Chen Fu Zhen Ren: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
InternetArchiveBot (bicara | kontrib)
Rescuing 1 sources and tagging 0 as dead.) #IABot (v2.0.8.6
Tidak ada ringkasan suntingan
Tag: VisualEditor Suntingan perangkat seluler Suntingan peramban seluler
Baris 30:
Dalam tulisan ini, Chen Fu Zhen Ren disebutkan bernama '''Tan Cin Jin''' (menurut dialek [[Hokkien]]). Ia adalah kakak tertua dan memiliki dua adik pria yang datang ke Indonesia bersama-sama. Tan Cin Jin menjadi kapten dari kapal bertiang satu (Perahu Sloop). Pada suatu ketika mereka mengadakan perjalanan dari [[Batavia]] menuju Bali, tetapi perahu mereka naas di [[Selat Bali]]. Tan Cin Jin terdampar di pantai [[Blambangan]], adik keduanya hilang di laut, sementara yang ketiga terdampar di pantai Bali. Umat Klenteng Chen Fu Zhen Ren meyakini bahwa adik kedua dia menjadi Dewa di Pantai [[Watu Dodol]] dan disebut '''Ji Kongco''' (''Kakek Buyut Kedua'') sementara yang ketiga menjadi harimau dan disebut '''Sa Kongco''' (''Kakek Buyut Ketiga''). Itulah sebabnya masyarakat setempat, terutama suku [[Fujian]] (Hokkian), percaya bahwa harimau tidak akan memangsa mereka yang telah dianggap sebagai cucu-cucunya.
 
Chen Fu Zhen Ren kemudian menuju [[Kerajaan Blambangan]]. Dituliskan bahwa ''Ketika itulah mulai baharu ada orang Tiongkok di negri Blambangan'', yang menurut C. Salmon dan M. Sidharta diartikan bahwa ''pada waktu itu orang Tionghoa baru saja mulai menetap di kerajaan Blambangan''. (Menurut ''Babad Blambangan'' yang ditulis oleh Raden Haryo Notodiningrat dan Ottolander, 1915, masyarakat Tionghoa mulai menetap di Blambangan pada tahun 1631<ref name=":0">Arifin, Winarsih Partaningrat. ''Babad Blambangan''. Yogyakarta, École française d'Extrême-Orient & Yayasan Benteng Budaya, 1995, hal. 252 dan 278 untuk ringkasan dalam bahasa Indonesia. Sumber: Salmon dan Sidharta, 2000.</ref>). Meskipun tulisan Melayu tidak menyebutkan kapan hal tersebut terjadi, tetapi disebutkan bahwa pada saat itu Kerajaan Blambangan berada di bawah kekuasaan Kerajaan [[Mengwi, Badung|Mengwi]]. Hal tersebut menjadi dasar bagi kedua peneliti untuk menyimpulkan bahwa kedatangan Chen Fu Zhen Ren di Blambangan terjadi setelah tahun 1729, yaitu setelah [[Kerajaan Buleleng]] dikalahkan Kerajaan Mengwi.<ref>Henk Schulte Nordholt. ''The Spell of Power, A History of Balinese Politics, 1650-1940'', Leiden, Penerbit KITVL, 1996, hal. 30-32. Sumber: Salmon dan Sidharta, 2000.</ref>
 
Tan Cin Jin diterima oleh Raja Blambangan yang kemudian memerintahkannya membangun sebuah istana di [[Macanputih, Kabat, Banyuwangi|Macanputih]] (kini berada di wilayah [[Kota Probolinggo|Probolinggo]]). Dikisahkan bahwa istananya begitu sempurna sehingga kabar bahwa Raja Blambangan memiliki arsitek berbakat sampai ke telinga Raja Mengwi. Pada saat itu, Raja Mengwi hendak mengadakan sebuah pesta besar serta membangun istana baru, sehingga Raja Blambangan mengutus Tan Cin Jin ke Mengwi. Awalnya Tan Cin Jin menolak karena mengetahui bahwa ia akan dikhianati, tetapi Raja Blambangan terus memaksa bahkan bersumpah bahwa jika Tan Cin Jin mengalami musibah di sana, Kerajaan Blambangan tidak akan diberkahi selama beberapa generasi. Tan Cin Jin akhirnya berangkat ke Mengwi dan segera membangun istana baru.
Baris 40:
Dalam kisah, Tan Cin Jin dikatakan berjalan kaki melintasi laut. Kedua sandalnya digunakan kedua ajudannya untuk mengambang. Sesampai di pantai Blambangan, mereka naik ke puncak Gunung Sembulungan dan [[moksa]] (menghilang) di sana.
 
=== <ref name=":0" />Masa kehidupan setelah Menjadi roh suci ===
40-50 tahun kemudian, dikatakan bahwa ''saat itu banyak sekali orang Tionghoa yang menetap di Blambangan'' dan ''empat perkampungan Tionghoa terbentuk di [[Blimbingsari, Rogojampi, Banyuwangi|Banyualit]], [[Kedaleman, Rogojampi, Banyuwangi|Kedaleman]], [[Lateng, Banyuwangi, Banyuwangi|Lateng]] dan Kesatrian'', kisah Chen Fu Zhen Ren kembali muncul. Peneliti C. Salmon dan M. Sidharta meyakini bahwa kisah ini terjadi tidak sampai 50 tahun kemudian, sebab menurut perkiraan mereka, Tan Cin Jin tiba di Blambangan setelah tahun 1729 (setelah Mengwi menguasai Blambangan) dan tahun kehancuran Blambangan (berdasarkan tulisan ini) adalah pada tahun 1765. Pada masa itu (Abad XVII), terdapat lalu lintas budak yang penting antara Bali dan Batavia, termasuk lalu lintas perbudakan terpenting di Asia.<ref>A. Van der Kraan. ''Bali; Slavery and Slave Trade'', dalam edisi A.J.S. Reid, ''Slavery, Bondage and Dependency in Southease Asia'', St. Lucia, Penerbit University of Queensland, 1983, hal. 315-340; Schulte Nordholt, 1980, ''Matht, mensen en middelen; Patronen en dynamiek in de Balische politik ca. 1700-1840'', Doctoraalscriptie Vrijie Universiteit Amsterdam, hal. 32-54. Sumber: Salmon dan Sidharta, 2000.</ref>