#ALIH [[Operasi Donner]]
== Latar belakang ==
{{see also|Sejarah Indonesia (1998–sekarang)|Kejatuhan Soeharto}}
[[File:Habibie presidential oath.jpg|thumb|left|Presiden [[B. J. Habibie]] mengambil sumpah jabatan presiden pada 21 Mei 1998.]]
Kemerdekaan Timor Timur, atau bahkan otonomi daerah yang terbatas, tidak diperbolehkan di bawah rezim [[Orde Baru]]. Kendati opini publik Indonesia pada tahun 1990-an kadang-kadang menunjukkan apresiasi yang kurang baik terhadap orang Timor, secara luas dikhawatirkan bahwa kemerdekaan Timor Timur akan mengacaukan persatuan Indonesia.<ref>Schwarz (1994), p. 228.</ref> Upaya mediasi baru yang ditengahi [[Perserikatan Bangsa-Bangsa|PBB]] antara [[Indonesia]] dan [[Portugal]] dimulai pada awal 1997.<ref>Marker (2003), p. 7.</ref> [[Krisis finansial Asia 1997]], bagaimanapun, menyebabkan pergolakan luar biasa di Indonesia dan menyebabkan [[Kejatuhan Soeharto|pengunduran diri Suharto]] pada Mei 1998, mengakhiri 32 tahun masa kepresidenannya.<ref name="Nev82">Nevins, p. 82.</ref> [[Prabowo Subianto|Prabowo]] yang pada saat itu menjabat sebagai komandan Cadangan Strategis Indonesia yang kuat, pergi ke pengasingan di [[Yordania]] dan operasi militer di Timor Timur merugikan pemerintah Indonesia yang bangkrut satu juta dolar per hari.<ref name="Friend 433">Friend (2003), p. 433.</ref> Periode [[Sejarah Indonesia (1998–sekarang)|"reformasi"]] yang relatif terbuka, termasuk perdebatan yang belum pernah terjadi sebelumnya tentang hubungan Indonesia dengan Timor Timur. Selama sisa tahun 1998, forum-forum diskusi berlangsung di seluruh Dili untuk mengupayakan [[referendum]].<ref name="Friend 433"/> [[Menteri luar negeri|Menlu]] [[Ali Alatas]] menggambarkan rencana otonomi bertahap yang mengarah pada kemungkinan kemerdekaan sebagai "hanya rasa sakit, tanpa ada keuntungan" bagi Indonesia.<ref>John G. Taylor, ''East Timor: The Price of Freedom'' (New York: St. Martin's Press, 1999; 1st ed., 1991), p.xv. Cited in Friend (2003), p. 433</ref> Pada tanggal 8 Juni 1998, tiga minggu setelah menjabat, [[B. J. Habibie]] mengumumkan bahwa Indonesia akan segera menawarkan Timor Timur rencana khusus untuk [[otonomi]].<ref name="Nev82"/>
Pada akhir tahun 1998, Pemerintah Australia [[John Howard]] mengirim surat kepada Indonesia yang berisi nasihat tentang perubahan kebijakan [[Australia]], dan menganjurkan referendum kemerdekaan dalam satu dekade. Presiden Habibie melihat bahwa rencana Indonesia di Timor Timur seperti "pemerintahan kolonial" dari Indonesia dan dia memutuskan untuk mengadakan referendum cepat mengenai masalah ini.<ref>{{cite news |url=http://www.abc.net.au/news/2008-11-16/howard-pushed-me-on-e-timor-referendum-habibie/207044 |title=Howard pushed me on E Timor referendum: Habibie |work=ABC News |date=15 November 2008 |access-date=26 Mei 2022}}</ref>
Indonesia dan Portugal mengumumkan pada tanggal 5 Mei 1999 bahwa pemungutan suara akan diadakan yang memungkinkan rakyat Timor Timur untuk memilih antara rencana otonomi atau kemerdekaan. Pemungutan suara, yang akan diselenggarakan oleh [[Misi Perserikatan Bangsa-Bangsa di Timor Timur|Misi Perserikatan Bangsa-Bangsa di Timor Timur (UNAMET)]], semula dijadwalkan pada 8 Agustus tetapi kemudian ditunda hingga 30 Agustus. Indonesia juga bertanggung jawab atas keamanan; rencana ini menimbulkan kekhawatiran di Timor Timur, tetapi banyak pengamat percaya bahwa Indonesia akan menolak untuk mengizinkan penjaga perdamaian asing selama pemungutan suara.<ref>Nevins, pp. 86–89.</ref>
== Pemungutan suara dan kekerasan ==
|