Perbudakan modern: Perbedaan antara revisi
Konten dihapus Konten ditambahkan
Rescuing 1 sources and tagging 1 as dead.) #IABot (v2.0.9.2 |
k pembersihan kosmetika dasar, added uncategorised tag |
||
Baris 6:
Perbudakan adalah kondisi di mana terjadi penguasaan atau pengontrolan seseorang oleh orang lain dan biasanya terjadi untuk memenuhi kebutuhan akan buruh atau kegiatan seksual. Orang yang merupakan korban dari kegiatan ini disebut sebagai budak. Menurut para ahli sejarah, perbudakan pertama-tama diketahui terjadi di masyarakat [[Sumeria]] (yang sekarang adalah [[Irak]]) lebih dari lima-ribu tahun yang lalu. Perbudakan juga terjadi di masyarakat [[Tiongkok|Cina,]] [[India]], [[Afrika]], [[Timur Tengah|Timur-Tengah]] dan Amerika. Kebanyakan orang kuno berpendapat bahwa perbudakan merupakan keadaan alam yang wajar, yang dapat terjadi terhadap siapapun dan kapanpun. Tidak banyak yang memandang perbudakan sebagai praktik jahat atau tidak adil. Sebagaimana dikatakan oleh [[Aristoteles]], “Seseorang harus memerintah dan lainnya mematuhi, keduanya sama-sama dibutuhkan. Memang ada beberapa hal yang telah ditentukan sejak kelahiran, antara lain ada yang ditakdirkan untuk memerintah, dan ada yang diperintah”<ref>Aristoteles. (1981). ''The Politics'' (2nd ed.). (T. Saunders, Ed., & T. Sinclair, Trans.) London: Penguin Classic.</ref>
[[Berkas:SLAVE TRADE.jpg|jmpl|Ilustrasi Perdagangan Budak]]
Perdagangan budak trans-Atlantik yang terjadi di sepanjang [[Samudra Atlantik|Samudera Atlantik]] dari abad ke-15 sampai ke-19 menjadi momentum kelam peristiwa perbudakan global. Sebagian besar orang yang diperbudak dibawa ke Dunia Baru (merujuk pada benua Amerika), mereka adalah orang-orang Afrika dari bagian tengah dan barat benua tersebut yang dijual oleh orang Afrika lainnya kepada pedagang budak dari [[Eropa Barat]].<ref>"The capture and sale of slaves". [[Liverpool]]: [[International Slavery Museum]].
Perbudakan mulai dipandang sebagai tindak kejahatan antara tahun 1777 dan 1804. Di [[Eropa]], Denmark menarik diri dari perdagangan budak pada 1792 dan Inggris pada 1807. Namun, penyelundupan budak terus berlangsung, Angkatan Laut Inggris menutup perdagangan budak sejak 1815. Akan tetapi, perbudakan masih dianggap hal yang sah di tempat lain. Pemberontakan budak di koloni [[Prancis]], [[Santo Domingo]] pada 1791-1793 mendorong penghapusan perbudakan oleh Prancis, tetapi dilegalkan lagi pada 1803. Pada 1831, pemberontakan budak di Virginia, Amerika Serikat, yang dipimpin oleh Nat Turner (1800-1831) menyebabkan dikeluarkannya peraturan baru yang keras terhadap praktik perbudakan dan menyebabkan meningkatnya dukungan bagi anti-perbudakan di antara penduduk kulit putih. Kemudian gerakan abolisionis perbudakan bermunculan sebagai upaya untuk menghentikan perdagangan budak ''trans-atlantic'' dan pembebaskan budak-budak yang berada di koloni negara-negara Eropa dan di Amerika Serikat. Pada tahun 1904 di Paris terbentuklah kesepakatan yang menentang adanya perdagangan budak yang ditujukkan untuk tindakan asusila, tertuang dalam ''International Agreement on the Supression of White Slave Traffic''.<ref>Disampaikan dalam Konferensi PBB tahun 1995 mengenai ''the crime prevention and the treatment of offers'' yang diselenggarakan di Cairo, Mesir</ref>
Langkah untuk mengatasi perbudakan dan eksploitasi manusia di tingkat internasional pertama kali diumumkan oleh sebuah deklarasi di Kongres Wina pada 1815. Kemudian [[Liga Bangsa-Bangsa]] (LBB) pada tahun 1922 mengeluarkan resolusi yang disahkan oleh Majelis Umum yang dimaksudkan untuk menghilangkan perbudakan di Ethiopia.<ref>S. Miers, ''Slavery in the Twentieth Century: e Evolution of a Global Problem'', Walnut Creek, AltaMira Press, 2003, p. 73. See also J. Allain, “Slavery and the League of Nations: Ethiopia as a Civilised Nation”, ''Journal of the History of International Law'', vol. 8, 2006, p. 213-244.
Konvensi Perbudakan 1926 merupakan sebuah perjanjian internasional yang dibuat di bawah naungan Liga Bangsa-Bangsa yang bertujuan untuk menekan perbudakan dan perdagangan budak. Dalam konvensi tersebut disebutkan bahwa negara-negara yang menandatangani setuju untuk mencegah dan mengapuskan segala bentuk perbudakan seperti yang tertuang dalam Pasal 2 ''“The parties agreed to prevent and suppress the slave trade and to progressively bring about the complete elimination of slavery in all its forms.”''<ref name=":10">League of Nations Treaty Series, vol. 60, pp. 254–270. Diambil dari <nowiki>https://treaties.un.org/doc/Publication/UNTS/LON/Volume%2060/v60.pdf</nowiki></ref> Serta sepakat untuk menjatuhkan hukuman kepada para pelaku yang terlibat dalam rantai kejahatan perbudakan yang disebutkan dalam Pasal 6 Konvensi tersebut ''“The parties undertook to promulgate severe penalties for slave trading, slaveholding, and enslavement.”''<ref name=":10" /> Dengan berjalannya waktu pada tahun 1926 terdapat 30 anggota Liga Bangsa Bangsa meratifikasi konvensi pelarangan perbudakan dan perdagangan budak antara lain Afghanistan yang berkomitemen untuk menghapuskan perbudakan pada tahun 1923, Nepal pada tahun 1925, Transjordan dan Persia (Irak & Iran) pada tahun 1929, Bahrain pada tahun 1937 dan Ethiopia pada tahun 1942.<ref name=":11">United Nations (1953) . ''Slavery Convention, signed at Geneva on 25 September 1926 and amended by the Protocol: Signatories and Parties'' . New York: United Nations. Diambil dari <nowiki>https://treaties.un.org/Pages/ViewDetails.aspx?src=TREATY&mtdsg_no=XVIII2&chapter=18&lang=en</nowiki></ref>
Setelah dibubarkannya LBB, Konvensi ini kemudian diamandemen oleh Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) melalui Protokol Tambahan yang dikenal dengan ''Supplementary Convention on the Abolition of Slavery, the Slave Trade, and Institutions and Practices Similar to Slavery'' pada tahu 1956.<ref name=":11" /> Selain itu, pada tahun 1948 ''The United Nations General Assembly'' atau Sidang Umum PBB mengadopsi “''Universal Declaration of Human Right''” (UDHR) yang secara eksplisit mengutuk perbudakan dan perdagangan budak dalam segala bentuk. [[Pernyataan Umum tentang Hak-Hak Asasi Manusia|UDHR]] ini menjadi instrumen HAM internasional yang penting dan telah disetujui oleh mayoritas negara-negara di dunia.
== Definisi Perbudakan ==
Definisi perbudakan tercantum dalam Pasal 1 Konvensi Perbudakan 1926, yang berbunyi: “''the status or condition of a person over whom any or all of the powers attaching to the right of ownership are exercised”,''<ref>United Nations (1953) . ''Slavery Convention, signed at Geneva on 25 September 1926 and amended by the Protocol: Signatories and Parties'' . New York: United Nations. Diambil dari <nowiki>https://treaties.un.org/Pages/ViewDetails.aspx?src=TREATY&mtdsg_no=XVIII2&chapter=18&lang=en</nowiki></ref> definisi tersebut kemudian diamandemen dengan menambahkan definisi korban perbudakan (budak) melalui Pasal 7(a) Konvensi Tambahan Penghapusan Perbudakan, Perdagangan Budak, serta Institusi dan Prakik yang serupa dengan Perbudakan (''Supplementary Convention on the Abolition of Slavery, the Slave Trade, and Institutions and Practices Similar to Slavery'') bahwa budak adalah ... ''‘slave’ means a person in such condition or status”.''<ref name=":7">Supplementary Convention on the Abolition of Slavery, the Slave Trade and Institutions and Practices Similar to Slavery, ''Final Act and Supplementary Convention'', art. 1, U.N. Doc. E/CONF.24/23</ref> Kemudian dalam Statuta Roma, perbudakan dikategorikan sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan di bawah Pasal 7 Ayat 2(c) dan didefinisikan dalam Pasal 7 Ayat 2(c) sebagai ''“the exercise of any or all of the powers attaching to the right of ownership over a person and includes the exercise of such power in the course of trafficking in persons, in particular women and children.”''<ref>Statuta Roma (1998). Diakses dari <nowiki>https://www.icc-cpi.int/nr/rdonlyres/ea9aeff7-5752-4f84-be94-0a655eb30e16/0/rome_statute_english.pdf</nowiki></ref> Persamaan dari definisi yang tercantum dalam Konvensi Perbudakan 1926 dan Statuta Roma 1998 adalah adanya ''“the powers attaching to the right of ownership.” '' yang artinya unsur kepemilihan atau ''ownership'' menjadi ''sine qua non'' (suatu kondisi yang tidak terelakan adanya) dari segala definisi perbudakan dalam hukum internasional.<ref name=":3">Allain, J (tanpa tahun). ''The Definition of Slavery in International Law.'' Belfast: Bristh Academy.</ref>
Jean Allain, guru besar Fakultas Hukum di Queen’s University of Belfast mengatakan “''there has yet to appear a thorough legal analysis of what that term means in international law.”''<ref name=":3" /> Pernyataan tersebut memiliki impliksi bahwasannya definisi perbudakan masih bersifat ambigu dalam hukum internasional''.'' Faktanya apabila menelisik berbagai macam instrumen hukum internasional yang ada, seringkali tidak ada kesepakatan untuk menyebut perbudakan dengan istilah ''slavery, enslavement, serfdom, servitude'' dan praktik ekspoloitasi lainnya. Contohnya, Pasal 6 (c) Piagam IMT Nuremburg menyebut perbudakan sebagai ''enslavement,''<ref>Charter of the International Military Tribunal Nuremburg (1945). Diakses dari <nowiki>http://www.un.org/en/genocideprevention/documents/atrocitycrimes/Doc.2_Charter%20of%20IMT%201945.pdf</nowiki></ref> namun dalam Konvensi Perbudakan 1926, perbudakan diistilahkan dengan ''slavery.'' Penggunaan istilah lainnya dalam perbudakan juga terjadi dalam kasus ''Siliadin v. France'' yang di bawa ke Mahkamah Eropa (''European Court)'' pada tahun 2005. Dalam kasus tersebut perbudakan diistilahkan dengan ''servitude'' dimana anak-anak Togo dipekerjakan secara paksa dengan tidak dibayarkan lebih dari empat tahun, bekerja selama 15 jam sehari dengan tanpa hari libur. Penggunaan ''servitude'' dipilih sebab definisi perbudakan yang tertuang dalam Konvensi Perbudakan 1926 adalah definisi yang merujuk pada praktik perbudakan di masa lampau sehingga kurang relevan apabila digunakan untuk praktik eksploitasi yang terjadi di abas 21.<ref name=":4">Siliadin v. France, App. No. 73316/01 (2005), diakses dari <nowiki>http://cmiskp.echr.coe.int/tkp197/search.asp?skin=hudoc-en</nowiki> (search “Siliadin”).</ref>
Kemudian dalam kasus perbudakan seksual yang terjadi di Yugoslavia, ''The Appeal Chamber'' (para jaksa yang menangani kasus tersebut) menyebut konsep perbudakan yang tertuang dalam Konvensi Perbudakan 1926 sangatlah tradisional sebab hanya merujuk pada praktik ''chattel slavery'' di masa lampau. Padahal perbudakan telah berevolusi ke dalam bentuk-bentuk eksploitatif modern lainnya.<ref name=":5">Prosecutor v. Kunarac, Case Nos. IT-96-23 &-IT-96-23/1-A, Judgment, 118</ref>
Baris 25:
== Definisi Perbudakan Modern ==
Manifestasi perbudakan telah berkembang mengikuti perkembangan zaman. Lahirnya istilah baru berupa perbudakan modern mencerminkan adanya transformasi bentuk atas perbudakan tradisional.<ref
Dalam konteks modern, terdapat beberapa indikator yang dapat digunakan untuk mengidentifikasi kondisi perbudakan yang dialami oleh individu, diantarannya: (i) tingkat pembatasan hak inheren individu atas kebebasan bergerak ([[Bahasa Inggris]]: ''[[:en:
of slavery|url=https://www.europarl.europa.eu/RegData/etudes/STUD/2018/603470/EXPO_STU(2018)603470_EN.pdf|access-date=28 Juli 2021}}</ref>
Pada tahun 2015, pemerintah Inggris mengeluarkan ''[[:en:
== Bentuk-Bentuk Perbudakan Modern ==
Perbudakan dapat terjadi dalam berbagai bentuk eksploitasi seperti prostitusi secara paksa, kerja paksa, pengemis paksa, kriminalitas paksa, pembantu rumah tangga, pernikahan paksa, dan pengambilan organ tubuh secara paksa.<ref name=":6" /> Konvensi Tambahan Perbudakan ''(The Supplementary Convention on the Abolition of Slavery, the Slave Trade and Institutions and Practices Similar to Slavery of 1956)'' mewajibkan setiap negara yang meratifikasi untuk menghapuskan segala praktik perdukunan dan adat kebiasaan yang mirip dengan kondisi “''servile status”'' seperti:
=== Perbudakan Utang atau ''Debt Bondage'' ===
Baris 39:
=== ''Serfdom'' ===
Merupakan kondisi yang dialami petani atau lebih tepatnya buruh tani yang berdasarkan hukum, perjanjian, atau adat istiadat diharuskan untuk manggarap tanah milik orang lain.<ref name=":7" /> Praktik ''serfdom'' ini membuat korbannya menjadi terikat dengan ladang tersebut, mereka juga tidak memiliki kebebasan selayaknya manusia pada umumnya, seperti tidak boleh pergi tanpa izin tuan tanah, bahkan segala keputusan yang berhubungan dengan masalah personal seperti menikah, menjual barang, atau mengubah pekerjaan mereka tetap harus melibatkan sang tuan tanah.<ref name=":8">National Geographic. Diakses dari <nowiki>http://nationalgeographic.grid.id/read/13773563/</nowiki> mengenal-empat-jenis-perbudakan-yang-pernah-terjadi-di-afrika?page=all
=== Kerja Paksa atau ''Forced Labor'' ===
Kerja paksa dapat diartikan sebagai pekerjaan yang dilakukan oleh seseorang tanpa adanya kehendak pribadi dan dilakukan di bawah ancaman seperti kekerasan, intimidasi, dan bentuk ancaman-ancaman lainnya.atau dengan cara yang lebih halus seperti utang yang dimanipulasi, penyimpanan surat-surat identitas atau ancaman pengaduan kepada otoritas imigrasi.<ref name=":12" />
Kerja paksa atau ''forced labor'' merupakan perbuatan yang dikutuk oleh komunitas internasional, yang mana praktik jenis ini merupakan bentuk baru dari perbudakan. Definisi dari perbudakan terdapat dalam Konvensi tentang Kerja Paksa 1930 Pasal 1 Ayat 2 yang berbunyi ''“all work or service which is exacted from any person under the menace of any penalty and for which the said person has not offered himself voluntarily”.''<ref>ILO Forced Labour Convention, 1930 , ''United Nations Treaty Series,'' vol. 39, p. 55.
ILO melalui ''ILO’s Special Action Programme to Combat Forced Labour'' (SAP-FL) telah mengeluarkan 11 indikator yang dapat digunakan untuk menganalisis praktik kerja paksa atau ''forced labor.'' Indikator tersebut meliputi: (1) memanfaatkan kerentanan atau vulnerabilitas korban; (2) penipuan; (3) pembatasan pergerakan; (4) isolasi; (5) kekerasan fisik dan seksual; (6) intimidasi dan ancaman; (7) perampasan dokumen identitas; (8) pemotongan upah; (9) jeratan hutang; (10) kondisi kerja dan hidup yang tidak layak; dan (11) jam lembur yang berlebihan. Adanya satu indikator tunggal dapat menyiratkan bahwa seorang individu berada dalam situasi kerja paksa, namun dalam banyak kasus yang terjadi adalah kombinasi dari beberapa indikator secara bersamaan.<ref>{{Cite web|last=ILO|title=ILO Indicator of Forced Labor|url=https://www.ilo.org/wcmsp5/groups/public/---ed_norm/---declaration/documents/publication/wcms_203832.pdf}}</ref>
Baris 53:
Dalam Konvensi Konvensi ILO Nomor 182 mengenai Pelarangan dan Tindakan Segera Penghapusan Bentuk-Bentuk Pekerjaan Terburuk untuk Anak, disebutkan bentuk-bentuk pekerjaan terburuk untuk anak meliputi:<blockquote>"(a) segala bentuk perbudakan atau praktek sejenis perbudakan, seperti penjualan dan perdagangan anak, kerja ijon (debt bondage), dan perhambaan serta kerja paksa atau wajib kerja, termasuk pengerahan anak secara paksa atau wajib untuk dimanfaatkan dalam konflik bersenjata;
(b) pemanfaatan, penyediaan atau penawaran anak untuk pelacuran, untuk produksi pornografi, atau untuk pertunjukan-pertunjukan porno;
(c) pemanfaatan, penyediaan atau penawaran anak untuk kegiatan terlarang, khususnya untuk produksi dan perdagangan obat-obatan sebagaimana diatur dalam perjanjian internasional yang relevan;
(d) pekerjaan yang sifat atau keadaan tempat pekerjaan itu dilakukan dapat membahayakan kesehatan, keselamatan, atau moral anak-anak."<ref name=":15" /></blockquote>
Baris 65:
==== a. Perdagangan Manusia untuk Kerja Paksa ====
Perdagangan Manusia untuk Kerja Paksa dapat terdjadi di sektor domestik dan sektor publik.<ref name=":13" /> Kerja paksa di sektor domestik juga dikenal dengan istilah ''involuntary domestic servitude,'' istilah domestik disematkan karena lokus kejahatan terjadi di dalam rumah. ILO dalam laporannya menggambarkan keadaan eskploitatif yang dialami oleh ''domestic labor,'' bahwa 75 persen ''domestic labor'' yang bekerja di lima Negara (Bangladesh, Indonesia, Nepal, Sri Langka) bekerja lebih dari 8 jam sehari. Selain itu, dokumen legal mereka ditahan oleh majikan atau penyalur tenaga kerja, mereka juga mengalami kekerasan fisik, pelecehan seksual, pemerkosaan, kekurangan makanan, pemotongan gaji, dan kondisi atau lingkungan kerja yang tidak layak.<ref name=":13" />
Di sektor publik, korban dapat terlibat dalam pekerjaan pertanian, pertambangan, perikanan atau konstruksi.<ref name=":18">{{Cite web|title=Types of human trafficking|url=https://www.interpol.int/en/Crimes/Human-trafficking/Types-of-human-trafficking|website=www.interpol.int|language=en|access-date=2021-07-30}}</ref> Contoh dari perdagangan manusia untuk kerja paksa di sektor publik adalah ekploitasi yang dialami oleh pekerja migran dalam pembangunan fasilitas olahraga dan infrastruktur lainnya di Qatar untuk mempersiapkan [[Piala Dunia FIFA 2002|Piala Dunia 2022.]]<ref name=":17">{{Cite web|date=2013-09-25|title=Revealed: Qatar's World Cup 'slaves'|url=http://www.theguardian.com/world/2013/sep/25/revealed-qatars-world-cup-slaves|website=the Guardian|language=en|access-date=2021-07-30}}</ref> Pada tahun 2013, Kedutaan Besar Nepal di Qatar mencatat setidaknya terdapat 44 pekerja yang meninggal dalam kurun waktu 4 Juni-8 Agustus. Investigasi yang dilakukan juga menunjukkan adanya bukti kerja paksa dalam pembangunan infrastruktur Piala Dunia 2022 di Qatar dengan bukti adanya penahanan dokumen dan keengganan penyalur tenaga kerja untuk mengurus dokumen keimigrasian agar status korban menjadi pekerja illegal, penahanan/ pemotongan/ keterlambatan pembayaran gaji, dan pembatasan terhadap akses terhadap air minum dan makanan yang layak.<ref name=":17" />
==== b. Perdagangan Manusia untuk Eksploitasi Seksual ====
Berdasarkan dokumen ''Global Report on Trafficking in Persons'' yang dipublikasikan oleh UNODC, bentuk perdagangan manusia yang paling umum (79%) adalah eksploitasi seksual. Korban eksploitasi seksual sebagian besar adalah perempuan dan anak perempuan.<ref>{{Cite web|title=Global Report on Trafficking in Persons|url=https://www.unodc.org/unodc/en/human-trafficking/global-report-on-trafficking-in-persons.html|website=United Nations : Office on Drugs and Crime|language=en|access-date=2021-07-30}}</ref> Di Amerika Serikat, melalui ''Trafficking Victims Protection Act'' Tahun 2000 yang kemudian diamandemen dengan ''Justice for Victims of Trafficking Act'' Tahun 2015, mendefinisikan perdagangan seks sebagai:<blockquote>''"''merekrut, menyembunyikan, mengangkut, menyediakan, memperoleh, menggurui, atau meminta seseorang melalui kekerasan, penipuan, atau paksaan untuk tujuan seks komersial”<ref>{{Cite web|title=Sex Trafficking|url=https://humantraffickinghotline.org/type-trafficking/sex-trafficking|website=National Human Trafficking Hotline|language=en|access-date=2021-07-30}}</ref></blockquote>Bisnis seks kontemporer melibatkan eksploitasi yang sistematis. Eksploitasi terhadap pekerja seks terutama diindikasikan dengan adanya kekerasan dan tidak membayar jasa servis seks. Para korban pelacuran terbiasa mengalami pemerkosaan, penyiksaan, kelaparan, bahkan pembunuhan, juga secara langsung atau tidak langsung mengakibatkan penularan penyakit seksual dan pemakaian psikotropika.<ref>{{Cite journal|last=Nizmi|first=Yusnarida Eka|date=Juli-Desember 2012|title=Analisa Routine Activity Theory
dalam Perdagangan Seks
di Thailand, China dan Vietnam|url=http://journal.unair.ac.id/download-fullpapers-jgs9b345b5c312full.pdf|journal=Global & Strategis Universitas Airlangga}}</ref>
==== c. Perdagangan Manusia untuk Aktivitas Kriminal ====
Bentuk perdagangan menusia jenis ini memungkinkan jaringan kriminal untuk meraup keuntungan dari berbagai kegiatan terlarang dengan memanfaatkan kerentanan korban untuk meminimalisir risiko penegakan hukum. Korban dipaksa untuk melakukan berbagai kegiatan ilegal, yang pada gilirannya menghasilkan pendapatan. Kegiatan ilegal yang dimaksud mencakup pencurian, produksi dan distribusi narkoba, penjualan barang palsu, atau pengemis paksa. Para korban seringkali memiliki kuota atau target minimum yang harus dipenuhi dan dapat menghadapi hukuman berat jika mereka tidak bekerja dengan baik.<ref name=":18" /> Contoh dari perdagangan manusia jenis ini adalah kasus perdagangan manusia, yang menimpa terpidana mati kasus narkoba, Mary Jane Fiesta Veloso, penduduk [[Filipina]].<ref name=":19">{{Cite web|last=Tempo|title=Filipina Temukan Bukti Mary Jane Korban Perdagangan Manusia|url=https://nasional.tempo.co/read/683745/filipina-temukan-bukti-mary-jane-korban-perdagangan-manusia/full&view=ok}}{{Pranala mati|date=Desember 2022 |bot=InternetArchiveBot |fix-attempted=yes }}</ref> Sebagai informasi, Mary Jane Fiesta Veloso, ditangkap atas tuduhan membawa heroin seberat 2,6 kilogram di Bandar Udara Adisucipto, Yogyakarta, pada 25 April 2010 silam menggunakan penerbangan pesawat Air Asia dari Kuala Lumpur ke Yogyakarta. Pada 11 Oktober 2010, Pengadilan Negeri Sleman, Yogyakarta, memberikan vonis mati kepada Mary Jane. Putusan tersebut kemudian diperkuat hingga kasasi, bahkan grasinya pun ditolak Presiden Joko Widodo pada 30 Desember 2014.<ref name=":19" />
==== d. Perdagangan Manusia untuk Pengambilan Organ Tubuh ====
Perdagangan manusia untuk tujuan pengambilan organ bukanlah fenomena baru. Dengan kekurangan organ yang bersumber secara legal di seluruh dunia, diperkirakan perdagangan ilegal organ manusia menghasilkan sekitar 1,5 miliar dolar setiap tahun dari sekitar 12.000 transplantasi ilegal. Perdagangan jenis ini memiliki konsekuensi serius bagi keamanan manusia, terutama bagi populasi yang paling rentan dengan latar belakang kesulitan ekonomi, seperti pengangguran, tunawisma, dan migran. Misalnya, pada tahun 2017, semakin banyak kasus perdagangan organ yang terungkap di Lebanon selaran dengan meningkatnaya jumlah pengungsi Suriah.<ref name=":20" /> Pengambilan organ memiliki konsekuensi yang parah bagi kesehatan para korban, secara fisik, mental dan psikologis (misalnya: rasa malu dan membenci diri sendiri).<ref>{{Cite web|title=Trafficking for the purposes of organ removal|url=https://www.gov.il/en/departments/guides/organ_trafficking|website=GOV.IL|language=en|access-date=2021-07-30}}</ref>
Dalam kasus perdagangan orang untuk pengambilan organ, korban direkrut melalui penipuan, tidak diberitahu sepenuhnya tentang sifat prosedur, pemulihan dan dampak dari pengambilan organ pada kesehatannya. Persetujuan mereka juga dapat diperoleh melalui paksaan atau penyalahgunaan posisi rentan.<ref>{{Cite web|last=UNODC|title=Trafficking in Persons
Baris 88:
Kovenan Liga Bangsa-Bangsa (LBB) tahun 1919, mengintruksikan kepada negara-negara anggota untuk berkolaborasi menekan perdagangan anak-anak dan perempuan untuk dieksploitasi secara seksual.<ref name=":0" /> Perbedaan perbudakan seksual dengan prostitusi ada tiga. Yang pertama, tidak adanya keuntungan finansial yang didapatkan oleh para budak tersebut. Yang kedua, perbudakan seksual melibatkan kontrol atau penguasaan absolut oleh seseorang terhadap orang lainnya. Yang terakhir, adanya ancaman kekerasan yang ditujukan kepada korban. Perbudakan seksual seringkali terjadi dalam konflik bersenjata atau ketika pendudukan suatu negara ke negara lain.<ref name=":0" />
Penggunaan budak-budak seks ketika waktu perang terjadi dalam bentuk ''camp'' pemerkosaan, ''comfort station'' (mirip rumah pelacuran) yang dilakukan oleh tentara Jepang pada masa [[Perang Dunia II]], dan bentuk-bentuk pelecehan seksual lainnya. Tindakan tersebut tentu merupakan bentuk pelanggaran terhadap hukum humaniter internasional. Pasal 3 Konvensi Jenewa 1949 melarang pihak-pihak yang berkonflik untuk melakukan ''“''kekejaman terhadap martabat pribadi, khususnya perlakuan yang menghinakan dan merendahkan martabat”.<ref>Geneva Conventions. (1949) ''United Nations Treaty Series,'' Vol. 75</ref> Kemudian, Protokol Tambahan I dan II mengandung pelarangan terhadap segala bentuk perbuatan yang tidak senonoh ''(indecent)'' terhadap perempuan dan anak-anak.<ref>Additional Protocol I and II Geneva Convention (1949)</ref> Namun berbagai instrumen hukum internasional yang ada belum merujuk pemerkosaan sistematis sebagai perbudakan seksual. Tercatat hanya ''Vienna Declaration and Programme of Action'' yang menegaskan perbudakan seksual sebagaimana berikut “Semua pelanggaran semacam ini, termasuk khususnya pembunuhan, pemerkosaan sistematis, perbudakan seksual dan kehamilan paksa, memerlukan tanggapan yang sangat efektif.''”''<ref>Report of the World Conference on Human Rights, United Nations document A/CONF.157/24 (1993), part II, para. 38.</ref>
=== Pernikahan Paksa ===
Praktik atau adat lainnya yang mana seorang anak di bawah umur 18 tahun, diserahkan oleh orang tuanya atau walinya kepada orang lain untuk dieksploitasi secara seksual atau diperkerjakan secara paksa.<ref name=":8" /> Praktik Perbudakan jenis ini dapat terjadi melalui skenario berikut:
# Serorang perempuan, yang tanpa memiliki hak untuk menolak, dinikahkan secara paksa dengan imbalan berupa uang atau barang yang diberikan kepada orang tuanya, walinya, keluarganya atau orang dan kelompok lainnya.<ref name=":7" />
Baris 105:
Larangan perbudakan juga tertuang dalam instrumen utama HAM internasional, yaitu ''Universal Declaration of Human Rights'' Tahun 1948 (UDHR)'', International Covenant on Civil and Political Rights'' Tahun 1966 (ICCPR)'','' dan ''International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights T''ahun 1966 (ICESCR). Dalam UDHR, larangan terhadap perbudakan terdapat dalam Pasal 4 yang berbunyi ''“No one shall be held in slavery or servitude; slavery and the slave trade shall be prohibited in all their forms”''. Sedangkan dalam ICCPR terutama dalam Pasal 8 Ayat 2 disebutkan bahwa “''No one shall be required to perform forced or compulsory labour”.'' Ayat tersebut secara tidak langsung membahas tentang kerja paksa, eksploitasi dan perdagangan manusia dengan menekankan hak pekerja untuk mendapatkan remunerasi yang adil.<ref name=":25">Justice, S., Esegbona, S., Arif, Z., & Scullion, J. (2011). Modern slavery. ''Open Learn,'' 22(4), 28–29.</ref> ICCPR juga menyebut larangan perbudakan dan segala praktik yang berkaitan dengannya adalah hak ''non- derogable,'' yang berarti hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam kondisi apapun.<ref>{{Cite web|title=OHCHR {{!}} International Covenant on Civil and Political Rights|url=https://www.ohchr.org/en/professionalinterest/pages/ccpr.aspx|website=www.ohchr.org|access-date=2021-07-31}}</ref> Instrumen HAM internasional selanjutnya yang secara implisit melarang praktik perbudakan adalah ICESCR, terutama dalam Pasal 7 yang berbunyi ''“The State Parties to the present Covenant recognize the right of everyone to the enjoyment of just and favourable conditions of work which ensure, in particular: (a) Remuneration... ;(b) Safe and healthy working condition; (c) Equal opportunity... ; (d)... reasonable limitation of working hours”''.<ref>{{Cite web|title=OHCHR {{!}} International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights|url=https://www.ohchr.org/en/professionalinterest/pages/cescr.aspx|website=www.ohchr.org|access-date=2021-07-31}}</ref>
Perbudakan modern dalam bentuk kerja paksa juga diatur dalam Protokol untuk Mencegah, Menindak, dan Menghukum Perdagangan Orang, Terutama Perempuan dan Anak-Anak (Bahasa Inggris: ''Protocol to Prevent, Suppress and Punish Trafficking in Persons, specially Women and Children)'' atau secara singkat disebut dengan Protokol Palermo. Protokol ini dimaksudkan untuk melengkapi Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Menentang Tindak Pidana Transnasional yang Terorganisasi (Bahasa Inggris: ''United Nations Convention against Transnational Organized Crime).'' Dalam Protokol Palermo Pasal 3 disebutkan keterkaitan antara kerja paksa dengan perdagangan manusia,<blockquote>“'Perdagangan orang' berarti perekrutan, pengangkutan, pemindahan, penyembunyian atau penerimaan orang, dengan ancaman atau penggunaan kekerasan atau bentuk-bentuk pemaksaan lainnya, penculikan, penipuan, penipuan, penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan atau memberi atau menerima pembayaran atau manfaat untuk mendapatkan persetujuan dari orang yang memiliki kendali atas orang lain, untuk tujuan eksploitasi. Eksploitasi harus mencakup, minimal, eksploitasi pelacuran orang lain atau bentuk-bentuk lain dari eksploitasi seksual, kerja atau layanan paksa, perbudakan atau praktik serupa perbudakan, penghambaan atau pengambilan organ tubuh.”<ref>{{Cite web|title=OHCHR {{!}} Protocol to Prevent, Suppress and Punish Trafficking in Persons|url=https://www.ohchr.org/en/professionalinterest/pages/protocoltraffickinginpersons.aspx|website=www.ohchr.org|access-date=2021-07-31}}</ref></blockquote>Protokol Palermo merupakan instrumen internasional utama untuk memerangi kejahatan transnasional terorganisir di bawah administrasi [[Kantor Perserikatan Bangsa-Bangsa Urusan Narkoba dan Kejahatan|United Nations Office on Drugs and Crime]] (UNODC).<ref name=":1" /> UNODC mencatat bahwa definisi perdagangan manusia 'sudah mencakup kerja paksa, perbudakan atau praktik serupa perbudakan, dan penghambaan sebagai bentuk eksploitasi dalam perdagangan manusia'. UNODC lebih lanjut mencatat bahwa Konvensi dan Protokol, 'memberikan dasar hukum internasional untuk kerja sama internasional formal dan informal untuk dalam menangani tindak kejahatan lintas batas negara.<ref name=":1" />
ILO sebagai organisasi yang berfokus pada isu-isu ketenagakerjaan, telah mengadopsi beberapa konvensi (terbuka untuk ditandatangani dan diratifikasi oleh negara) yang membahas tentang kerja paksa dan bentuk-bentuk eksploitasi manusia lainnya. Konvensi ILO tersebut antara lain: ''International Labour Organisation Forced Labour Convention 1930 (No 29); International Labour Organisation Abolition of Forced Labour Convention 1957 (No 105; Equal Remuneration Convention; Discrimination (Employment and Occupation) Convention; Employement Policy Convention; Convention concerning Occupational Safety and the Working Environment;'' dan ''Convention on the Protection of the Rights of All Migrant Workers and Members of their Families).''<ref>University of Minnesota Human Rights Library. (tanpa tahun). ''Ratification of International Human Rights Treaties - Thailand,'' dari <nowiki>http://hrlibrary.umn.edu/research/ratification-</nowiki> thailand.html</ref> Pada tahun 2014, ILO mengadopsi Protokol Tambahan yang berkaitan dengan ''Forced Labour Convention, 1930 (No. 29).'' Protokol tersebut dimaksudkan untuk memperkuat kerangka hukum internasional dalam menghapuskan kerja paksa dengan menciptakan kewajiban baru bagi negara untuk mencegah terjadinya kerja paksa, melindungi korban dan untuk menyediakan akses ''remedy'' atau pemulihan, seperti kompensasi atas kerugian material dan fisik.<ref name=":25" />
Baris 190:
== Kasus Perbudakan Modern di Industri Perikanan Thailand ==
Praktik perbudakan modern di industri perikanan Thailand menarik perhatian komunitas internasional. Hal ini dibuktikan dengan pemberitaan media internasional seperti The Guardian pada tahun 2014 dan Associated Press pada tahun 2015 yang membahas keterkaitan praktik perbudakan di Thailand dengan rantai pasokan produk olahan ''seafood'' di pasar Amerika Serikat dan Eropa.<ref>Hodal, Kate, Kelly, Chris, & Lawrence, Felicity. (June 10, 2014) ''Revealed: Asian Slave Labour Producing Prawns for Supermarkets in US, UK''. The Guardian, diakses dari <nowiki>https://www</nowiki>. theguardian.com/global-development/2014/jun/10/supermarket-prawns- thailand-produced-slave-labour.</ref><ref>Associated Press. (2015). ''Myanmar Fishermen Goes Home after 22 Years as a Slave. ''Diakses pada 30 Juli 2021, dari https:// www.ap.org/explore/seafood-from-slaves/myanmar-fisherman-goes-home- after-22-years-as-a-slave.html</ref> Kasus ini juga mendapat perhatian dari NGO Internasional seperti Environmental Justice Foundation (EJF) dengan judul publikasi ''“Sold to the Sea”''<ref>EJF (2013). ''Sold to the Sea: Human Trafficking in Thailand’s Fishing Industry.'' London: EJF.</ref> dan dari [[Human Rights Watch]] (HRW) yang berjudul ''“Hidden Chain”.''<ref name=":21">Human Rights Watch. (2018). ''Hidden Chains: Rights Abuses and Forced Labor in Thailand’s Fishing Industr''y. New York: Human Rights Watch</ref> Para penyintas yang berhasil diwawancarai menuturkan serangkaian ''labor abuse'' yang mereka alami. Sebagai contoh, HRW menarasikan cerita penyintas korban perbudakan Thailand dengan sebagai berikut:<blockquote>“Pada tahun 2011, Saw Win (57) bermigrasi ke Thailand dengan harapan untuk mendapatkan pekerjaan sehingga dapat menghidupi keluarganya di Myanmar. Dia menuturkan kepada Human Right Watch, bahwa dirinya berangkat ke Thailand melalui perantara yang ia temui di Kota Kawthaung yang berada di bagian selatan Myanmar. Perantara tersebut mengatakan bahwa Saw Win akan mendapatkan pekerjaan di sektor pengolahan makanan dengan gaji 4,5 USD setiap harinya. Namun setelah Saw Win menginjakan kaki di perbatasan Thailand, dirinya langsung diangkut dengan truk bersama raturan pekerja migran tanpa dokumen lainnya (''undocumented migrant workers).'' Truk yang dinaiki Saw Win kemudian berhenti di kota pelabuhan Kantang yang terletak di bagian pantai barat daya Thailand. Setelahnya, Saw Win beserta 124 pekerja migran lainnya dikurung dalam sebuah ruangan sempit, dan keesokan harinya mereka dipaksa bekerja di kapal penangkap ikan selama 3 bulan lamanya tanpa upah. Kemudian Saw Win dijual lagi oleh perantaranya ke kapal penangkap ikan yang bermarkas di Songkhla, bagian tenggara Thailand. Disana, Saw Win beserta pekerja migran lainnya mendapatkan perlakuaan kasar dari Kapten kapal penangkap ikan Thailand yang secara teratur memukuli kru dengan batang besi dan mengancam mereka dengan todongan senjata. Selain kekerasan seacra psikis, kubutuhan makan para buruh migran juga tidak tepenuhi, Saw Win menuturkan banyak rekan kerjanya yang meninggal karena kekurangan nutrisi, sehingga banyak yang terkena penyakit serius dan kemudian meninggal. Saw Win berhasil melarikan diri dengan terjun ke laut, kemudian diselamatkan oleh kapal berbendera Malaysia."<ref>Human Right Watch. (2018). ''Joint Civil Society Statement concerning Ratification of the Work in Fishing Convention, 2007 (No. 188).'' New York: Human Right Watch.</ref></blockquote>Menurut Human Rights Watch jumlah pekerja migran di Thailand belum dapat diestimasikan dengan tepat, terlebih lagi jumlah pekerja migran di sektor-sektor perikanan. Human Right Watch (HRW) sendiri mengestimasi setidaknya terdapat 222.000 pekerja migran bekerja di industri perikanan Thailand.<ref name=":21" /> Melissa Marschke & Peter Vandergeest (2016) mendukung pernyataan dari HRW yang mengungkapkan adanya kesulitan dalam memperkirakan secara akurat jumlah pekerja di kapal penangkap ikan Thailand.<ref>Marschke, M., & Vandergeest, P. (2016). Slavery scandals: Unpacking labour challenges and policy responses within the off-shore fisheries sector. ''Marine Policy'', 68, 39–46. <nowiki>https://doi.org/10.1016/j.marpol.2016.02.009</nowiki></ref> Pada tahun 2012, survei yang dilakukan oleh National Fisheries Association of Thailand (NFAT) memperkirakan jumlah total pekerja di sektor perikanan mencapai 143.000 pekerja migran di 9500 kapal.<ref>ILO (2013). ''Employment Practices and Working Conditions in Thailand's Fishing.'' Bangkok: International Labour Organization.</ref> Survei ini dianggap tidak merepresentasikan keadaan yang sebenarnya sebab mengecualikan pekerja yang bukan anggota dari NFAT. Sedangkan Environmenttal Justice Foundation pada tahun 2013 memperkirakan sektor indutri perikanan di Thailand mempekerjakan lebih dari 650.000 orang, 200.000 diantaranya merupakan pekerja migran.<ref>EJF. (2013). ''Human Trafficking in Thailand ’ s Fishing Industry.'' London: EJF.</ref>
Survei penelitian ang diterbitkan oleh Jurnal ''Marine Policy'' dengan judul ''Under the shadow : Forced labour among sea fishers in Thailand Under the shadow : Forced labour among sea fishers in Thailand'' pada tahun 2018 menunjukkan prakitk kerja paksa berdasarkan indikator yang dikeluarkan oleh ILO SAP-FL yang disajikan dalam tabel di bawah ini.<ref name=":22">Stringer, C., Chantavanich, S., Laodumrongchai, S., & Stringer, C. (2018). Under the shadow : Forced labour among sea fishers in Thailand Under the shadow : Forced labour among sea fi shers in Thailand. ''Marine Policy'', 68(June 2016), 1–7. <nowiki>https://doi.org/10.1016/j.marpol.2015.12.015</nowiki></ref>
Baris 238:
== Kasus Perbudakan Dalam Peradilan Pidana Internasional: Perbudakan Seksual dalam International Military Tribunal for the Far East (IMTFE/ Tokyo Trial) ==
Perbudakan seringkali diasosiasikan dengan perampasan hak-hak fundamental yang melekat pada diri setiap manusia. Perbudakan secara seksual memliki elemen ''right of ownership'' berupa kontrol atau penguasaan terhadap korban''. Right of ownership'' merupakan ''sine qua non'' (suatu kondisi yang tidak terelakan adanya) dari segala definisi perbudakan dalam hukum internasional.<ref name=":14">Carmen M. Argibay, (2003). ''Sexual Slavery and the Comfort Women of World War II'', 21 Berkeley J. Int'l Law. 375; Allain, J (tanpa tahun). ''The Definition of Slavery in International Law.'' Belfast: Bristh Academy.</ref> Beberapa perjanjian internasional seperti intrumen hukum humaniter internasional (Konvensi Den Haag 1907 dan Konvensi Jenewa 1929) secara implisit telah menyebut perbudakan sebagai kejahatan internasional, dan adanya pemaksaan secara seksual merupakan bentuk dari perbudakan.<ref name=":14" /> Perbudakan seksual pertama kali dibawa ke dalam yurisdiksi pengadilan pidana internsional dalam kasus ''comfort women'' yang dilakukan oleh Jepang pada masa [[Perang Dunia II]].
Secara singkat, sejarah dari adanya perbudakan seksual yang dilakukan oleh Jepang terjadi ketika Jepang melancarkan serangan agresi ke beberapa wilayah di Asia seperti Cina, Tiwan dan Korea. Pada tahun 1937, militer Jepang melakukan invasi ke Nanking, Cina. Dalam peristiwa penyerangan itu, tentara Jepang melakukan pemerkosaan secara masal kepada penduduk sipil Nanking. Kejadian tersebut kemudian dikenal dengan ''“The Rape of Nanking”.''<ref name=":14" />
Baris 244:
Tokyo Tribunal 2000 telah membahas mengenai kasus ''comfort women. Indicia'' (indikator) yang digunakan adalah; 1) adanya unsur pemaksaan terhadap para korbannya, 2) memperlakukan para korban selakyaknya barang yang dapat dibuang setelah dipakai ''(disposable),'' 3) adanya pembatasan hak-hak fundamental dan kebebasan, 4) ketiadaan persetujuan, 5) kerja paksa, dan 6) perlakuan diskriminatif. Satu atau lebih indikator tersebut bisa saja tidak terdapat dalam beberapa kasus tertentu, namun apabila indikator yang lain ditemukan maka telah cukup untuk mengindikasikan adanya status atau kondisi perbudakan, secara spesifik perbudakan seksual. Dalam proses penyelidikan lebih lanjut Tokyo Tribunal 2000 menemukan bahwa semua indikator tersebut terdapat dalam kasus ''comfort woment.'' Tokyo Tribunal 2000 juga menyatakan bahwa pemerintah Jepang telah melakukan kejahatan perbudakan seksual terhadap perempuan dan anak-anak sebagai bagian dari agresi militer Jepang di Asia Pasifik. Kejahatan perbudakan seksual dilakukan secara sistematik, meluas, dan terorganisir dengan baik terhadap perempuan yang merupakan penduduk sipil, hal ini tentunya memenuhi karakteristik dari kejahatan terhadap kemanusiaan.<ref name=":14" />
== Referensi ==
{{Uncategorized|date=Februari 2023}}
|