukan oleh pujangga. Merujuk dari penemuan terbesar di tahun 2019 yaitu arsip VOC mengenai surat tugas Kiai Ngabehi Wiralodra (Wiralodra I ayah dari Wirapati) ditahun 1678 untuk melanjutkan jabatan sebagai Bupati Indramayu jelas tidak sesuai dengan klaim Babad tersebut[3]. Hal ini dikarenakan dalam arsip VOC yang lebih tua yaitu ''Dagh-Register'' 1630-an telah disebut wilayah Dermayu.  Juga dalam Peta tahun 1598 telah ada nama Dermayu[4].
 
 
 
'''Pandangan Bangsa Asing'''
 
    Bangsa asing pertama yang mencatat keberadaan wilayah Indramayu adalah para pelaut dari Cina. Sumber-sumber Tionghoa menyebutkan hal tersebut antara abad ke-15 hingga abad ke-17. Pada buku ''Shun-feng siang-sung'' (Angin Baik sebagai Pendamping) sekitar tahun 1430 (Hsiang Ta (ed.), 1982:66-68; Hekuen, 1999:107) menyebut wilayah tersebut sebagai Tanjung ''Ciao-c’iang-wan'' untuk daerah yang saat ini dipahami sebagai Tanjung Indramayu. ''Ciao-c’iang-wan'' adalah pengucapan lidah Tionghoa, bisa jadi yang dimaksud adalah Cimanuk atau bahkan Bengawan (Cibengawan) mengingat pada periode tahun 1800-an pada saat dibentuk Keresidenan Cirebon terdapat Kabupaten Bengawan yang merujuk pada wilayah timur Cimanuk. Adapun keterangan dari buku ''Shun-feng siang-sung'' (Angin Baik sebagai Pendamping) sebagai berkut :
 
“Dalam pelayaran ini dari Shun-t’a (=Sunda) ke timur sepanjang pantai utara Jawa, kapal-kapal menuju arah 97,5 derajat selama tiga penjagaan untuk sampai ke gunung Cia-liu-pa (=Kalapa); lalu mereka menyusuri pantai Ciao-c’iang-wan (lewat Tanjung Indramayu), dan menuju arah 187,5 derajat selama empat penjagaan sampai tiba di Che-li-wen (=Cirebon). Kapal-kapal dari Banten menuju arah timur sepanjang pantai utara Jawa, melalui Cha-liu-pa (=Kelapa), Ciao-c’iang-wan (=Tanjung Indramayu) dan Che-li-wen (=Cirebon)... (Heuken, 1999:107)”
 
 
Bangsa asing berikutnya adalah orang-orang Portugis. Pada saat itu mereka sudah mengenal nama Cimanuk dengan sebutan ''Chiamo'' atau ''Chenano''. Seperti diungkapkan Joao de Barros (1496-1570) dalam buku ''Da Asia, Decada IV'', yang diedit Joao Baptista Lavanha pada tahun 1615 di Madrid setelah Barros meninggal (1570). Tulisannya juga diterjemahkan dalam bahasa Inggris oleh J. Crawfurd yang diterbitkan pada tahun 1971 dan Th. St. Raffles yang diterbitkan pada tahun 1975 (Heuken, 1999: 93-99).
Baris 36:
 
“Pulau Sunda adalah negeri yang di pedalaman lebih bergunung-gunung daripada Jawa dan mempunyai enam pelabuhan terkemuka, yakni Cimanuk ''(Chiamo)'' di ujung pulau ini, Jakarta (''Xacatara'') dengan nama lain Karawang ''(Garavam)'', Tangerang ''(Tangaram)'', Cigede ''(Cheguide)'', Pontang ''(Pondam)'' dan Banten ''(Bintam)''. Inilah tempat-tempat yang ramai lalu-lintas akibat perniagaan dengan Jawa seperti pula dengan Malaka dan Sumatera (Heuken 1999:77).”
 
 
 
Baris 45 ⟶ 46:
 
“Pada zaman dahulu, Tuhan telah menciptakan sungai untuk memisahkan Pulau Jawa dari Kerajaan Sunda dan begitu pula sebaliknya. Sungai itu ditumbuhi pohon di sepanjang aliran, dan kabarnya pohon-pohon di masing-masing sisi memiliki cabang yang menyentuh tanah dan condong ke arah masing-masing negeri. Pohon-pohon ini berukuran besar dan menjulang tinggi dengan cantik (Cortesao, 2015: 233).”
 
 
 
Adanya Negeri Sunda dengan Negeri Jawa, atau Kerajaan Sunda dengan Kerajaan Jawa, merupakan catatan Tome Pires yang cukup membentang tentang keberadaan pulau tersebut. Selain penggambaran tentang Negeri Sunda, dalam tulisannya pada bagian lain (2015: 243) dia juga menyebutkan Negeri Jawa, yang merupakan negeri sangat besar, luasnya mencapai 400 ''league'' dimulai dari Cimanuk, membentang hingga Blambangan. Raja Jawa adalah seorang ''pagan'''[5]''''' dengan nama ''Batara Vojyaya'' atau ''Batara Vigiaja''. Memiliki keterkaitan dengan dengan Batara Wijaya (Brawijaya). Sebutan ini berkaitan dengan Kerajaan Majapahit atau Kerajaan Jawa. Selain hal tersebut Pires menginformasikan bahwa sebagian para penguasa di pesisir utara dari Negeri Jawa ini telah beragama Islam atau disebut ''Moor'''[6]''''' oleh Pires dimulai dari Cirebon hingga Demak sebagai pemimpin para ''Pate'' (Dipati) pesisir yang Islam.
 
 
 
Baris 75 ⟶ 78:
 
 
'''DERMAYU MENJADI WILAYAH PERTUANAN MATARAM'''
 
'''Dermayu menjadi wilayah pertuanan Mataram'''
'''          '''  Wilayah Dermayu (Indramayu) mulai dari bagian barat daya sampai dengan Karawang, sejak era pemerintahan Sunan Gunung Jati (1482-1528), menjadi bagian kekuasaan kerajaan Cirebon yang sudah mandiri dari Kerjaan Sunda (Sobana, dkk., 2011: 67). Wilayah Indramayu masuk ke dalam wilayah kerajaan Cirebon sekitar tahun 1527-1528. Pada saat itu penguasa Indramayu/Dermayu bergelar Prabu Indrawijaya (Sulendraningrat, 1972: 10).
 
'''          '''  Wilayah Dermayu (Indramayu) mulai dari bagian barat daya sampai dengan Karawang, sejak era pemerintahan Sunan Gunung Jati (1482-1528), menjadi bagian kekuasaan kerajaan Cirebon yang sudah mandiri dari Kerjaan Sunda (Sobana, dkk., 2011: 67). Wilayah Indramayu masuk ke dalam wilayah kerajaan Cirebon sekitar tahun 1527-1528. Pada saat itu penguasa Indramayu/Dermayu bergelar Prabu Indrawijaya (Sulendraningrat, 1972: 10).
 
Pada periode ini Kerajaan Cirebon dipimpin oleh Pangeran Pasarean, anak Sunan Gunung Jati. Kepemimpinan Pangeran Pasarean dimulai ketika Sunan Gunung Jati menyerahkan urusan pemerintahan kepadanya pada tahun 1528. Namun, masa pemerintahan Pangeran Pasarean hanya sampai tahun 1546 karena sang pangeran wafat di Demak. Sunan Gunung Jati kemudian melimpahkan kekuasaannya kepada sang menantu, yaitu Fatahillah. Penerus Fatahillah yakni, Pangeran Swarga, yang tak lain adalah anak Pangeran Pasarean. Namun Pangeran Swarga meninggal pada tahun 1565. Pemerintahannya dilanjutkan oleh Fatahillah lagi hingga wafat (tahun 1570). Sepeninggal Fatahillah, cicit Sunan Gunung Jati atau putra dari Pangeran Swarga yang bernama Pangeran Emas. Pangeran Emas menjadi Raja Cirebon pada tahun 1570, bergelar Pangeran Ratu atau juga dikenal dengan sebutan Panembahan Ratu Cirebon (Panembahan Ratu I). Panembahan Ratu I bertahta sejak tahun 1570 hingga tahun 1649 (Sobana, dkk., 2011: 68-70) di mana pada saat itu telah lahir kekuatan baru di pedalaman Jawa yaitu Kerajaan Mataram.
Baris 95 ⟶ 99:
Selain naskah Babad Bagelen, nama Mataram yang terkait dengan Indramayu juga muncul dalam ''Layang Sarasilah Trah Bagelen'' dan buku ''Terjemahan Ringkas Serat Babad Banyu Urip-Bagelen'' milik Perkumpulan Putra-Wayah Banyu Urip (Pawab). Buku tersebut diberi judul “Sejarah (Babad) Pucangagung, Terjemahan ringkas mengenai: Sejarah Banyu Urip (Bagelen), yang dipersembahkan kepada putra-wayah (anak-cucu) Banyu Urip yang berminat mempelajari dan menghayati sejarah para leluhurnya serta asal-usul desanya”. Buku catatan tersebut sesuai keterangan di bagian akhir disusun oleh Perkumpulan Putra-wayah Banyu Urip (Pawab) yang pada awal berdirinya bernama Rukun Sederek Banyu Urip (RSB) pada tahun 1937. Dari buku tersebut diperoleh informasi bahwa turunan serat Babad Banyu Urip yang ditulis dengan tangan dalam aksara dan bahasa Jawa-Kawi-Tembang menurut catatan aslinya adalah hasil tulisan Tumenggung Wangsanegara VI, Demang Banyu Urip (Keturunan Tumenggung Singapati, adik Tumenggung Wiralodra).
 
           Dalam buku yang dianggap sebagai ingatan kolektif keturunan Tumenggung Singapati (Adik Tumenggung Wiralodra) dituliskan bahwa pada saat pasukan Mataram di bawah komando Pangeran Purbaya di mana Tumenggung Wiralodra dan Tumenggung Singapati ikut di dalamnya. Mereka tidak berhasil mengalahkan VOC dan pada akhirnya pasukan Mataram mengalami kekalahan. Banyak pasukan yang tidak kembali menghadap ke Susuhunan Mataram (Sultan Agung). Satu di antaranya adalah Wiralodra. Adik Wiralodra sendiri lebih memilih kembali pulang ke Mataram. Wiralodra memutuskan untuk mengganti nama diri menjadi Ki Singalodra kemudian berdagang ke Batavia (Zulkarnaen, dkk., 2022 : 27-28).
 
           Secara menyeluruh buku terjemahan tersebut bercerita tentang; Legenda Pangeran Jayakusuma masa akhir Majapahit, Perang Kedua Sultan Agung Mataram melawan VOC (Kompeni) Belanda di mana dua nama leluhur Banyu Urip terlibat, Putra Wayah Ki Manguyu Banyu Urip, Sejarah Pucanganom, Sejarah Loano, Sejarah Bagelen, dan Sejarah Mataram. Khusus pada bagian “Perang Kedua Sultan Agung Mataram melawan VOC” menurut penulisnya selain bersumber dari Salinan Serat Asli Babad Banyu Urip juga ditambahkan dari sumber buku ''“Een uitgebreide Gaschiedenis van Nederlandsh Indie”,'' serta catatan-catatan dari cerita turun temurun para leluhur Banyu Urip, dan cuplikan redaksi dari beberapa majalah-majalah sebelum perang dunia ke-II.
 
Dalam dokumen-dokumen VOC, keterkaitan Mataram dengan Indramayu dapat dilihat dalam kaitan penyerangan Mataram ke Batavia. Kompeni atau ''Vereenigde Oost Indische Compagnie'' (VOC) adalah kongsi dagang yang didirikan pada tahun 1602. Badan ini berhasil menyingkirkan Portugis yang satu abad sebelumnya telah membangun imperium perdagangan di Asia dan hampir menyisihkan saingan utamanya (perdagangan di Asia-Eropa) yaitu East India Company (EIC) yang didirikan di London tahun 1600 (Gaastra, tt).
Baris 109 ⟶ 113:
Dalam catatan sejarah, raja yang bertahta pada saat Mataram berperang melawan VOC adalah Prabu Pandita Anyakrakusuma (Olthof, 2017: 249). Prabu Pandita Anyakrakusuma atau yang dalam surat-surat diplomatik VOC dikenal dengan sebutan “Pangeran atau Panembahan Ingalaga Mataram” (Graaf, 1986), setelah menaklukan Madura pada tahun 1624, mengganti gelarnya menjadi “Susuhunan Mataram” (de Haan III, 1912: 45; Djajadingrat, 1983: 197). Sekitar tahun 1640-an, ia memperoleh gelar lagi dari penguasa Turki Utsmani, gelar Raja Mataram ini menjadi “Sultan Abdullah Muhammad Maulana Matarami” (''Daghregister'', April 1641), yang kelak dikenal dengan nama anumerta “Sultan Agung” (Zulkarnaen, dkk., 2022: 72-74).
 
           Adapun keikutsertaan Bagus Taka (Wiralodra) dan Bagus Singa dalam penyerbuan ke Batavia bermula ketika Sultan Agung memerintahkan Patih Mataram yaitu Tumenggung Singaranu untuk memanggil dua Mantri Domas (Bagus Taka dan Bagus Singa) untuk menghadap ke istana dan mewajibkan mereka berdua untuk bergabung dalam pasukan laut Mataram di bawah komando Panembahan Purbaya. Ada dua jalur yang ditempuh. Untuk jalur laut akan dipimpin oleh Panembahan Purbaya, sementara untuk jalur darat akan dipimpin oleh Mandureja (Zulkarnaen, dkk., 2022: 75).
 
Para panglima dan tokoh-tokoh utama yang memimpin dan mengawasi jalannya penyerangan Mataram ke Batavia pada tahun 1628 adalah Tumenggung Bahureksa, Tumenggung Sura Agulagul, Tumenggung Mandurareja, dan Tumenggung Upasanta. Adapun pada penyerangan kedua tahun 1629 adalah Pangeran Juminah, Pangeran Purbaya, dan Pangeran Puger (Graaf, 1986: 165-167). Hal ini sesuai dengan keterangan Hoesein Djajadiningrat dalam ''Tinjauan Kritis tentang Sajarah Banten (''Djajadiningrat, 1983), yang menyatakan, “Pada akhir bulan Agustus 1629 munculah tentara Mataram kedua setelah penyerangan pertama tahun 1628. Tentara ini dipimpin oleh Dipati Juminah, Dipati Puger, dan Dipati Purbaya (Paman Susuhunan Mataram)” (Djajadiningrat, 1983: 187).
Baris 123 ⟶ 127:
Sultan Agung juga mengambil kebijakan menanam dan membangun lumbung padi di sepanjang pesisir Pantai Utara Jawa (termasuk Indramayu). Kebijakan inilah yang kemudian menjadi bumerang ketika pada tanggal 20 Juni 1629 seorang tawanan VOC dari Mataram bernama Warga memberitahukan bahwa Tegal akan dijadikan gudang makanan. Akibat informasi tersebut, VOC kemudian mengirimkan tiga kapal melalui Pantai Utara Jawa. Dan pada tanggal 4 Juli 1629, pengiriman tiga kapal tersebut berhasil memusnahkan 200 kapal, 400 rumah, dan satu gunungan padi setinggi 12x4 m dan lebar 4x4 m. Beberapa minggu kemudian gunungan padi kedua di Cirebon pun dimusnahkan (Graaf, 1986: 155-156).
 
           Tahun 1640-an merupakan tahun-tahun terakhir pemerintahan Sultan Agung di Mataram. Pada tahun-tahun terakhirnya, Sang Raja Mataram tersebut memperbanyak transmigran, salah satunya ke Indramayu dengan tujuan untuk memperbanyak persawahan pada tahun 1641 (Kasim, 2011: 86). Selain itu, pada tahun 1642, Sultan Agung juga mengeluarkan piagam kepada penguasa Sukapura. Piagam ini berupa pemberian gelar “Mantri Kepala” kepada penguasa-penguasa daerah pertama dari Bandung, Parakan Muncang, dan Sukapura. Hal ini dilakukan atas jasa para penguasa tersebut yang tetap setia dan membantu dalam membasmi pemberontakan Dipati Ukur. Satu tahun sebelumnya atau pada tanggal 20 April 1641 Sang Raja Mataram juga membebaskan keharusan bekerja untuk para pembesar Mataram mulai dari Panembahan Cirebon, Pangeran Kajoran, Pangeran Blitar, Pangeran Madiun, Panembahan Surabaya, dan keempat Patih Mataram yaitu Tumenggung Wiraguna, Tumenggung Tanpasingsingan, Tumenggung Saloran, dan Tumenggung Singaranu (Zulkarnaen, dkk., 2022: 91).
 
Bandar Dermayu sendiri pada masa-masa perang segitiga antara Mataram-VOC-Banten tetap menjalankan fungsinya sebagai bandar perniagaan. Hal tersebut dapat terlihat dalam ''Daghregist''er tahun 1640-1641. Pada arsip tersebut dapat dilihat bahwa periode bulan September sampai dengan November, data arus masuk-keluar kapal muatan yang singgah di Bandar Dermayu cukup tinggi. Kapal keluar dari Bandar Dermayu tercatat membawa beras, daging rusa, kacang, unggas, bawang Bombay, dan bawang putih. Adapun kapal yang masuk ke Bandar Dermayu diketahui membawa komoditas dagang seperti pakaian eksekutif, porselen, barang-barang Cina, gula, beram, emas, mangkuk, piring, panci arak, dan cat ampion (''Daghregister'' September-November 1640-1641).
Baris 136 ⟶ 140:
 
Wiralodra kemudian telah tercatat sebagai Bupati Pesisiran Mataram berkedudukan di Dermayu pada awal tahun 1678 dengan gelarnya '''“Kiai Ngabehi Wiralodra”.''' Wiralodra mendapatkan posisi strategis sebagai Bupati-Utama atau Wedana (''Gouverneur/Hootfregent'') ketika Kerajaan Mataram pada akhinya benar-benar menjalin persekutuan dagang dan militer dengan VOC. Dalam hal ini keterangan naskah Wangsakerta yang memberitakan bahwa ada seorang Senapati Laskar Mataram berasal dari Bagelen tidak kembali ke Mataram namun menjaga perbatasan wilayah Mataram dari saingannya Kerajaan Banten sesuai dengan catatan-catatan VOC, meskipun periodenya bukan pasca peperangan Mataram dan VOC tahun 1629 namun pada tahun 1678 disaat Mataram dibawah kepemimpinan Sunan Amangkurat II yang merupakan cucu Sultan Agung.
 
 
'''Dinamika Kebupatian Indramayu'''
 
Wilayah pesisir dalam Sejarah Kebudayaan Maritim (1600-1755), secara bertahap menjadi bagian dari Kerajaan Mataram Islam. Penaklukannya dimulai pada masa Panembahan Senapati sampai Anyakrawati (1588-1613). Wilayah pesisir utara  Jawa adalah daerah otonom. Wilayahnya mencakup Pasisiran Wetan (memanjang dari Demak ke timur: Jepara, Kudus, Pati, Rembang, Lasem, Tuban, Sedayu, Lamongan, Gresik, Surabaya, Pasuruan, sampai Blambangan) dan Pasisiran Kulon (memanjang dari Demak ke barat: Semarang, Kendal, Pekalongan, Pemalang, Tegal, Brebes, Cirebon, Indramayu, sampai Karawang). Pembagian wilayah pesisiran ini merujuk pada pembagian wilayah Kerajaan Mataram menjadi empat bagian; Kutagara, Negaraagung, Mancanegara, dan Pasisiran. Kota-kota pesisiran atau pelabuhan tersebut kemudian menjadi pusat-pusat perdagangan yang maju. Hal ini disebabkan pantai utara Jawa menjadi rute penting perdagangan rempah (Margana, dkk., 2021: 92).
 
 
 
Baris 162 ⟶ 166:
 
Berikut transkip dari lembaran asli surat tertanggal 2 Juni 1678 yang dikutip dalam ''Daghregister'' tanggal 2 Juni 1678:
[[Berkas:ID-ANRI K66a 2482 1016.jpg|jmpl|Arsip (repro) Daghregister 3 Juni 1678. Berisi Surat tugas Kiai Ngabehi Wiralodra Bupati-Utama Indramayu]]
 
 
Baris 179 ⟶ 184:
 
''CORNELIS SPEELMAN.''
 
 
 
Terjemahan bebas :
 
 
 
Baris 189 ⟶ 196:
 
Surat ini dikirimkan Laksamana Cornelis Speelman melalui Gubernur Jenderal dan Dewan Tinggi Hindia (''Raad van Indië'' Dewan), para pembesar yang melalui Susuhunan Amangkurat Senopati Ingalaga ''(Sousouhounangh Aman Courat Sinnepatty Ingalaga)'' memimpin daerah di negari Indramayu ''(Indermayoe).''  Untuk diketahui bahwa Bupati-Utama Kiai Ngabehi Wiralodra ''(Gouverneur Kyai Angabey Wiera Loddera)'' yang datang ke Batavia bersama Laksamana Speelman yang saat ini telah kembali pulang menggunakan kapalnya, telah memerintah daerah itu seperti yang sudah dilakukan sebelumnya sebagai Gubernur Susuhunan (Red. Mataram), yang harus tuan-tuan semua patuhi Dan dengan semua pelayanan yang dia diberikan maka tuan-tuan menjanjikan atas perlindungan VOC untuk membantunya dalam melawan semua musuhnya sehingga sebaliknya dia pun memberikan Gubernur Jenderal kekuatan dan kekuasaan dengan memerintahkan bawahannya untuk melakukan pengawasan dan wewenang atas semua tanahnya yang terletak di sebelah barat Cirebon. Namun karena letak yang jauh dari Jepara, sehingga Susuhunan tidak dapat datang membantu para tuan pembesar pada saat dibutuhkan yaitu yang berkedudukan di samping Jakarta ''(Jaccatra)''. Untuk alasan ini Bupati-Utama Wiralodra telah direkomendasikan, sebagaimana komandan yang lebih rendah lainnya di Indramayu juga diperintahkan melalui surat ini, bahwa segala sesuatu yang terjadi di sana akan langsung diinformasikan kepada kapten kapal kami yang selalu siaga di tepi sungai Sehingga apabila tuan pembesar memerlukan bantuan kami lagi, maka kami akan langsung membantu dengan pergi ke Jakarta dan hal ini tidak akan memberatkan Susuhunan.
 
 
 
Baris 200 ⟶ 208:
 
(telah ditandatangani)
 
 
 
Baris 205 ⟶ 214:
 
(''Daghregister'' 3 Juni 1678: 283-284)
 
 
 
Sesuai dengan informasi yang termuat dalam arsip-arsip kolonial mengenai esksistensi tokoh Wiralodra, maka jabatan Bupati Indramayu diteruskan tetap dipegang oleh Kiai Ngabehi Wiralodra sejak tahun 1678. Jabatan bupati yang dalam istilah VOC ditulis  gubernur (''gouverneur)''  pada era tersebut secara administrasi Jawa dapat disejajarkan dengan “''Bupati-Wedana''”[2]. Makna jabatan Gubernur tersebut dperjelas kembai dalam surat pengangkatan Kiai Wirantaka (Putra Sulung Wiralodra) dalam tahun 1702, dimana yang dimaksud Gubernur Jawa adalah Bupati-Utama ''(Hootfregent)'' atau Kepala Bupati (''Opperhooft''). Namun, dinasti Wiralodra-Indramayu pada periode selanjutnya hanya menjabat setingkat bupati ''(regent)'' seperti ditulis dalam memori serah terima jabatan Residen Cirebon ditahun 1765 dan 1771[3].
 
           Selanjutnya A. Sobana menjelaskan mengenai tinggi rendahnya kedudukan bupati dalam pemerintahan dapat dikenali dari gelar kepangkatannya. Adapun hierarki kepangkatan bupati dari bawah ke atas adalah: ''tumenggung – aria – adipati – pangeran''. Gelar ''tumenggung'' diperoleh secara langsung pada waktu diangkat menjadi bupati sedangkan gelar ''aria, adipati'', dan ''pangeran'' diperoleh karena kondisi yang baik dan telah menunjukan jasa yang pantas dihargai (A. Sobana, 2004: 30).
 
Dalam kaitannya dengan Wiralodra, dalam naskah ''Babad Bagelen'' Wiralodra pernah mendapat gelar kepangkatan ''tumenggung'' dibarengi anugerah awal gelar “Wiralodra” oleh Susuhunan Mataram (Sultan Agung) pada saat menjabat mantri di desa Andong Bagelen. Kemudian menjadi bagian dari pasukan Mataram dalam menyerang VOC di Batavia dengan jabatan sebagai Kepala Perang (Senapati) angkatan laut Mataram. Adapun keterangan yang muncul dalam ''Dagh-Register'' antara tahun 1678-1682 gelar kepangkatan Wiralodra ditulis secara resmi dengan sebutan “Kiai ngabehi Wiralodra” ''(Keey Ingabeij Wiera Loddra)'', yang berarti gelar kepangkatan beliau adalah “Kiai Ngabehi” dengan jabatan sebagai Gubernur (bupati utama) dengan wilayah di Dermayu.
 
           Gelar kepangkatan ''kiai ngabehi'' adalah gelar yang sesuai dengan hierarki pemerintahan Mataram untuk wilayah pesisir. Menurut Moedjianto hierarki birokrasi kerajaan Mataram terdiri dari: Kutagara/kutanegara; negara agung; mancanegara; dan daerah pasisiran. Untuk daerah pesisiran, pejabat-pejabatnya dikepalai oleh seorang bupati, atau syahbandar berpangkat tumenggung, kiai demang, dan kiai ngabehi (Moedjianto, 1994). Dalam catatan VOC, Wiralodra memiliki gelar kepangkatan “Ngabehi”. Ngabehi atau juga Angabehi (''Ingabeijj'') kadang disingkat dengan “Behi/Bei” berasal dari kata “Kabeh”. Ngabehi berarti yang menguasai (mengurusi) semuanya sedangkan kata “Kiai” adalah sebutan untuk kaum bangsawan/ningrat Jawa yang pada akhirnya mengalami penyempitan untuk menyebut mereka yang ahli di bidang agama saja (Soenardhi, 1941: 27).
 
           Maka, gelar kepangkatan Wiralodra yang disandang adalah gelar yang merupakan hasil pengangkatan resmi dari Pemerintah Mataram yang kemudian pada tanggal 2 Juni 1678 kembali ditetapkan oleh VOC sebagai gubernur di Dermayu dengan penjelasan bahwa Wiralodra sebelumnya sudah menjabat sebagai gubernur Susuhunan (Mataram) (Zulkarnaen, dkk., 2022: 133-139).
 
           Wiralodra menjadi bupati utama atau koordinator pengawasan tanah-tanah Mataram mulai dari Indramayu, Pamanukan hingga Ciasem kemudian menghadapi usaha perebutan wilayah dari pihak Kesultanan Banten periode 1679 dan berakhir pada 1681. Upaya pengambilalihan wilayah tidak hanya dilakukan pihak Banten tetapi juga Sumedang yang ingin mengembalikan kejayaan era Prabu Geusan Ulun, meskipun usaha tersebut pada akhirnya gagal karena harus menahan serbuan laskar Banten. Hal tersebut mengakibatkan penguasa Sumedang saat itu – Kiai Rangga Gempol (III) – mengungsi ke Indramayu. Baik Sumedang dengan Rangga Gempol dan Indramayu dengan Wiralodra pada awalnya saling curiga dan waspada, namun pada akhirnya mereka menyadari kedudukannya merupakan bagian dari kekuasaan Mataram (Zulkarnaen, dkk., 2022: 163).
 
Kepemimpinan Wiralodra di Indramayu adalah tentang kesetiaan kepada  kerajaan Mataram. Pada saat itu Kesultanan Banten sedang giat merekrut para bangsawan agar mau menjadi pengikutnya. Salah satu keluarga dari keraton Cirebon yang berhasil direkrut adalah Pangeran Suradimarta (Djajadiningrat, 1983: 67). Pangeran Suradimarta mendapat gelar kepangkatan Kiai Aria. Pangeran Suradimarta menjadi kepala suku pendudukan Banten di Indramayu (''Daghregister'', 23 Desember 1679). Selain Kiai Aria Suradimarta yang ditempatkan di Indramayu oleh Sultan Banten adalah Kiai Demang Lodra Antaka dan Tumenggung Lodra Manggala (''Daghregister'' 4 Maret 1680: 97-98).
Baris 252 ⟶ 262:
 
Wiralodra pada awal tahun 1682 mengirimkan surat kepada Gubrnur Jenderal VOC. Surat tersebut berisi ucapan selamat kepada Tuan Speelman yang telah diangkat sebagai Gubernur Jenderal VOC. Selain itu, Kiai Ngabehi Wiralodra menyampaikan konfirmasi kembali atas perintah yang ditujukan pada dirinya untuk pergi menghadap Mataram. Kiai Ngabehi Wiralodra merasa gugup, oleh karenanya meminta kepada Batavia agar didampingi oleh seorang utusan dari Batavia. Transkip Isi surat asli Ngabehi Wiralodra yang disalin dalam ''Daghregister'' tanggal 27 Februari 1682 tersebut sebagai berikut:
[[Berkas:ID-ANRI K66a 2491 0810.jpg|jmpl|Arsip (Repro) Daghregister 27 Februari 1682. Berisi surat Kiai Ngabehi Wiralodra kepada Cornelis Speelman yang telah menjabat sebagai Gubernur Jenderal VOC di Batavia.]]
 
 
Baris 257 ⟶ 268:
 
''Desen brieff van Ingabeij Wiera Loddra komt aan den Heer, Gouverneur Generaal Cornelis Speelman in de stadt Batavia. Voorts make bekent dat UEdʰͭˢ dienaar genegen is om mijn Heer te begroeten, alsoo hij Generael is geworden. Godt de Heere zegene hem met een langh leven om de stadt Batavia te regeeren en de Kiaij di Patiij groet mijn Heer oock eerbiedelijck. ‘t Zij goet of quaat, groot of kleijn, alles dat in onse regeeringe geschied staat in het believen van mijn Heer, op wien ons vertrouwen stellen. Wijders heeft mijn Heer gesonden om op Dramaijou rijs te koopen; UEdʰͭˢ dienaar heeft met Dirck naar Chirrebon gesonden om geld van Van de Meer te eijsschen, maar en heeft niet gekregen ende isser een afgesonden van Van der Meer gekoment genaant ………'''[4]''') dewelcke gelaste dat men het vaartuijgh van Dirck soude laden, gelijck geschiet is ende heeft UEdʰͭˢ dienaar daarinne geladen en den Sabandhaar drie coijang, dit is hetgeene in ‘t vaartuijch van Dirck geladen is dat Van der Meer wil betalen. Ick been zeer bevreest om naar de Mataram te gaan, dierhalven versoecke met mijn Heers volck te mogen vertrecken en dat tot dien eijnde een teecken geschrift magh bekomen, daarom gelieft mijn Heers volck metten eersten met een passe herwaarts te zenden. UEd ͭˢ dienaar heeft niet anders te zeggen, als ‘tgeen in desen brieff geschreven staat. Eijnde.    ''
 
 
 
Baris 270 ⟶ 282:
 
Wiralodra kemudian diberitakan telah meninggal dunia, hal ini terekam dalam ''Daghregister'' bertanggal 9 April 1682 yang memberitakan mengenai kepergian Ngabehi Wirapati (anak Wiralodra) ke Keraton Mataram di Kartasura untuk mengantarkan lampit (tikar pembungkus jenazah) ayahnya. Ngabehi Wiralodra meninggal diperkirakan sekitar bulan Maret – April 1682, karena pada bulan Februari ia masih tercatat melakukan kunjungan ke Mataram yang beribukota di Kartasura Diningrat. Kemudian melalui Isi surat tanggal 7 Juni 1682 menerangkan bahwa Wirapati telah diangkat oleh Susuhunan Amangkurat II untuk menggantikan kedudukan ayahnya menjadi Bupati Utama Indramayu dengan gelar Ngabehi Wiralodra (Zulkarnaen, dkk., 2022: 158, 193-194). Mengenai keterangan rekomendasi VOC terhadap Mataram agar Wirapati menjadi pengganti ayahnya terekam dalam ''Daghregister'' tertanggal 27 Januari 1682 yang menyatakan “…Indramayu dibiarkan berada dibawah kekuasaan Wiralodra, dimana distrik itu telah lama dipimpin oleh otoritas yang lebih tinggi yaitu Tumenggung Wangsaita, dan pada waktu yang bersamaan tahun berjalan anak dari Wiralodra diangkat” (''Daghregister'' I, 27 Januari 1682 : 63). Adapun surat asli Ngabehi Wirapati yang disalin dalam ''Daghregister'' 7 Juni 1682, setelah mengantarkan lampit jenazah ayahnya ke Mataram dibulan April 1682 adalah sebagai berikut :
[[Berkas:ID-ANRI K66a 2492 1014.jpg|jmpl|Arsip (repro) Daghregister 7 Juni 1682. Berisi surat dari Kiai Wirapati kepada Gubernur Jenderal VOC di Batavia.]]
 
''Transalaat-briefie van Keeij Wiera Nebeij Pattij alias Ingabeij Wiera Loddra uijt Indramaijoe aan Sijn Ed ͭ de Heere Gouverneur Generaal geschreven.''
 
''Dit briefie van UEdˢ dienaar Keeij Nebeij Wiera Patij, waar brenger of is Naija Goena, om daarmede voor den Heer Gouverneur Generaal tot Batavia in alle nedricheijt en eerbiedigheijt te verschijnen, die Godt den Heere wilzegenen met een lang leven, macht gevende aan de volckeren van den Zousouhounang Mancourat Zina Pattij Ingalaga tot Carta Zoura. Verders heeft voor desen den Heer Generaal belast, dat de vader van UEdˢ dienaar naar den Sousouhounang soude vertrecken, alwaar UEdˢ dienaars vader is verscheenen en hem uijtte naam van de Heer Generaal door den Zousouhounang eere is bewesen. Naderhant is UEdˢ dienaars vader komen te overlijden en door last van den Zousouhounang UEdˢ dienaar in zijn vaders plaatse gesuccedeert en met de naam van Ingabeij Wiera Loddra vereert om de plaatse Indermaijoe van het geberchte recht deur tot aan de zee te regeren, ‘tgeene UEdˢ dienaar nu oock waarneemt e naan den Heer Generaal bekent maackt. Hetgeene verder te seggen hebbe is den brenger deses bewust, die den Heer Generaal van alles onderricht sal geven. Eijnde.''
 
 
 
Baris 279 ⟶ 293:
 
Terjemahan surat yang ditulis oleh Kiai Ngabehi Wirapati alias Ngabehi Wiralodra Indramayu kepada Yang Mulia Gubernur Jenderal, sebagai berikut.
 
 
 
Baris 369 ⟶ 384:
Dalam sebuah Peta bagian Pulau Jawa Abad ke-17 koleksi National Archief Nederlands, terlihat aliran sungai cimanuk dipadati desa-desa. Namun tidak diterangkan apakah desa-desa tersebut seluruhnya telah masuk menjadi bagian dari Indramayu atau sebagian dari wilayah Cirebon. Adapun nama-nama desa tersebut:
 
Sisi barat Sungai Cimanuk (utara ke timur): Pasekan, Sindang, Indermayu, Trusan, Sukadedel, Kananga, Duku, Panyindangan, Rambatan, Sabangkir, Sindangkarta, Lobener, Logokasi, Salawur, Logokasi, Salawur, Lowiegede. Goridanglajer, Pegaden, Boukalla, Karanggetas, Bangodua.
1.      Sisi barat Sungai Cimanuk (utara ke timur):
 
Sisi barat Indermayu : Rajaajeng, Pria, Lelea, Talanga, Muntur, Losarang, Pontang, Radegang, Pandama, Paparean, Karangtengah, Kadawung.
Pasekan, Sindang, Indermayu, Trusan, Sukadedel, Kananga, Duku, Panyindangan, Rambatan, Sabangkir, Sindangkarta, Lobener, Logokasi, Salawur, Logokasi, Salawur, Lowiegede. Goridanglajer, Pegaden, Boukalla, Karanggetas, Bangodua.
 
Sisi timur Sungai Cimanuk : Pabean, Paoman, Lemahbang, Karangangsana, Tumenggungan, Warenerig, Bojong, Wanasari, Pakandangan, Karangsembung, Nambo, Palumbon, Telukagung, Lobener, Tugu. Jatisawit, Pawidean, Bantaragung, Jatibarang.
2.      Sisi barat Indermayu :
 
Rajaajeng, Pria, Lelea, Talanga, Muntur, Losarang, Pontang, Radegang, Pandama, Paparean, Karangtengah, Kadawung.
 
3.      Sisi timur Sungai Cimanuk :
 
Pabean, Paoman, Lemahbang, Karangangsana, Tumenggungan, Warenerig, Bojong, Wanasari, Pakandangan, Karangsembung, Nambo, Palumbon, Telukagung, Lobener, Tugu. Jatisawit, Pawidean, Bantaragung, Jatibarang.
 
Sebagian wilayah Indramayu pada Peta Bagian Pulau Jawa Abad ke-17.
[[Berkas:Kaart van een gedeelte van het Eiland Java 17de eeuw. National Archief Nederlands. NL-HaNA 4.VEL 1161.jpg|jmpl|Peta Jawa Abad ke-17 bagian wilayah Dermayu. (Kaart van een gedeelte van het Eiland Java 17de eeuw.   National Archief Nederlands.  NL-HaNA_4.VEL_1161)]]
 
(Sumber: National Archief Nederlands, Zulkarnaen, dkk. 2022. Kontributor : Mustakim Asteja)
 
 
Baris 393 ⟶ 401:
 
Pada periode selanjutnya pada tahun 1819 terdapat wilayah yang bernama Bengawan Wetan (Sisi timur sungai Cimanuk). Pada periode ini kemudian Indramayu dimasukan dalam administrasi Karesidenan Cirebon dan Krestal (anak Semangun) yang pernah menjabat bupati dengan gelar Ngabehi Wiralodra akhirnya hanya menjabat sebagai Jaksa Indramayu (Jaksa Wiralodra) dibawah Bupati Cirebon yang merupakan pembantu Residen Cirebon. Namun sebelum menjabat sebagai jaksa, sepertinya Krestal menjadi juru tulis pribumi dikantor Asisten Residen Indramayu[5], dimana Tahun 1825-1838 Indramayu memang dipimpin oleh Asisten Residen. Kemudian ditahun 1838-1845 dibawah jabatan Asisten Residen terdapat jabatan Jaksa yang dikenal gelarnya sebagai Jaksa Wiralodra. Jabatan Jaksa diteruskan adik menantu Krestal yaitu Raden Wira Adibrata yang pada tahun 1845 menjadi Rangga Dermayu dengan gelar Raden Demang Wira Adibrata (''Regeering Almanak 1819-1842''). Anak dari Krestal atau Jaksa Wiralodra yaitu Raden Marngali kemudian hanya menjabat sebagai Demang Distrik Dermayu Kulon (Pasekan) dengan gelarnya Raden Demang Wirakusuma berkedudukan di Kademangan Ngabehi (Tempat tinggal Para Ngabehi Wiralodra) Sindang tahun 1850. Masyarakat mengenalnya dengan sebutan “Demang Behi”.
 
 
 
Baris 399 ⟶ 408:
Legitimasi VOC atas Indramayu sebenarnya telah terlihat sejak tahun 1677-1678. Meskipun VOC yang merupakan persekutuan para pedagang Belanda tidak masuk dalam struktural pemerintahan pribumi (Mataram) namun ia memiliki hak istimewa dalam mempengaruhi beberapa kebijakan ekonomi dan politik Mataram melalui kontrak-kontraknya. VOC juga memiliki hak istimewa dalam membentuk satuan militer keamanan. VOC yang pernah khawatir dengan adanya jalinan rahasia antara Indramayu dengan Banten pernah meminta pihak Mataram agar mengirimkan pejabatnya sebagai lurah di Indramayu untuk mengawasi Kiai Ngabehi Wiralodra. Lurah pada saat awal Kiai Ngabehi Wiralodra diberikan rekomendasi tugas adalah Waduaji, namun sosok ini merupakan seorang Punggawa Sultan Banten dimana pada akhirnya Banten melakukan gangguan-gangguan terhadap tanah-tanah yang baru saja akan diserahkan hak monopoli komoditasnya dari Mataram kepada VOC. Utusan Mataram yaitu Sutadria bersama lurah Wangsa akhirnya datang ke Indramayu untuk membantu tugas-tugas Kiai Ngabehi Wiralodra serta mengawasinya. Sutadria dan Lurah Wangsa diwajibkan memberikan laporan kondisi Indramayu kepada VOC, jika tidak mereka berdua tidak diperkenankan kembali ke Mataram.
 
           Selain hal tersebut VOC dengan alasan untuk menjamin dan menjaga stabilitas keamanan baik diwilayah Indramayu, Sumedang dan Cirebon pada bulan September 1678 meminta kepada pihak Mataram agar di Indramayu didirikan sebuah Pos atau pangkalan militer termasuk menyiapkan ketersediaan perbekalan dan keperluan lainnya. Hal tersebut karena para petualang Banten dengan beberapa tokoh terkemukanya yaitu Waduaji (yang disebut pengkhianat), Nitinegara dan Ciliwidara terus melakukan upaya perampokan terhadap rakyat di tanah-tanah pertuanan Mataram.
 
Setelah peristiwa pendudukan Banten di wilayah Cirebon, Priangan dan daerah-daerah pantai utara Jawa bagian barat berakhir. Pihak Batavia kemudian melakukan penetapan-penatapan kembali mengenai pengaturan kekuasaan atas wilayah yang telah dijanjikan Mataram kepada VOC. Di antara penetapan tersebut khusus yang menyangkut wilayah Indramayu adalah penetapan bahwa untuk wilayah Indramayu tetap berada dibawah kepemimpinan Ngabehi Wiralodra. Dalam sebuah ''Daghregister'' tahun 1682 dinyatakan :
Baris 427 ⟶ 436:
----[1] De Haan menuliskan bahwa kemungkinan penyerahan wilayah sebelah barat Cimanuk dilakukan oleh Panembahan Ratu kepada Raja Mataram karena adanya jalinan perkawinan (de Haan. III, 1912: 62).
 
[2] Lihat A. Sobana Hardjasaputra (2004), ''SERI SUNDAKALA 3 Bupati di Priangan dan Kajian Lainnya mengenai Budaya Sunda''. Bandung: PT Kiblat Buku Utama.[3] laporan memori serah terima jabatan dari mantan Residen Cirebon Hasselaer yang menyerahkan kepada saudagar Robbert Hendrik Armaneult pada tahun 1765, menuliskan bahwa “Indramayu, tempat dimana rakit kayu diproduksi dan dikirim, merupakan sebuah kabupaten kecil, yang sekarang berada di bawah kendali Pepatih Tanujiwa dan Wirantaka (''Papattys Tanoe Jiwa en Wirantakka''), saudara sepupu laki-laki dari bupati yang telah diganti, sebagai wali dari anak Ngabehi Wiralodra (''Ingaby Wira Loedra'') yang masih di bawah umur.” Sedangkan Dalam laporan memori serah terima jabatan dari saudagar dan Syahbandar tua Batavia Robert Hendrik Armenault kepada penggantinya titular saudagar Evert Jan Van Nieuwkerken, yang ditulis oleh Nijvenheim pada bulan Agustus 1771 menuliskan bahwa “Indramayu memiliki seorang bupati muda bergelar Ngabehi Wiralodra (''regent de jonge Ingabee Wiera Lodra''), yang tertulis dalam akta tertanggal 6 September 1764 terkait serah terima ini” ((de Jonge XI, 1883: 193).[5] Memorie van toelichting op een ontwerp nnieuw reglement op de particuliere. landerijen bewesten de Tjimanoek (J Faes 1890). Wiralodra periode ini kemungkinan dijabat oelh Krestal anak Semangun yang setelah peristiwa geger Bagus Rangin harus menyerahkan tanah Dermayu kepada pemerintah Hindie Belanda sepenuhnya, jabatan Bupati Indramayu ditiadakan karena Indramayu menjadi bagian dari Keresidenan Cirebon.
[2] Lihat A. Sobana Hardjasaputra (2004), ''SERI SUNDAKALA 3 Bupati di Priangan dan Kajian Lainnya mengenai Budaya Sunda''. Bandung: PT Kiblat Buku Utama.
 
 
[3] laporan memori serah terima jabatan dari mantan Residen Cirebon Hasselaer yang menyerahkan kepada saudagar Robbert Hendrik Armaneult pada tahun 1765, menuliskan bahwa “Indramayu, tempat dimana rakit kayu diproduksi dan dikirim, merupakan sebuah kabupaten kecil, yang sekarang berada di bawah kendali Pepatih Tanujiwa dan Wirantaka (''Papattys Tanoe Jiwa en Wirantakka''), saudara sepupu laki-laki dari bupati yang telah diganti, sebagai wali dari anak Ngabehi Wiralodra (''Ingaby Wira Loedra'') yang masih di bawah umur.” Sedangkan Dalam laporan memori serah terima jabatan dari saudagar dan Syahbandar tua Batavia Robert Hendrik Armenault kepada penggantinya titular saudagar Evert Jan Van Nieuwkerken, yang ditulis oleh Nijvenheim pada bulan Agustus 1771 menuliskan bahwa “Indramayu memiliki seorang bupati muda bergelar Ngabehi Wiralodra (''regent de jonge Ingabee Wiera Lodra''), yang tertulis dalam akta tertanggal 6 September 1764 terkait serah terima ini” ((de Jonge XI, 1883: 193).
 
 
[5] Memorie van toelichting op een ontwerp nnieuw reglement op de particuliere. landerijen bewesten de Tjimanoek (J Faes 1890). Wiralodra periode ini kemungkinan dijabat oelh Krestal anak Semangun yang setelah peristiwa geger Bagus Rangin harus menyerahkan tanah Dermayu kepada pemerintah Hindie Belanda sepenuhnya, jabatan Bupati Indramayu ditiadakan karena Indramayu menjadi bagian dari Keresidenan Cirebon.
----<sup>[1]</sup> Dalam bahasa Jawa, jika ada ada dua kata yang kata pertama diakhiri vokal dan bertemu dengan awal kata kedua dengan vokal yang sama dengan kata pertama, maka hanya dibaca satu vokal saja, sehingga Darma dan Ayu menjadi Darmayu. Contoh lain kata Maja Agung yang disatukan menjadi Majagung (Nurlelasari, 2016: 39).
 
Baris 441 ⟶ 444:
 
[4] Peta Theodore de Bry 1598.
 
 
 
 
[5] Istilah Pires untuk menyebut mereka yang belum mengenal Kristen dan Islam (Cortesao, 2015: xiii).
 
 
 
 
[6] Istilah ''Moor'' merujuk pada deskripsi orang Muslim pengikut ajaran Muhammad dari zaman pertengahan yang tinggal di Al-andalus (Semenanjung Iberia termasuk Spanyol dan Portugis zaman sekarang) dan juga Maroko serta Afrika barat, yang budayanya disebut Moorish. Kata ini juga digunakan di Eropa untuk menunjuk orang yang memiliki keturunan Arab atau Afrika. Nama ''Moor'' berasal dari suku kuno Maure dan Kerajaan Mauritania (Wikipedia). Pires menggunakan istilah ''Moor'' untuk merujuk mereka yang beragama Islam yang merupakan pesaing utama dengan Portugis yang juga membawa misi Kristenisasi.
 
 
 
Baris 472 ⟶ 480:
 
<sup>[18]</sup> Dalam deskripsi peta tersebut bertuliskan ''Malaysian-Portuguese cartographer Emanuel Godinho de Eredia (1563-1623).'' Kemudian pada bagian bawah peta terdapat angka tahun 1601 (www.alamy.com/stock-photo).
 
 
'''REKONTRUKSI SEJARAH WIRALODRA'''
Baris 501 ⟶ 510:
 
<sup>[9]</sup> Tidak mudah untuk memastikan tokoh Tumenggung Wangsaita yang disebutkan sebagai prajurit yang baik dan setia dalam pertempuran di Demung ''(Dommon)'' dan gugur pada sekitar bulan September 1676. Graaf (1986) yang bersumber pada ''Daghregister'' 1676 menuliskan Nama Wangsaita sebagai bendaharawan kerajaan bersama Nitisastra, kemudian ada nama Wangsadita seorang kepala abdi di Gresik. Selanjutnya ada Wangsadipa yang menjabat sebagai Bupati Jepara dan masih hidup sampai dengan bulan Desember 1676. Maka, terhadap nama-nama tadi sepertinya tidak tepat dengan penggambaran profil gubernur agung – Wangsaita – versi ''Daghregister'' 1682.  Namun terdapat beberapa tokoh yang terlibat dalam pertempuran di desa Demung (''Dommon''), Situbondo, Jawa Timur pada tahun 1676: 1) Raden Prawirataruna; 2) Ngabehi Singawangsa dan Rangga Sidayu. Raden Prawirataruna dikisahkan memimpin pasukan Mataram mendarat, dan langsung diserang laskar Makassar yang bersenjatakan tombak dan belati. Dengan sisa pasukan sebanyak 40 orang, Raden Prawirataruna melancarkan serangan balasan, namun kekuatan laskar Makassar lebih besar mengakibatkan seluruh keluarga besar Raden Prawirataruna meninggal, sedangkan ia melarikan diri ke pantai untuk melindungi sisa pasukannya, namun laskar Makassar terus mengejar dengan senjata lembing pendek dan besar menewaskan seluruh pasukan Mataram termasuk Raden Prawirataruna pada tanggal 24 Mei 1676. Sedangkan Ngabehi Singawangsa dan Rangga Sidayu yang merupakan penguasa pesisir Mataram bertempur melawan pasukan Makassar namun nasib Rangga Sidayu tidaklah mujur, ia meninggal dalam pertempuran di Gegedog bersama dengan pasukan Pangeran Mataram tanggal 16 September 1676 (Graaf, 1986: 98-113). Rangga Sidayu disebut sebagai pelita Sunan Amangkurat I yang mampu menerangi seluruh pesisir Jawa. Rangga Sidayu merupakan paman dari Raden Prawirataruna, meraka masih satu keluarga (satu wangsa). Sosok Wangsaita – gubernur agung – bisa jadi diantara kedua tokoh tersebut yang memang memiliki kapasitas dalam pengawasan wilayah pesisir utara Jawa dan gigih dalam medan pertempuran.
 
 
 
Baris 515 ⟶ 525:
 
Rencana penyerangan diketahui oleh Indrawijaya, meskipun para sentana dan prajuritnya belum mengetahuinya. Patih Mangunjaya dan para sentana diperintahkan untuk menjaga Indramayu lebih ketat lagi. Orang-orang yang hilir mudik Negara Indramayu semuanya dipantau. Sejumlah prajurit dikerahkan untuk berjaga, siang dan malam.
 
 
 
Baris 538 ⟶ 549:
 
Kisah tentang Indrawijaya juga terdapat pada naskah ''Babad Darmayu'' berbahan rontal dan kulit binatang milik Trah Wiralodra. Berdasarkan pada kedua naskah tersebut, Wiralodra dianugerahi gelar Indrawijaya oleh Prabu Cakraningrat Raja Galuh. Wiralodra kemudian menikah dengan Nyi Endang Dharma alias Nyi Mas Gandasari. Lalu Wiralodra memerintah daerah Indramayu. Adapun perangkat pemerintahannya atau pejabatnya yakni Patih Danujaya, Punggawa Kawulanya Pulaha, Wanasara, Bayantaka, Surantaka, dan Puspataruna. Di samping itu ada Puspahita sebagai ''bahu suku'' serta Ki Tinggil sebagai lurah. Dua sumber ini sama-sama menceritakan peristiwa kedatangan pasukan Kuningan dan peristiwa pemasangan jimat di Kali Kamal.
 
 
 
Baris 592 ⟶ 604:
{{reflist}}
==Daftar pustaka==
* Cortesao, Armando. 2015. ''Suma Oriental. Karya Tome Pires: Perjalanan dari Laut Merah ke Cina dan Buku Fransisco Rodrigues.'' Yogyakarta. Penerbit Ombak.
* Buku Sejarah Indramayu (cetakan ke 2) terbitan pemerintah Kabupaten DT II Indramayu
* ''Dagh-Register 1678 Gehouden int Casteel Batavia vant Passerende daer ter Plaetse als over Geheel Uitgegeven door het Departement van Kusten en Wetenschappen, met medewerking van de Nederlandsch-Indische Regeering en Onder Toezicht van de Dr. F. De Haan,'' 1907. Batavia: landsdrukkeij&‘s-Gravenhage, Martinus Nijhoff. ''Dagh-Register 1679 Gehouden int Casteel Batavia vant Passerende daer ter Plaetse als over Geheel Uitgegeven door het Departement van Kusten en Wetenschappen, met medewerking van de Nederlandsch-Indische Regeering en Onder Toezicht van de Dr. F. De Haan,'' 1909. Batavia: landsdrukkeij&‘s-Gravenhage, Martinus Nijhoff. ''Dagh-Register 1680 Gehouden int Casteel Batavia vant Passerende daer ter Plaetse als over Geheel Uitgegeven door het Departement van Kusten en Wetenschappen, met medewerking van de Nederlandsch-Indische Regeering en Onder Toezicht van de Dr. F. De Haan,'' 1912. Batavia: landsdrukkeij&‘s-Gravenhage, Martinus Nijhoff. ''Dagh-Register 1681 Gehouden int Casteel Batavia vant Passerende daer ter Plaetse als over Geheel Uitgegeven door het Departement van Kusten en Wetenschappen, met medewerking van de Nederlandsch-Indische Regeering en Onder Toezicht van de Dr. F. De Haan,'' 1919. Batavia: landsdrukkeij&‘s-Gravenhage, Martinus Nijhoff. ''Dagh-Register 1682.I Gehouden int Casteel Batavia vant Passerende daer ter Plaetse als over Geheel Uitgegeven door het Departement van Kusten en Wetenschappen, met medewerking van de Nederlandsch-Indische Regeering en Onder Toezicht van de W. Fruin_Mees,'' 1928. Batavia: G. Kolff&Co. ''Dagh-Register 1682.II Gehouden int Casteel Batavia vant Passerende daer ter Plaetse als over Geheel Uitgegeven door het Departement van Kusten en Wetenschappen, met medewerking van de Nederlandsch-Indische Regeering en Onder Toezicht van de W. Fruin_Mees,'' 1931. Batavia: G. Kolff&Co.
* Buku Wiralodra Penguasa Indramayu Abad ke-17 : Kajian Naskah Kuno dan Daghregister VOC (Penulis : Iskandar Zulkarnaen, Rono Tabroni, Nurhata) terbitan K-Media, Yogyakarta.
* Dasuki, H.A. dkk. 1977. ''Sejarah Indramayu''. Indramayu: Sudiam.
* De Graaf, H.J. 1986. ''Puncak Kekuasaan Mataram Politik Ekspansi Sultan Agung''. Jakarta: PT Pustaka Grafitipers. De Graaf, H.J. 1987. ''Disintegraasi Mataram Di Bawah Amangkurat'' I. Jakarta: PT Pusataka Grafitipers. De Graaf, H.J. 1989. ''Terbunuhnya Kapten Tack. Kemelut di Kartasura Abad XVII''. Jakarta: PT Pusataka Grafitipers. de Haan, F. 1912. ''De Preanger -Regentschappen Onder Het Nederlandsch Bestuur Tot 1811''. Batavia: Gedrukt Ter Boekdrukkerij G. Kolff & Co.
*Zulkarnaen, Bukudkk., 2022. ''Wiralodra Penguasa Indramayu Abad ke-17 : Kajian Naskah Kuno dan Daghregister.'' VOC (Penulis DIY: Iskandar Zulkarnaen, Rono Tabroni, Nurhata) terbitan K-Media, Yogyakarta.
*Kasim, Supali. 2011. ''Menapak Jejak Sejarah Indramayu''. DIY: Framepublishing.
*Margana, Sri, dkk. 2021. ''Sejarah Kebudayaan Maritim Mataram 1600-1755''. DIY: Dinas Kebudayaan DIY
* Nurlelasari, Dini. 2016. "Pelabuhan Indramayu pada Masa Kerajaan Tradisional hingga Masa Hindia Belanda (Abad XVI-XX)”. Konferensi Nasional Sejarah X. Direktorat Sejarah, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.
 
[[Kategori:Sejarah Indonesia]]