Konten dihapus Konten ditambahkan
Andarisha (bicara | kontrib)
Tidak ada ringkasan suntingan
Tag: VisualEditor Suntingan perangkat seluler Suntingan peramban seluler
Andarisha (bicara | kontrib)
Tidak ada ringkasan suntingan
Tag: menambah kata-kata yang berlebihan atau hiperbolis VisualEditor Suntingan perangkat seluler Suntingan peramban seluler
Baris 16:
 
'''CIMOLI BOI'''
 
“Bunda, Abi lapar.” Seorang anak lelaki berambut agak ikal; berperawakan kecil dan masih berseragam sekolah dasar, menyandarkan diri di kursi teras rumah. Suaranya terdengar seperti mengeluh. Bunda memberikan senyum saat melihat putra pertamanya terlihat lelah.
 
“Abi Sayang, jangan langsung duduk begitu, dong. Lekas bangun! Buruan mandi! Setelah itu, makan. Dik Azzam sudah menunggumu,” pinta Bunda dengan suara lembut tapi tegas.
 
“Kak! Ayo main perang-perangan lagi seperti kemarin!”
 
Bocah lelaki bertubuh sedikit gempal dari Abi, muncul dari dalam. Dia meringis, memperlihatkan giginya yang gigis dan sedikit kecoklatan. Abi melihat wajah ceria sang adik yang selalu menunggunya pulang dari sekolah. Dia pun segera berdiri, melangkah masuk ke kamar.  Usai membersihkan badan, Abi menuju dapur. Bunda dan Azzam, adiknya, telah menunggu di meja makan.
 
“Kakak! Cepat! Azzam sudah lapar!”
 
“Iya-iya, Azzam!” Abi bergegas duduk di samping adiknya. Bunda tersenyum melihat sikap manja Azzam pada sang kakak.
 
“Bunda, Ayah nanti sore jadi mengantar Abi beli buku ‘kan?” tanya Abi dengan mulut yang masih berisi makanan.
 
“Abi, makanan ditelan dulu, baru bicara.” Bunda mengingatkan Abi.
 
“Maaf, Bunda,” ucap Abi setelah menelan makanan yang dikunyahnya.
 
“Insyaallah jadi,” sahut Bunda.
 
“Kak, Azzam sudah selesai.”
 
“Jangan langsung main. Nanti perutnya sakit lagi seperti kemarin.” Bunda mengingatkan Azzam yang mengalami kram perut karena selesai makan langsung main kejar-kejaran bersama Abi.
 
“Baik, Bun.” Azzam menggaruk kepalanya mendengar peringatan Bunda.
 
Setengah jam setelah makan, dari halaman belakang rumah, dua bocah lelaki sudah berlarian dan saling mengejar. Masing-masing membawa pedang mainan.
 
“Milki Boi, kamu jangan berani mendekat! Akan kuhancurkan mobilmu!” pekik Abi pada Azzam yang berperan sebagai Milki Boi, sedang Abi menjadi Cimoli Boi. Abi menghunus pedang mainan dengan tubuh tegap menantang.
 
“Hei, Cimoli Boi! Aku seharusnya yang menghancurkanmu. Kamu sudah merebut mobilku!” teriak Azzam lebih keras.
 
Cimoli Boi pun mendekati Milki, memperlihatkan wajah marah dan penuh keringat.
 
“Kamu yang lebih dulu merusak mobil balapku,” bentak Cimoli Boi. Milki Boi tidak berani menatap mata tajam di depannya. Suasana tegang menyergap.
 
Sementara Bunda memantau Abi dan Azzam sambil menjahit baju pesanan. Bunda tersenyum menatap kedua bocahnya yang sedang asik bermain. Mereka selalu bermain dengan serius, seperti sedang syuting film. Bunda kagum dengan kekreatifan Abi dan Azzam. Abi menjadi Cimoli Boi karena gemar dengan yoghurt Cimoli, sedangkan Azzam, Milki Boi, karena suka susu.
 
“Abi! Azzam! Istirahat sebentar! Minum dulu!” panggil Bunda.
 
Abi dan Azzam menoleh, menghentikan permainan, lalu berlari mendekati sang bunda.
 
“Aduh, keringat kalian!” decak Bunda sambil mengusap buliran keringat yang menetes di wajah dan tubuh Azzam.
 
“Tandanya sehat, Bunda, kalau berkeringat,” jawab Abi. Dia mengelap sendiri keringat di dahi.
 
“Minum dulu yoghurt dan susu kalian, biar badan kalian bertambah sehat dan kuat. Jangan lupa, minumnya sambil duduk,” pinta Bunda sambil mengulurkan minuman botol dan kotak di tangan. Abi dan Azzam menerima yang diberikan Bunda, lalu duduk di kursi yang ada di depan mesin jahit. Keduanya sangat menikmati minuman dingin favorit mereka.
 
“Kalian nggak tidur siang?” tanya Bunda.
 
“Abi belum mengantuk. Boleh, ya, Bun,” rajuk Abi.
 
Bunda mengangguk. Dia memandang penuh kasih pada putranya yang telah berumur 10 dan 5 tahun. Memiliki dua anak lelaki tampan dan lucu, Bunda benar-benar bersyukur karena mereka sangat patuh dan pintar. Meskipun mereka memiliki sifat yang berbeda, salah satunya seperti minuman yang diminum saat ini. Abi menyukai yoghurt Cimoli karena tidak suka rasa susu yang katanya amis dan enek. Sedangkan Azzam, lebih menyukai susu. Perbedaan yang biasanya membuat mereka saling mengejek.
 
“Kak, enakan susu! Biar badannya besar seperti aku,” goda Azzam sambil menjilat sisa susu di sekitar bibir. Memang, badan Azzam lebih besar meskipun Abi sudah kelas 5.
 
“Badan boleh besar, tapi tetap tinggi Kakak, ‘kan?” bantah Abi.
 
Abi yang tidak menyukai susu hanya nyengir dan menggeleng, dia menatap Bunda yang juga sedang menatapnya.
 
“Bunda habis makan apa? Kok tamunya dibiarkan di luar”” tanya Abi sambil menunjuk sesuatu di wajah sang bunda.
 
“Memang ada apa?” Bunda mengusap bibir dengan tangan. Istilah tamu mereka pergunakan jika ada makanan yang menempel di sekitar bibir.
 
“Bunda tertipu!”Abi dan Azzam berteriak sambil berlari kencang melanjutkan permainan.    
 
Bunda menggelengkan kepala, menepuk dahinya karena terkena jebakan kedua lelaki kecilnya.
 
<nowiki>*</nowiki> * *
 
Esok harinya, saat bel pulang sekolah berbunyi. Gerombolan murid berseragam putih merah keluar dari kelas-kelas. Salah satunya Abi, yang baru saja melangkah dari kelas 5A. Dia berjalan sendirian.
 
“Abi, pulang? Hati-hati di jalan, ya,” sapa Pak Anam, penjaga sekolah menyapa Abi yang melenggang sendirian keluar dari sekolah.
 
“Iya, Pak Anam. Terima kasih. Mari, Pak,” balas Abi menganggukkan kepala. Dia berjalan tergesa karena ingin segera sampai di rumah dan bermain dengan Azzam.
 
“Panas sekali. Andai saja yoghurtku masih ada,” gumam Abi saat matahari bersinar sangat terang. Topi yang dipakai di kepala pun belum mengatasi rasa panas. Bahkan kini, haus pun mulai dirasakan Abi, tapi botol minumannya telah kosong. Abi pun makin mempercepat langkah agar segera sampai di rumah. Namun, ditengah ketergesaannya dia bertemu seorang nenek yang sedang berjualan minuman.
 
“Nak, udara sangat panas, apakah kamu tidak haus? Nenek jual minuman segar. Ada yoghurt dan juga susu, biar badannya makin sehat.” Nenek itu menawarkan dagangannya.
 
Abi ragu, antara ingin beli dan tidak. Akan tetapi, kasihan dengan Nenek yang terlihat lelah. Akhirnya dia merogoh uang di saku dan membeli dua minuman.
 
“Beli yoghurt dan susu, Nek. Satunya buat adik saya.” Abi memberikan uang saku hari itu yang masih utuh.
 
“Wah, anak pintar. Sayang sama adiknya,” puji si nenek.
 
“Terima kasih, Nek.” Abi pun berlalu dan kembali berlari  penuh semangat. Dia membayangkan raut muka Azzam saat menerima minuman favorit mereka.
 
Nenek penjual minuman tersenyum melihat kegembiraan Abi.
 
Setibanya di rumah, Abi menghampiri Azzam yang sedang membantu Bunda mengambilkan kain yang jatuh di lantai.
 
“Dik Azzam, Kakak tadi beli minuman kesukaan kita. Ini buat kamu.” Abi memberikan susu kotak pada adiknya.
 
“Terima kasih, Kak!” Azzam berseru gembira. Abi pun segera ke kamar untuk mengganti baju dan mandi.
 
“Bunda, Azzam dibelikan susu sama Kak Abi.” Azzam memamerkannya pada Bunda yang masih konsentrasi menjahit baju.
 
“Segitu senangnya dibelikan Kak Abi.” Bunda geli dengan Azzam. Bahagia yang sederhana buat anak-anak.
 
“Jarang-jarang, kan, Bun,” sahut Azzam.
 
Saat mereka berbincang, pintu kembali terbuka. Azzam pun menoleh.
 
“Ayah!” pekik Azzam berlari dan menubruk seorang lelaki berbaju dinas coklat.
 
Ayah hampir saja terjerembab, tetapi masih sempat berpegangan pada ''handle'' pintu. Gemas dengan polah putranya, ayah pun memegang pipi dan menciumnya. Serta merta, Azzam merentangkan kedua tangan dan minta gendong.
 
“Ayah!” Abi yang baru saja keluar dari kamar, tidak mau kalah dengan Azzam. Dia turut menyapa Ayah.
 
“Sudah … sudah, biarkan Ayah mandi dulu. Kalian berdua tunggu di belakang.” Bunda menengahi keramaian yang tidak akan berhenti jika Bunda tidak turun tangan. Abi dan Azzam pun segera berhamburan ke halaman belakang. Menunggu ayah sambil bercanda dan minum minuman favorit mereka di bangku kayu. Hingga angin sepoi-sepoi membuat Abi yang lelah, tertidur.
 
<nowiki>*</nowiki> * *
 
“Tidak bisa! Kamu yang menyenggol Nenek dengan sepedamu hingga jatuh!” tuduh Cimoli Boi pada Milki Boi yang wajahnya agak pucat karena sedikit takut dengan tuduhan sahabat yang kini menjadi lawan.
 
Di tengah terik mentari, dua remaja sedang bertikai. Wajah mereka diliputi kemarahan. Sementara nenek yang menjadi korban masih terbaring di tepi jalan.
 
“Nek, bangun, Nek!” Milki Boi mengguncang pelan tubuh perempuan tua itu. Suaranya gemetar. Lalu, kepalanya menengok ke Cimoli Boi.
 
“Jangan menyalahkan aku saja, Cim. Kamu juga salah. Kamu nyenggol sepedaku ‘kan?”
 
Cimoli Boi mendelik, wajahnya tidak terima. Dia menggeleng keras.
 
“Tidak, tidak! Kamu tidak bisa ngomong begitu. Kenyataannya, aku berjalan di pinggir. Tiba-tiba, sepedamu nyelonong dan nyerempet aku!” bantah Cimoli Boi.
 
“Lihat! Lututku terluka!” Cimoli Boi menunjukkan lututnya yang berdarah.
 
“Itulah akibatnya kalau kamu tidak suka susu. Jatuh begitu saja langsung terluka!” Milki Boi tertawa puas melihat lawannya yang berbadan ramping terlihat menderita.
 
“Kamu pikir hanya karena aku tidak susu, aku lemah? Meski badanku kecil, jangan remehkan kekuatanku!” geram Cimoli Boi yang diam-diam mengeluarkan jurus rahasianya, ajian probiotik. Dia menyerap energi probiotik yang dimiliki Milki Boi.
 
“Apa yang kamu lakukan dengan tubuhku, Cimoli? Mengapa tubuhku tiba-tiba lemas dan perutku juga sakit?”
 
Milki Boi yang berbadan gempal merasa kekuatan tubuhnya melemah, perutnya terasa mulas, dan berasa ingin membuang sesuatu yang berputar di dalamnya. Keringat dingin pun menyerang. Dia terduduk lemas, wajahnya pucat pasi. Sementara Cimoli Boi menyeringai melihat penderitaan Milki Boi yang mulai membaringkan tubuh besarnya di jalan.
 
Nenek yang masih tergeletak mulai membuka mata, dia menyipitkan mata saat menatap Milki Boi yang memegang perut.
 
“Milki, apakah perutmu sakit? Minum ini agar tenagamu pulih,” ucap nenek sambil memberikan susu kotak.
 
Milki Boi menyimpan rasa terkejutnya dalam hati, ‘bagaimana bisa Nenek ini tahu namaku?’ Dia mengambil susu kotak dan meminumnya. Benar juga, tubuhnya kembali segar.
 
“Cimoli Boi tadi mengambil kekuatanmu, sekarang kamu balas dia dengan kekuatan kalsiummu. Ambil kalsiumnya, dia pasti lemas,” lirih nenek.
 
Milki Boi terbelalak dan menggeleng, “aku tidak punya kekuatan seperti itu, Nek.”
 
“Pukul tanah pelan, pandanganmu arahkan ke Cimoli, sambil ucapkan tiga kali kalsium … kalsium … kalsium.” Nenek itu mengajari Milki Boi ilmu baru yang belum pernah didengarnya. Dia segera mempraktikkan ucapan nenek.
 
Cimoli Boi memperhatikan gerik Milki Boi.
 
‘Aku harus berhati-hati, sepertinya Milki diajari Nenek jurus baru,’ ucapnya dalam hati.
 
Benar saja, kini tulangnya terasa ngilu dan lemah. Cimoli Boi memutar otaknya, tidak mungkin dia menyerah begitu saja dengan kondisinya.
 
“Aku harus berbuat sesuatu,” desis Cimoli Boi yang masih menatap Milki Boi dan nenek.
 
“Sekarang, keluarkan jurus magnesium. Sama seperti yang tadi, tapi, ucapkan magnesium sekali saja dan penuh keyakinan,” bisik si nenek.
 
Milki Boi pun melakukan seperti yang diminta nenek. Sementara Cimoli Boi semakin menderita, dia merasakan badannya mengalami kram otot, dan kejang.
 
“A-a-apa yang kamu lakukan, Milki!” ucap Cimoli Boi. Lalu, dia tersengal dan terjatuh. Tidak bergerak sama sekali.
 
Milki Boi yang khawatir dengan kondisi Cimoli Boi segera menghampiri dan mengguncang keras tubuhnya.
 
"Cimoli! Bangun, Cimoli! Cimoliiiii!!" Milki Boi memekik histeris dan menangis semakin keras melihat sahabatnya hanya diam.
 
“Hei … hei …, bangun! Ayo bangun!”
 
Suara ayah membuat Azzam membuka mata, dia langsung mencari kakaknya.
 
“Kak Abi! Kak Abi!” Azzam pun memeluk Abi yang juga memandang heran sang adik.
 
“Kalian mimpi apa?”
 
Ayah menatap kedua anaknya yang terlihat bingung dengan napas masih tersengal serta wajah berkeringat. Abi baru menyadari jika dia dan adiknya tertidur di bangku kayu belakang rumah. Dia masih mengingat mimpi yang baru dialami bersama Azzam.
 
Seolah nyata, padahal mimpi. Wajah nenek dalam mimpi mengingatkannya pada nenek penjual minuman yoghurt dan susu yang dibelinya saat pulang sekolah tadi. Mengapa Nenek itu bisa masuk ke mimpiku? Abi menggelengkan kepala, mencoba melupakan. Namun, dia bertekad tidak mau lagi membeli minuman di sembarang tempat.
 
<nowiki>*</nowiki> * *