Warok: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
Dheirawa (bicara | kontrib)
Shintaayur1 (bicara | kontrib)
perbaikan ejaan
 
Baris 1:
'''Warok''' ([[aksara Jawa]]: ꦮꦫꦺꦴꦏ꧀) adalah tokoh masyarakat dan tokoh seni di [[Ponorogo]]. Warok merupakan sebutan lelaki yang punyamemiliki sifat [[kesatria]], berbudi pekerti luhur, dan memiliki wibawa tinggi di kalangan [[masyarakat]]. Warok juga memiliki peranan penting dalam [[kesenian]], [[kebudayaan]], [[sosial]], dan bahkan [[politik]] di Ponorogo.{{sfn|Pramono|2006|p=17}}
 
== Etimologi ==
Kata "warok" berasal dari [[bahasa Jawa]], yaitu ''wewarah'' yang bermakna 'pengajaran'.{{sfn|Khoirurrosyidin|2014|p=26}} Warok merupakan ''wong kang sugih wewarah'', yang artinya ialah seseorang menjadi warok karena mampu memberi petunjuk atau pengajaran kepada orang lain tentang hidup yang baik.
 
== Sejarah ==
Baris 10:
Seiring terjadinya konflik yang berkepanjangan dan pertempuran antara Ki Ageng Kutu dan Raden Bathara Katong, kekuatan pasukan Ki Ageng Kutu mulai melemah. Kemenangan Raden Bathara Katong dan pasukannya atas Ki Ageng Kutu dan pasukan warok membuat para pasukan warok tidak lagi melakukan perlawanan, serta menyambut dan menyatakan dukungan terhadap pemerintahan baru.{{sfn|Pramono|2006|p=17}} Dalam masa peralihan ke pemerintahan Raden Bathara Katong, [[Warok Suromenggolo]] ditetapkan sebagai Demang [[Kertosari, Babadan, Ponorogo|Kertosari]] dan menjadi pengawal pribadi Raden Bathara Katong ketika menjadi adipati, sedangkan [[Warok Surohandoko]] menggantikan Ki Ageng Kutu menjadi Demang Surukubeng (sekarang menjadi Desa Kutu di [[Jetis, Ponorogo|Jetis]], [[Ponorogo]]), Warok Guno Seco menjadi Kepala Desa [[Siman, Siman, Ponorogo|Siman]], Warok Tromejo di Gunung Loreng, [[Slahung, Ponorogo|Slahung]].{{sfn|Pramono|2006|p=17}} Akan tetapi, ada dua warok yang tidak patuh terhadap pemerintahan yang baru, yaitu Warok Surogentho dan Warok Singokobro di sekitar Bukit Klotok, mereka berdua menjadi berandal yang menentang pemerintahan Raden Bathara Katong.{{sfn|Pramono|2006|p=17}}
 
Selain mempunyai pengaruh dalam kesenian dan budaya, peran warok dalam dunia perpolitikanpolitik tampak sebagai stabilisator dengan melakukan afiliasi penguasa dan mengikuti siapa yang sedang berkuasa.{{sfn|Khoirurrosyidin|2014|p=32}} Pada masa selanjutnya, khususnya pada pasca-kemerdekaan, peran warok masih dapat ditemui karena memiliki pengaruh yang cukup kuat dalam kesenian, sosial, ''vote -getter'', dan pengerahan massa di komunitas atau lingkungannya.{{sfn|Khoirurrosyidin|2014|p=32}}{{sfn|Achmadi|2013|p=121}} Pada tahun 1950-an, muncul banyak grup-grup kesenian Reog yang bernaung di [[Lembaga Kebudayaan Rakyat|LEKRA]], sebuah organisasi kebudayaan di bawah [[Partai Komunis Indonesia]].{{sfn|Achmadi|2013|p=120}} Untuk mencegah grup-grup kesenian Reog dipakai sebagai propaganda oleh PKI, para [[Nahdlatul Ulama|tokoh Islam]] mendirikan KRIS (Kesenian Reog Islam) dan CAKRA (Cabang Kesenian Reog Islam), sedangkan para tokoh Nasionalis mendirikan BREN (Barisan Reog Nasional) dan BRP (Barisan Reog Ponorogo).{{sfn|Achmadi|2013|p=120}} Setelah terjadinya peristiwa [[Gerakan 30 September|G30S/PKI]], para warok yang bernaung di organisasi di bawah PKI dibunuh.{{sfn|Achmadi|2013|p=121}}
 
Pada masa pemerintahan [[Orde Baru]], para warok yang berasal dari kelompok Islam dan Nasionalisnasionalis masih mempunyai pengaruh karena merupakan tokoh seni, tokoh masyarakat, dan sebagai ''vote -getter''.{{sfn|Achmadi|2013|p=121}}{{sfn|Khoirurrosyidin|2014|pp=32-33}} [[Golkar]] yang berkuasa pada saat itu, didukung oleh warok dan ''konco Reog'' dari belakang.{{sfn|Khoirurrosyidin|2014|p=32}}{{sfn|Pramono|2013|p=228}} Pemerintah daerah saat itu mengakomodasi banyak warok untuk menduduki jabatan seperti menjadi [[kepala desa]] dan [[Lurah (jabatan)|lurah]].{{sfn|Khoirurrosyidin|2014|p=32}} Menurut Tobroni Turejo (Dewan Pembina Partai Golkar Ponorogo),{{sfn|Khoirurrosyidin|2014|p=34}} penempatan warok pada jabatan kepala desa dan lurah merupakan upaya untuk menjaga ketertiban dan keamanan daerah.{{sfn|Khoirurrosyidin|2014|p=33}}
 
Pada awal-awal era [[reformasi]], warok dapat mencapai posisi di anggota dewan, sedangkan pada tahun 2000-an tidak ada lagi warok dalam anggota dewan.{{sfn|Khoirurrosyidin|2014|p=33}} Menurut seorang pengamat politik Fajar Pramono dalam bukunya ''Politik Lokal dan Pemerintahan Daerah'', meskipun para warok kini tidak memiliki pengaruh secara langsung dalam dunia politik di [[Ponorogo]], para warok yang mendirikan organisasi yang struktural alih-alih budaya dan kultural, mereka secara institusional berhasil mengantarkan seorang kader menuju pemerintahan Ponorogo.{{sfn|Pramono|2013|pp=228-229}}
Baris 22:
Ia juga sering berperan sebagai pemimpin lokal informal dengan banyak pengikut. Dalam pentas, sosok warok lebih terlihat sebagai pengawal/punggawa raja [[Klono Sewandono]] (warok muda) atau sesepuh dan guru (warok tua). Dalam pentas, sosok warok muda digambarkan tengah berlatih mengolah ilmu [[kanuragan]], digambarkan berbadan gempal dengan bulu dada, kumis dan jambang lebat serta mata yang tajam. Sementara warok tua digambarkan sebagai pelatih atau pengawas warok muda yang digambarkan berbadan kurus, berjanggut putih panjang, dan berjalan dengan bantuan tongkat.
 
Pada awalnya warok digambarkan sebagai sosok pengolah [[kanuragan]]. yangUntuk demi pencapaianmencapai ilmu dan kesaktiannya, mereka tidak berhubungan dengan wanita, melainkantetapi dengan anak laki-laki berumur 8–15 tahun yang acapkali disebut [[gemblak]]an. Seringkali para warok juga mengonsumsi minuman keras. Namun, saat ini warok telah mengalami perubahan paradigma.<ref>{{Cite journal|last=Krismawati|first=Nia Ulfia|title=Eksistensi Warok Dan Gemblak di tengah Masyarakat Muslim Ponorogo Tahun 1960-1980|volume=8|issn=2088-6330|publisher=Universitas Islam Negeri Sunan Ampel|date=14 November 2018}}</ref>
 
== Lihat pula ==