Sri Jayanasa: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
Tidak ada ringkasan suntingan
Baris 5:
Menurut sejarah, seorang pendeta [[Buddha]] yang pernah mengunjungi Shih-Li-Fo-Shih tahun 671 dan tinggal selama 6 bulan, terkesan akan kebaikan raja waktu itu,<ref>{{cite book|last=Takakusu|first=Junjiro|title=A record of the Buddhist Religion as Practised in India and the Malay Archipelago AD 671-695, by I-tsing|year=1896|location=London|publisher=Oxford}}</ref> dan raja tersebut kemudian dihubungkan dengan prasasti yang paling tua mengenai Sriwijaya yang juga berada pada abad ke-7, bertarikh 682 yaitu [[prasasti Kedukan Bukit]] di [[Palembang]],<ref>{{cite book|last=Casparis|first=J.G.|authorlink=Johannes Gijsbertus de Casparis|title=Indonesian palaeography: a history of writing in Indonesia from the beginnings to C. A, Part 1500|year=1975|publisher=E. J. Brill|id=ISBN 90-04-04172-9 }}</ref> merujuk kepada orang yang sama.<ref name="Cœdès">{{cite journal|last=Cœdès|first=George|authorlink=George Cœdès|title=Le Royaume de Çriwijaya|journal =Bulletin de l'Ecole français d'Extrême-Orient|year=1918|volume=18||issue=6||pages=1-36}}</ref><ref>{{cite journal|last=Cœdès|first=George|authorlink=George Cœdès|title=Les inscriptions malaises de Çrivijaya|journal =Bulletin de l'Ecole français d'Extrême-Orient (BEFEO) |year=1930|volume=30||issue=||pages=29-80}}</ref> Walaupun kemudian beberapa sejarawan berbeda pendapat tentang penafsiran dari beberapa kata yang terdapat pada prasasti tersebut.<ref name="Muljana 2006">{{cite book|last=Muljana|first=Slamet|authorlink=Slamet Muljana|title= Sriwijaya|editor= F.W. Stapel|publisher=PT. LKiS Pelangi Aksara|year=2006|location=|pages=|id=ISBN 978-979-8451-62-1 }}</ref><ref name="Soekmono2">{{cite book|last=Soekmono|first=R.|authorlink=Soekmono|title=Pengantar sejarah kebudayaan Indonesia 2|year=2002|publisher=Kanisius|id=ISBN 979-413-290-X }}</ref><ref name="Poeponegoeo">Marwati Djoened Poesponegoro, Nugroho Notosusanto, (1992), ''Sejarah nasional Indonesia: Jaman kuno'', PT Balai Pustaka, ISBN 979-407-408-X</ref>
 
Menurut [[Prasasti Kedukan Bukit]] berangka tahun 605 saka (683 masehi), menceritakan seorang bergelar ''Dapunta Hyang'' melakukan ''Siddhayatra'' (perjalanan suci) dengan naik perahu. Ia berangkat dari Minanga Tamwan dengan membawa satu armada dengan kekuatan 20.000 bala tentara menuju ke Matajap dan menaklukan beberapa daerah. Beberapa prasasti lain yang ditemui juga menceritakan Siddhayatra dan penaklukkan wilayah sekitar oleh Sriwijaya, yaitu prasasti yang ditemukan di [[Prasasti Kota Kapur|Kota Kapur]] di [[Pulau Bangka]] (686 masehi), [[Prasasti Karang Brahi|Karang Brahi]] di [[Jambi]] Hulu (686 masehi) dan [[Prasasti Palas Pasemah|Palas Pasemah]] di selatan [[Lampung]], semua menceritakan peristiwa yang sama. Dari keterangan prasasti-prasasti ini, dapat disimpulkan bahwa ''Dapunta Hyang'' mendirikan Kerajaan Sriwijaya[[Wanua|Vanua]] setelah mengalahkan musuh-musuhnya di Jambi, Palembang, Selatan Lampung dan Pulau Bangka,<ref>{{Cite book|title=Form, Macht, Differenz : Motive und Felder ethnologischen Forschens|url=https://archive.org/details/formmachtdiffere00herm|page=[https://archive.org/details/formmachtdiffere00herm/page/254 254]-255|author=Elfriede Hermann, Karin Klenke, Michael Dickhardt|isbn=978-3-940344-80-9|year= 2009|publisher=Universitätsverlag Göttingen}}</ref> dan bahkan melancarkan serangan ke Bhumi Jawa yang mungkin menyebabkan keruntuhan kerajaan [[Tarumanagara]] di Jawa Barat.
 
== Nama dan asal usul ==
''Dapunta Hyang'' dipercayai sebagai suatu gelar penguasa yang dipakai maharaja Sriwijaya periode awal.<ref name="Caspa">Casparis, J.C., (1956), ''Prasasti Indonesia II: Selected Inscriptions from the 7th to the 9th century A.D.'', Vol. II. Bandung: Masa Baru.</ref> Gelar ''Dapunta'' juga ditemukan dalam [[Prasasti Sojomerto]] (akhir abad ke-7) yang ditemukan di daerah [[Batang, Batang|Batang]], pesisir utara Jawa Tengah, yaitu Dapunta Selendra yang dipercaya sebagai nama leluhur wangsa [[Sailendra]]. Istilah ''[[hyang]]'' sendiri dalam kebudayaan asli [[Nusantara]] merujuk kepada keberadaan spiritual supernatural tak kasatmata yang dikaitkan dengan roh leluhur atau [[dewata]], sehingga diduga Dapunta Hyang melakukan perjalanan "mengalap berkah" untuk memperoleh kekuatan spiritual atau kesaktian. Kesaktian ini ditambah dengan kekuatan bala tentaranya, dijadikan sebagai legitimasi untuk menaklukkan daerah-daerah atau kerajaan-kerajaan di sekitarnya. Kekuatan spiritual ini pula yang menjadikan persumpahan Dapunta Hyang dianggap bertuah dan ditakuti para datu (penguasa daerah) bawahannya, yang kebanyakan diikat kesetiaannya kepada Datu' Sriwijaya dalam suatu prasasti dan upacara persumpahan disertai kutukan bagi siapa saja yang mengkhianati Kadatuan Sriwijaya. Slamet Muljana mengaitkan ''Dapunta Hyang'' di dalam [[Prasasti Kedukan Bukit]] sebagai "Sri Jayanasa", karena menurut [[Prasasti Talang Tuwo]] yang berangka tahun 684 masehi, Maharaja Sriwijaya ketika itu adalah Sri Jayanasa. Karena jarak tahun antara kedua prasati ini hanya setahun, maka kemungkinan besar "Dapunta Hyang" di dalam Prasasti Kedukan Bukit dan "Sri Jayanasa" dalam Prasasti Talang Tuwo adalah orang yang sama.<ref name="Muljana 2006" />
 
Asal usul Raja Jayanasa dan letak sebenarnya dari Minanga Tamwan masih diperdebatkan ahli sejarah. Karena kesamaan bunyinya, adaAda yang berpendapat Minanga Tamwan adalah sama dengan [[Minangkabau]], yakni wilayah pegunungan di hulu sungai [[Batanghari]]. Namun beberapa sejarawan, menyatakan bahwa Datu' Sriwijaya lahir dari peradaban tanah Sumatra Selatan itu sendiri, sejarawan menyebutkan bahwa Minanga berada di muara Sungai Komering Purba.<ref>{{cite book|last= Ismail|first= H.M Arian|author-link= |title= Periodisasi sejarah Sriwijaya bermula di Minanga Komering Ulu Sumatra Selatan berjaya di Palembang berakhir di Jambi
|year= 2002|publisher= Unanti Press}}</ref>. Sementara Soekmono berpendapat Minanga Tamwan bermakna pertemuan dua sungai (Tamwan berarti temuan), yakni [[sungai Kampar]] kanan dan sungai Kampar kiri di [[Riau]],<ref name="Soekmono">{{cite book|author= Drs. R. Soekmono,|title= ''Pengantar Sejarah Kebudayaan Indonesia 2'', 2nd ed.|publisher = Penerbit Kanisius|year= 1973 5th reprint edition in 1988|location =Yogyakarta|page =38|id= ISBN 979-4132290X}}</ref> yakni wilayah sekitar [[Candi Muara Takus]]. G. Coedes berpendapat Sriwijaya selamanya berada di Palembang. Minangatamwan adalah taklukanWilayah Marlapas Sriwijaya. Berdasarkan catatan dinasti Tang tahun 670 Sriwijaya yang mereka sebut ShelefoshiShih-Li-Fo-Shih dengan ibukota Foshi yg terletak disungai FoshiSan-fo-tsi, sudah mengirim utusan ke Cina. Dan catatan Itsing tahun 671 dan catatan Itsing tahun 685 yang menyebut Sriwijaya dan ibu kotanya dan letak ibu kotanya dengan sebutan yang sama. Artinya tahun 683 prasasti Kedukan Bukit itu bukan pemindahan ibu kota dari Minangatamwan ke tempat ditemukannya prasasti Kedukan Bukit atau bukan pula pembuatan kedatuan/kadatuan atau kerajaan, sebab Sriwijaya tahun 670 sudah ada dan sudah beribukota di kota Foshi. Kalau memang MinangatamwanMinanga tamwan adalah Sriwijaya kemudian tahun 683 pindahMendirikan wanua ke Palembang dan kerajaan berganti nama Sriwijaya, pastilah Itsing akan menyebut Sriwijaya dengan sebutan yang berbeda pada tahun 671 dan tahun 685. Pendapat lain menduga armada yang dipimpin Jayanasa ini berasal dari luar [[Sumatra]], yakni dari Semenanjung Malaya.<ref>{{cite book|last=Coedes|first=George|title=The Indianized States of Southeast Asia|publisher= University of Hawaii Press|year=1996|location=|url=|doi=|pages= 82|id= ISBN 978-0-8248-0368-1}}</ref>
 
== Rujukan ==