Djong (kapal): Perbedaan antara revisi
Konten dihapus Konten ditambahkan
Verosaurus (bicara | kontrib) |
kTidak ada ringkasan suntingan |
||
Baris 3:
'''Djong''' (juga disebut '''jong''', '''[[Kapal jung|jung]]''' atau '''junk''') adalah jenis kapal layar kuno yang berasal dari [[Jawa]], dan digunakan secara umum oleh pelaut [[Orang Jawa|Jawa]] dan [[Suku Sunda|Sunda]]; dan pada abad setelahnya, juga oleh pelaut [[Suku Melayu|Melayu]]. Namanya dari dulu hingga sekarang dieja sebagai "''jong''" dalam bahasa asalnya,<ref>{{Cite web|last=Company|first=Houghton Mifflin Harcourt Publishing|title=The American Heritage Dictionary entry: junks|url=https://ahdictionary.com/word/search.html?q=junks|website=ahdictionary.com|access-date=2020-10-12}}</ref><ref>{{Cite web|title=junk {{!}} Origin and meaning of junk by Online Etymology Dictionary|url=https://www.etymonline.com/word/junk|website=www.etymonline.com|language=en|access-date=2020-10-12}}</ref> ejaan "''djong''" sebenarnya adalah romanisasi kolonial Belanda.<ref name=":202">{{Cite book|last=Rouffaer|first=G. P.|date=|year=1915|url=https://archive.org/details/deeersteschipvaa01rouf/page/133/mode/2up?q=|title=De eerste schipvaart der Nederlanders naar Oost-Indië onder Cornelis de Houtman Vol. I|location=Den Haag|publisher='S-Gravenhage M. Nijhoff|isbn=|page=|pages=|url-status=live}}</ref>{{rp|71}} Djong digunakan terutama sebagai kapal penumpang dan kapal kargo, dapat mencapai [[Samudra Atlantik]] pada zaman kuno. Bobot muatan rata-rata adalah 40 sampai 2000 [[Tonase bobot mati|ton mati]],<ref group="catatan">Ukuran berat yang digunakan di halaman ini (kecuali dinyatakan lain) adalah DWT atau tonase bobot mati, sebuah ukuran dari berapa banyak muatan yang bisa dibawa sebuah kapal, termasuk berat kru dan perbekalan.</ref> dengan bobot mati rata-rata sebesar 1200–1400 ton pada zaman [[Majapahit]]. Kerajaan Jawa seperti Majapahit, [[Kesultanan Demak]], dan [[Kesultanan Kalinyamat]] menggunakan kapal jenis ini digunakan sebagai kapal perang, tetapi masih dominan sebagai kapal angkut.<ref name=":22" />{{rp|59-62}}<ref name=":12">{{Cite book|title=Majapahit Peradaban Maritim|last=Nugroho|first=Irawan Djoko|publisher=Suluh Nuswantara Bakti|year=2011|isbn=978-602-9346-00-8|location=|pages=}}</ref>{{rp|308}}<ref name=":20">Wade, Geoff (2012). ''Anthony Reid and the Study of Southeast Asian Past''. Singapore: Institute of Southeast Asian Studies. ISBN 9814311960.</ref>{{rp|155}} Kesultanan Mataram biasanya menggunakan jong sebagai kapal dagang bukan kapal perang.<ref name=":24" />{{rp|1354}}
Untuk armada perang mereka, orang Melayu lebih suka menggunakan kapal-kapal panjang dengan [[sarat air]] dangkal, berdayung, yang mirip dengan [[galai]]; contohnya [[Lancaran (kapal)|lancaran]], [[ghurab]], dan [[Ghali (kapal)|ghali]]. Hal ini sangat berbeda dengan orang Jawa yang lebih menyukai kapal-kapal bundar dengan sarat air yang dalam dan dapat mencapai jarak jauh seperti jong dan malangbang. Alasan perbedaan ini adalah karena orang Melayu mengoperasikan kapal mereka di perairan sungai, zona selat terlindung, dan lingkungan kepulauan, sedangkan orang Jawa sering aktif di laut lepas dan berombak tinggi.<ref name=":12" />{{rp|270-277, 290-291, 296-301}}<ref>Manguin, Pierre-Yves (2012). Lancaran, Ghurab and Ghali. Dalam G. Wade & L. Tana (Eds.), ''Anthony Reid and the Study of the Southeast Asian Past'' (hlm. 146–182). Singapore: ISEAS Publishing.</ref>{{Rp|148, 155}}
== Etimologi ==
Baris 386:
== Hilangnya jung Jawa ==
[[Berkas:Four Kind of Ships which Bantenese Use de Bry.jpg|kiri|jmpl|325x325px|Jong berkapasitas 32–40 ton dari Banten (kanan) dengan 2 layar dan layar ''bowsprit'', menampilkan jembatannya (bukaan dek bawah tempat barang disimpan). Jong hibrida dapat terlihat di kiri.]]
Anthony Reid berpendapat bahwa kegagalan jong dalam pertempuran melawan kapal Barat yang lebih kecil dan lincah kemungkinan meyakinkan pembuat kapal Jawa bahwa jong yang besar tetapi kurang lincah menghadapi risiko terlalu besar sesudah orang Portugis memperkenalkan pertempuran laut cara Eropa, sehingga kapal-kapal yang mereka bangun setelahnya lebih kecil dan laju.<ref>Reid, Anthony (1992): 'The Rise and Fall of Sino-Javanese Shipping', dalam V.J.H. Houben, H.M.J. Maier, dan Willem van der Molen (eds.), ''Looking in Odd Mirrors'' (Leiden: Vakgroep Talen en Culturen van Zuidoost-Azië en Oceanië), 177-211.</ref>{{rp|201}} Sejak pertengahan abad ke-16 kekuatan-kekuatan maritim di Nusantara mulai menggunakan tipe-tipe kapal tempur gesit baru yang dapat dilengkapi dengan meriam berukuran lebih besar: Dalam berbagai serangan atas Malaka yang dilancarkan pada Melaka Portugis setelah kekalahan Pati Unus, mereka tidak lagi menggunakan jong, tetapi menggunakan
Hilangnya tradisi maritim Jawa adalah akibat kebijakan kerajaan Jawa sendiri setelah kekalahan mereka terhadap Portugis dalam penyerbuan Malaka, yang kemudian lebih memusatkan pada kekuatan angkatan darat. Serta, sikap represif [[Amangkurat I]] dari Mataram terhadap kota kota pesisir utara Jawa. Amangkurat I pada 1655 memerintahkan agar pelabuhan ditutup dan kapal-kapal dihancurkan agar mencegah kota-kota pesisir menjadi kuat dan memberontak. Ini menghancurkan ekonomi Jawa dan kekuatan maritimnya yang dibangun sejak zaman [[Medang]] sampai Majapahit, dan mengubah [[Kesultanan Mataram|Mataram]] menjadi negara agraris.<ref>{{Cite book |last=Ricklefs |first=Merle Calvin |url=https://archive.org/details/m.-c.-ricklefs-a-history-of-modern-indonesia-since-c.-1200-red-globe-press-2008/page/4/mode/2up |title=A History of Modern Indonesia Since c. 1200 Fourth Edition (E-Book version) |publisher=Palgrave Macmillan |year=2008 |isbn=9780230546851 |edition=4th |location=New York |pages=}}</ref>{{rp|100}}<ref name=":13" />{{rp|79-80}}
|