Rumah Tinggal Hasmo Sugijarto: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
InternetArchiveBot (bicara | kontrib)
Rescuing 1 sources and tagging 0 as dead.) #IABot (v2.0.9.2
Tidak ada ringkasan suntingan
Baris 22:
 
[[Berkas:Keluarga Frederik Bousché (1).jpg|jmpl|260x260px|Frederik Bousché dan Wilhelmina Frederika Kouwenberg bersama keempat anaknya pada 1910.]]
Rumah ini diperkirakan dibangun pada 1919 dengan pemilik awal bernama Frederik Bousché, seorang Indo-Belanda kelahiran [[Delanggu, Klaten]].{{sfnp|Prakosa|2017|p=64|ps=: "Cerita lain terkait hubungan golongan Eropa dengan masyarakat bumiputra datang dari keluarga dr. Frederik Bousche. Keluarga Indo-Belanda yang pernah bertempat tinggal di ''Julianalaan'' (saat ini di depan Kantor Pos Salatiga) dan dimiliki oleh keluarga dr. R. Hasmo Sugijarto) itu dikenal dermawan (...)"}} Pada awal pendiriannya, seperti mayoritas orang [[Belanda]] lainnya, Bousché menanam berbagai bunga di halaman rumah tersebut serta memilih motif tulip untuk lantainya.{{sfnp|Supangkat|2019|p=9|ps=: "Seperti kebanyakan orang Belanda yang menyukai bunga, Bousche pun demikian juga sehingga dia banyak menanam bunga (...)"}} Bangunan rumah itu berada di kawasan strategis, yaitu Jalan Moh. Yamin (dahulu bernama ''Julianalaan'').<ref>{{Cite web|url=https://www.solopos.com/wisata-salatiga-ini-11-benda-cagar-budaya-714261|title=Wisata Salatiga: Ini 11 Benda Cagar Budaya|last=Saputra|first=Imam Yuda|date=27 April 2016|website=Solopos|access-date=12 Maret 2020}}</ref>{{sfnp|Supangkat|2012|p=21|ps=: "Beberapa nama jalan lain yang "berbau" Belanda, misalnya ''Koffiestraat'' yang kemudian diganti ''Prins Hendriklaan'' (sekarang Jalan Yos Soedarso), ''Emmalaan'' (sekarang Jalan Adisutjipto), ''Prinsenlaan'' (sekarang Jalan Tentara Pelajar), ''Julianalaan'' (sekarang Jalan Moh. Yamin) (...)"}}''{{sfnp|Harnoko, dkk|2008|p=42|ps=: "Jalan Moh. Yamin ada bangunan-bangunan kolonial, yang kini digunakan untuk rumah tinggal, kantor pos, dan kantor pegadaian (...)"}}'' Pada masa pemerintahan ''gemeente'' (kotapraja dengan otonomi penuh), kawasan tersebut berkembang menjadi pusat kota yang dikenal dengan nama ''Europeesche Wijk.{{sfnp|Anwar|2019|p=147|ps=: "Untuk wilayah yang saat ini bernama Jalan Diponegoro, Jalan Yos Sudarso, Jalan Patimura, Jalan Moh. Yamin, pada masa kolonial adalah zona ''Europeesche Wijk'' dihuni oleh orang Eropa yang kaya-raya (...)"}}{{sfnp|Rohman|2020|p=124|ps=: "Pada masa pemerintahan ''gemeente'', kawasan di sekitar Rumah Dinas Asisten Salatiga memang berkembang menjadi pusat kota. Perkembangan ini turut mendorong orang-orang kulit putih untuk menjadikan daerah tersebut sebagai kawasan elite (...)"}}'' Menurut Prakosa, kawasan ini hanya boleh ditempati oleh orang-orang Eropa, Timur Asing, dan masyarakat pribumi yang memiliki penghasilan setara dengan pegawai Eropa, yaitu kategori golongan gaji A (gaji tertinggi).{{sfnp|Prakosa|2017|p=27|ps=: "Selain diskriminasi dalam lapangan politik, ekonomi, sosial, dan hukum, pemerintah kolonial juga membedakan penduduk dalam pola permukiman. Mereka dikelompokkan dalam lokasi tertentu berdasarkan golongan etnis. Golongan Eropa, misalnya, bermukim di sekitar ''Toentangscheweg'' (...)"}} Namun, Supangkat menegarai bahwa ruas ''Julianalaan'' menjadi lokasi alternatif pendirian rumah tinggal tersebut karena lahan di sekitar Jalan Diponegoro (dahulu bernama ''Toentangscheweg'') mulai padat.{{sfnp|Supangkat|2012|p=35|ps=: "(...) Itulah sebabnya mereka seakan berlomba membangun rumah-rumah dan bangunan dengan arsitektur Eropa yang berhalaman luas di kanan-kiri ''Toentangscheweg'', sampai akhirnya daerah tersebut benar-benar menjadi kawasan permukiman orang Eropa (''Europeesche Wijk'')".}}{{sfnp|Supangkat|2019|p=8|ps=: "(...) Dengan adanya ketetapan tersebut, banyak orang Belanda membangun gedung-gedung berarsitektur Eropa di sepanjang ruas jalan itu. Ketika sudah tidak ada lahan lagi di sana, ruas ''Julianalaan'' menjadi alternatif yang banyak diburu".}}
 
Bangunan rumah ini merupakan salah satu bukti fisik dari konsep kota modern yang memperlihatkan ciri arsitektur kolonial di Kota Salatiga. Hingga tahun 2020, kondisi fisik bangunannya terawat dengan baik. Selain itu, bentuk bangunannya masih asli dengan estetika gaya ''art deco'' Indo-Eropa dan belum pernah mengalami perubahan desain maupun renovasi.<ref name=":0">{{Cite web|last=Pemerintah Kota Salatiga|first=|date=|title=Bangunan Cagar Budaya|url=http://salatigakota.go.id/PariwisataBcb.php|title=Bangunan Cagar Budaya|last=Pemerintah Kota Salatiga|first=|date=tanpa tanggal|website=Pemerintah Kota Salatiga|access-date=12 Maret 2020|archive-date=2019-09-11|archive-url=https://web.archive.org/web/20190911023151/http://salatigakota.go.id/PariwisataBcb.php|archive-date=11 September 2021|dead-url=yes|access-date=12 Maret 2020}}</ref> Bangunan rumah tersebut terdiri atas bangunan induk, paviliun di sisi kiri, serta ruang keluarga yang menunjukkan bahwa penghuninya banyak.{{sfnp|Supangkat|2019|p=7–8|ps=: "(...) Rumah tinggal bergaya ''art deco'' ini bisa disebut sebagai kompleks bangunan, karena selain rumah dan paviliun di sisi kirinya, di belakang masih ada bangunan lagi yang merupakan kesatuan dari rumah tersebut".}} Menurut Supangkat, fondasi yang dipakai di rumah ini adalah batu kali besar dan tinggi untuk menghindari resapan air yang dapat merusak tembok, sedangkan atapnya berbentuk perisai ganda tiga dengan pendopo berbentuk [[gazebo]] di sudut bangunan. Bangunan rumah serta pekarangan yang luasnya hingga Jalan Margosari tersebut mulai ditempati oleh keluarga Hasmo Sugijarto sejak tahun 1950. Sugijarto sendiri memiliki istri yang berprofesi sebagai bidan dan delapan orang anak yang semuanya perempuan. Hal inilah yang menyebabkan bangunan rumah ini pernah dijadikan sebagai klinik bersalin.''{{sfnp|Rahardjo, dkk|2013|p=245–246|ps=: "Bangunan rumah tinggal bergaya Indo-Eropa yang mulai dikembangkan di Hindia Belanda awal abad ke 20 ini masih kokoh dan asli. Belum ada perubahan desain maupun renovasi bentuk (...)"}}{{sfnp|Supangkat|2019|p=10|ps=: "Sampai saat ini, bangunan tersebut secara keseluruhan masih terlihat kokoh dan asli, dalam arti belum ada perubahan desain atau penambahan bangunan (...)"}}''
 
== Kompensasi pelestarian ==
 
Rumah tinggal yang berdekatan dengan [[Kantor Pos Salatiga]] tersebut terinventarisasi untuk ditetapkan sebagai salah satu bangunan cagar budaya di Kota Salatiga dengan Nomor Inventaris 11-73/Sla/67{{efn|Berdasarkan hasil kajian dan identifikasi bangunan bersejarah di Kota Salatiga yang dilakukan oleh Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (BAPPEDA) Kota Salatiga bersama Balai Pelestarian Cagar Budaya (BPCB) Jawa Tengah tahun 2009 ({{harvnb|Hatmadji, dkk|2009|pp=3}}).}}''{{sfnp|Hatmadji, dkk|2009|p=133–135|ps=: "Nama BCB/Situs : Rumah Tinggal (dr. R. Hasmo Sugijarto); No. Inventaris : 11-73/Sla/67; Lokasi : Jl. Moh. Yamin 4 Salatiga (...)"}}'' dan dilindungi oleh Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1992 tentang Benda Cagar Budaya.<ref name=":0" /> Pada 17 Juni 2015, bangunan ini menerima penghargaan dalam bentuk pemberian kompensasi pelestarian dari BPCB Jawa Tengah bersama dengan empat bangunan lain di Kota Salatiga. Kompensasi tersebut diserahkan kepada Sri Kadarinah selaku pemilik dan pengelola bangunan. Adapun empat bangunan lain itu adalah GPIB Tamansari Salatiga (diserahkan kepada Marthinus Mijan Rukait selaku Ketua IV Pelaksana Harian Majelis GPIB Tamansari Salatiga), Susteran OSF St. Fransiskus Xaverius (diserahkan kepada Suster Kepala Maria Gratia Surtinan), Rumah Tinggal Notosoegondo (diserahkan kepada Hendriani selaku pemilik dan pengelola bangunan), dan Toko Aneka Jaya (diserahkan kepada Heriyanto selaku pemilik dan pengelola bangunan).<ref>{{Cite web|url=https://kebudayaan.kemdikbud.go.id/bpcbjateng/pemberian-kompensasi-pelestari-cagar-budaya-kota-salatiga/|title=Pemberian Kompensasi Pelestari Cagar Budaya Kota Salatiga|last=Balai Pelestarian Cagar Budaya Jawa Tengah|first=|date=19 Juni 2015|website=Balai Pelestarian Cagar Budaya Jawa Tengah, Direktorat Jenderal Kebudayaan Republik Indonesia|access-date=11 Maret 2020}}</ref><ref>{{Cite web|url=https://kebudayaan.kemdikbud.go.id/bpcbjateng/bangunan-bangunan-di-kota-salatiga-penerima-kompensasi-pelestarian/|title=Bangunan-Bangunan di Kota Salatiga Penerima Kompensasi Pelestarian|last=Balai Pelestarian Cagar Budaya Jawa Tengah|first=|date=19 Juni 2015|website=Balai Pelestarian Cagar Budaya Jawa Tengah, Direktorat Jenderal Kebudayaan Republik Indonesia|access-date=11 Maret 2020}}</ref>
 
== Lihat pula ==