Teuku Ben Mahmud: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
Al Asyi (bicara | kontrib)
Tidak ada ringkasan suntingan
Tag: VisualEditor Suntingan perangkat seluler Suntingan peramban seluler Suntingan seluler lanjutan
Al Asyi (bicara | kontrib)
Tidak ada ringkasan suntingan
Tag: VisualEditor Suntingan perangkat seluler Suntingan peramban seluler Suntingan seluler lanjutan
Baris 43:
Di tahun yang sama, pasukan Teuku Ben yang dipimpin Tengku Idris dari [[Nagan Raya]] juga menyerang rombongan [[Kontrolir|kontrolil]] Belanda yang sedang mengutip ''blestenk'' (pajak rakyat) di [[Kuta Buloh I, Meukek, Aceh Selatan|Kuta Buloh]], [[Meukek, Aceh Selatan|Meukek]]. Penyerangan ini menewaskan beberapa serdadu Belanda. Aksi tersebut membuat Belanda melakukan sweeping secara ketat, sehingga membuat Tengku Idris dan beberapa pasukan Teuku Ben lainnya tertangkap dan dibuang ke [[Ternate]], [[Pulau Halmahera|Halmahera]], [[Maluku Utara]] (salah seorang keturunan Tengku Idris di Maluku Utara adalah Mantan Menpora RI [[Abdul Gafur (politikus)|Abdul Gafur]]).
 
Pada Juni 1908, Belanda berhasil menyandera beberapa anggota keluarga dan pasukan Teuku Ben termasuk istri Teuku Ben, Teuku Banta Sulaiman, Teuku Sabi beserta 100 orang pengikutnya. Atas bujukan [[W.B.J.A. Scheepens|Kapitein W.B.J.A. Scheepens]] dan [[Kapten|Kapitein]] H. Colijn, Teuku Ben Mahmud dan 160 orang pasukannya pada Juli 1908 akhirnya terpaksa turun gunung dengan membawa 17 pucuk senjata dan menghentikan gerilyanya dengan syarat Belanda harus melepaskan sandera dan mengembalikan pejuang Aceh yang mereka buang ke luar Aceh.
 
Meskipun telah turun gunung, Teuku Ben Mahmud tetap diawasi oleh Belanda. Secara diam-diam Teuku Ben masih terus menyemangati pejuang Aceh bahkan sempat memerintahkan untuk membunuh seorang mata-mata Belanda. Karena dianggap masih memiliki pengaruh terhadap perlawanan melawan Belanda, Teuku Ben Mahmud dan beberapa keluarganya akhirnya dibuang ke [[Kota Ternate|Ternate]], [[Maluku]] padaantara tahun 1911-1914. Tidak diketahui secara pasti kondisi Teuku Ben Mahmud dalam pengasingannya di Ternate.
 
Meskipun perjuangan Teuku Ben Mahmud terhenti setelah ia dibuang ke Ternate. Namun semangat perjuangannya tetap diteruskan oleh anaknyaTeuku Karim bin Teuku BantaBen SulaimanMahmud dan pasukan nya yang lain. Bahkan disinyalir [[peristiwa 11 September 1926]] atau penyerangan tangsi Belanda di Blangpidie oleh pasukan [[Teungku Peukan]] juga dilatarbelakangi atau dipengaruhi oleh semangat perjuangan Teuku Ben Mahmud.
 
PenerusPutra sulung Teuku Ben Mahmud, Teuku Banta Sulaiman selanjutnya juga diasingkan oleh Belanda dan dibuang ke [[Peureulak, Aceh Timur|Peureulak]], [[Aceh Timur]] padaantara tahun 1916-1919 kemudianlalu dipindahkan ke [[Kutaraja]] hingga masuknya [[Jepang]] ke Aceh baru ia bisa kembali pulang ke Blangpidie. Saudaranya, Teuku Karim bin Teuku Ben Mahmud turut melakukan perlawanan melawan Belanda hingga masuknya Jepang pada tahun 1942
 
Sepeninggal Teuku Banta Sulaiman, pada 30 Oktober 1917 kepemimpinan kenegerian Blangpidie selanjutnya diambilalih oleh adiknya, Teuku Rayeuk bin Teuku Ben Mahmud, karena Teuku Sabi bin Teuku Banta Sulaiman masih kecil. Baru pada tahun11 1936Oktober 1929, ''Zelfbestuurder van'' Blangpidie dijabat oleh Teuku Sabi hingga terjadinya [[revolusi sosial]] pasca [[kemerdekaan Indonesia]] yang menyebabkan Teuku Sabi hilang. Teuku Sabi menikah dengan putri Datuk Nyak Raja (''Zelfbestuurder van'' Susoh). Teuku Sabi tidak memiliki anak laki-laki yang dapat meneruskan kepemimpinannya sebab anak laki-laki mereka satu-satunya bernama Teuku Raja Usman bin Teuku Sabi meninggal saat masih kecil akibat tenggelam di kolam sekitar kediaman Teuku Sabi.<ref>{{Cite web|date=2015-02-06|title=Peristiwa 11 September 1926; Perlawanan Teungku Peukan terhadap Belanda di Aceh (Bagian I)|url=http://kebudayaan.kemdikbud.go.id/bpnbaceh/peristiwa-11-september-1926-perlawanan-teungku-peukan-terhadap-belanda-di-aceh-bagian-i/|website=Balai Pelestarian Nilai Budaya Aceh|language=en-US|access-date=2022-10-12}}</ref>
 
Saat kematian Teuku Raja Usman bin Teuku Raja Sabi terjadi perdebatan terkait hukum samadiah atau tahlilan. Peristiwa ini berujung pada perdebatan antara murid-murid [[Abu Syekh Mud]] termasuk [[Abuya Muda Waly]] dengan Teungku Sufi Susoh.
 
== Penghargaan ==