Hermeneutika feminisme: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
k Added {{Tone}} tag (TW)
menambahkan tautan lain yang berguna untuk pembaca
Tag: kemungkinan spam pranala VisualEditor
Baris 19:
'''Tokoh Hermeneutika Feminisme'''
 
Tokoh-tokoh feminis Islam yang mengembangkan pemikirannya mengenai metodologi tafsir Alquran, antara lain [https://terpelajar.web.id/amina-wadud-hermeneutika-feminisme-dan-pemikirannya/ Aminah Wadud], Musdah Mulia, Aysha A. Hidayatullah Dan Kecia Ali. Amina Wadud melalui karyanya Qur’an and Women, Rereading the Sacred Text from a Woman’s Perspective mengembangkan pemikirannya mengenai metodologi tafsir Alquran. Wadud merujuk pemikiran Islam kontemporer, Fazlur Rahman untuk membongkar bias gender yang mewarnai tradisi tafsir Alquran selama ini.<ref name="Feminist Edges of The Qur’an"/> Dia membedah ayat-ayat dan kata kunci tertentu dalam Alquran yang membatasi peran perempuan baik secara individu maupun sosial. Ketika menemukan beberapa aspek kesetaraan dan keadilan gender dalam Alquran, Wadud melakukan reinterpretasi ayat-ayat gender dalam Alquran dari perspektif perempuan tanpa steriotype yang dibuat oleh kerangka interpretasi laki-laki.<ref name="Feminist Edges of The Qur’an"/> Wadud menggagas hermeneutika berbasis feminis yaitu metode penafsiran Alquran yang mengacu kepada ide kesetaraan dan keadilan gender dan menolak sistem patriarki.<ref name="Feminist Edges of The Qur’an"/> Wadud mengkritik tafsir klasik, baik metode, perspektif maupun isinya. Lalu menawarkan penafsiran Alquran yang bercorak holistik yaitu mempertimbangkan semua metode tafsir tentang berbagai persoalan kehidupan sosial, politik, budaya, moral dan agama dan perempuan serta memecahkan masalah secara komprehensif.<ref name="Feminist Edges of The Qur’an"/> Wadud memperlihatkan kaitan teoritis dan metodologis antara penafsiran Alquran dengan hal-hal yang memunculkannya (siapa dan bagaimana).<ref name="Feminist Edges of The Qur’an"/> Beberapa fokus yang menjadi konsentrasinya, yaitu apa yang dikatakan Alquran, bagaimana Alquran mengatakannya, apa yang dikatakan terhadap Alquran dan siapa yang mengatakan. Ditambah lagi dengan pengertian sekarang, yaitu apa yang belum dikatakan.<ref name="Feminist Edges of The Qur’an"/> Dengan hermeneutika berbasis feminis Wadud menafsir ulang ayat-ayat gender dalam Alquran dan menghasilkan tafsir yang berkeadilan gender. Tafsir berkeadilan gender tidak hanya dalam teks, tapi dipraktekkan dalam kehidupan sosial. Gebrakan Amina Wadud yang sangat terkenal adalah ketika Wadud menjadi imam dan khotib shalat Jumaat pada tanggal 18 Maret 2005 di sebuah gereja Anglikan, di Synod House, Manhattan, New York.<ref name="Feminist Edges of The Qur’an"/> Shalat Jumat ini dikuti lebih kurang seratus jamaah laki-laki dan perempuan.<ref>[https://news.detik.com/berita/d-3552445/sebelum-ramai-di-jerman-amina-juga-pernah-jadi-imam-perempuan "Sebelum Ramai di Jerman, Amina Juga Pernah Jadi Imam Perempuan"] detikcom 8 juli 2017 diakses 1 Juni 2020</ref> Dalam pandangan Wadud kepemimpinan dalam ibadah telah dijadikan sandaran bagi kepemimpinan di bidang politik, maka sandaran itu harus didobrak.
 
Aysha A. Hidayatullah tokoh feminis Islam yang mengembangkan pemikirannya mengenai metodologi tafsir melalui karyanya Feminist Edges of the Qur’an (2014). Asisten Profesor Universitas San Fransisco ini menyajikan analisis komprehensif dari tafsir feminis kontemporer terhadap Alquran. Dia memadukan penafsiran Alquran berbasis feminis dari tokoh-tokoh feminis dan memberikan pengantar penting untuk bidang ilmu tafsir Alquran berbasis feminis. Aysha melakukan penyelidikan mendalam dan kritik radikal terhadap metode-metode penafsiran Alquran berbasis feminis dan pendekatannya. Aysha mengemukakan tiga metode penafsiran Alquran berbasis feminis <ref name="ReferenceA">{{cite book|last1=Hidayatullah|first1=Aysha A.|date=2014|title=[[Feminist Edges of The Qur’an]]|edition=ke-1|isbn=978-0199359578|pages=501}}</ref> yaitu: metode kontekstualisasi sejarah, intratekstualitas dan paradigma tauhid. Metode kontekstualisasi sejarah yaitu menafsirkan Alquran dengan memperhatikan konteks waktu dan latar belakang turunnya ayat atau wahyu (asbab al-nuzul).<ref name="ReferenceA"/> Dengan metode ini dibedakan ayat-ayat partikular dan universal. Ayat-ayat partikular diterapkan untuk mendefinisikan situasi dan kondisi masyarakat Arab Abad ke 7 dan ayat universal untuk semua manusia. Metode kontekstual historis meletakkan peran sejarah dalam melahirkan bias gender dan esensialisme biologis dalam tafsir klasik. Metode pembacaan intratekstual memperlakukan Alquran secara holistik, yaitu melacak bagaimana bentuk-bentuk linguistik yang digunakan di seluruh teks Alquran dan membandingkan ayat yang satu dengan lainnya dalam tema yang sama.<ref name="ReferenceA"/> Cara membaca Alquran dengan metode intratekstual, yaitu tidak membaca ayat-ayat tersebut satu persatu, tapi membaca ayat dalam tema yang sama secara keseluruhan dengan mengacu kepada prinsip Alquran yaitu keadilan untuk semua manusia. Paradigma tauhid berkaitan dengan konsep utama Islam, yaitu tauhid. Paradigma tauhid berarti keesaan Allah dan Allah tidak dapat dibagi dan dibandingkan. Dalam paradigma tauhid paham yang membedakan gender (seksisme) dapat dianggap pemberhalaan, karena semua manusia adalah khalifah di bumi.<ref name="ReferenceA"/> Bila perempuan dikatakan kapasitasnya tidak sempurna, maka hal ini jelas merupakan suatu kekeliruan memahami maksud Tuhan tentang manusia sebagai khalifah di bumi.<ref name="ReferenceA"/> Bila perempuan dipandang tidak sempurna, maka perempuan tidak bisa memenuhi perannya sebagai wali Allah.<ref name="ReferenceA"/> Dengan demikian paradigma tauhid merupakan dasar dari kesetaraan dan keadilan gender.