Wikipedia:Warung Kopi (Teknis): Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
Ramuan Mujarab: bagian baru
Tag: Dikembalikan menambah kata-kata yang berlebihan atau hiperbolis
k Pengembalian suntingan oleh Yudadi BM Tri Nugraheny (bicara) ke revisi terakhir oleh Bennylin
Tag: Pengembalian
Baris 262:
<!-- Jangan hapus 4 tanda tilda di bawah, itu adalah tanda tangan Anda. Tidak usah membubuhkan apa pun lagi di bawah. Silakan hapus baris komentar ini sebelum Anda menekan tombol "Simpan halaman". -->
[[Pengguna:Ika Faturochman|Ika Faturochman]] ([[Pembicaraan Pengguna:Ika Faturochman|bicara]]) 28 Februari 2023 07.29 (UTC)
 
== Ramuan Mujarab ==
 
<!-- Mulailah mengetik di bawah tanda ini. Silakan hapus baris komentar ini sebelum Anda menekan tombol "Simpan halaman". -->
 
PROYEK YUWANA LOMBA CERPEN ANAK TEMA LITERASI SAINS
'''Ramuan Mujarab''''''Teks tebal'''
Oleh: Yudadi Bm Tri Nugraheny
 
Musim pancaroba tiba. Musim peralihan yang kadang membuat badan tetiba menjadi tidak enak. Bisa juga menjadi gampang sakit. Atika selalu ingat pesan ibu agar minum air putih yang banyak. Tidak mengherankan jika ia membawa sebotol besar air putih setiap sekolah. Botol yang selalu ibu siapkan sebelum berangkat sekolah. Ia malas untuk menyiapkannya sendiri. Tidak jarang botolnya masih kotor karena ia tidak mencucinya. Kadang masih di dalam tas. Atika malas mengeluarkannya dari dalam tas. Padahal tiap hari ibu selalu mengingatkannya. Ujung-ujungnya, ibu yang mengambil, membersihkan, dan menyiapkan botol minumnya. Atika memang kurang peduli. Padahal maksud ibu baik, agar ia belajar mempersiapkan perlengkapan sekolahmya. Toh, ia yakin ibu pasti menyiapkannya.
Tidak hanya soal botol minum. Keperluan sekolah pun demikian. Atika jarang mengembalikan peralatan sekolah ke tempatnya. Tidak jarang alat-alat tulisnya berserakan. Pensil, bolpoin, penghapus, rautan, dan lainnya tercecer dari tempat pensilnya. Sudah seringkali pula ibu mengingatkannya, tapi Atika tetap saja membandel. Giliran ia mencari, pasti ada kehebohan yang terjadi. Atika pun mengomel tidak karuan. Belum lagi soal kaos kaki yang hilang sebelah. Buku yang berceceran dan lain-lain. Atika memang kurang disiplin.
Tapi tidak untuk hari ini. Atika tidak menjumpai ibu ketika ia pulang sekolah. Rumah dalam keadaan sepi ketika ia pulang sekolah. Biasanya ibu dan Soni adiknya menyambut ketika ia pulang. Hanya ada Mbak Nam. Mbak Nam bilang kalau ibu disusul oleh Tante Hana. Tante Hana adalah adik ibunya. Ia tinggal bersama nenek Atika.
“Ke mana ibu, Mbak?” tanya Tika. Seperti biasanya, sepulang sekolah ia segera melepaskan sepatunya. Kaos kaki ia lemparkan ke bawah meja. Tas ia hempaskan di kursi. Ia tidak mengeluarkan botol minumnya.
Mbak Nah sudah hapal dengan kebiasaan Atika. “Cuci kaki dan ganti baju dulu, Neng Atika. Tadi ibu berpesam demikian.”
“Iya, iya.” Atika menuju kulkas. Ia haus sekali. Walau tadi sudah minum sebotol besar air putih, tapi segelas es teh yang selalu ibu sediakan di kulkas selalu menarik perhatiannya.
“Lho, es tehku mana Mbak? Ibu nggak buatin ya? Apa ini?” Atika mengangkat sebuah botol.
Mbak Nam memberi penjelasan. “Tadi Tante Hana mampir ke sini. Nenek jatuh dan kakinya terkilir. Tante mau berangkat kuliah, jadi ibu menggantikannya menemani nenek,” jawab Mbak Nam. Rumah Atika tidak begitu jauh dari rumah nenek. Hanya sekitar 15 menit kalau naik motor. Setiap minggu Atika pasti ke sana bersama ayah, ibu, dan adiknya.
“Kenapa nggak nenek yang diajak ke sini?” tanya Atika.
“Wah, Mbak kurang tahu ya,” kata Mbak Nam. “O iya, tadi Tante Hana membawakanmu es beras kencur.”
“Wah, ini es beras kencur? Segarnya,” Atika membayangkan segarnya minuman beras kencur itu. Ia pergi ke dapur untuk mengambil gelas. Namun, kembali Mbak Nam mengingatkannya untuk mencuci kaki dan tangan. Anak kelas 5 itu sebal sekali. Dengan terpaksa ia menuruti kemauan Mbak Nam.
“Nah, begitu kan cakep. Sudah cantik dan bersih. Jangan lupa botol airnya dikeluarkan,” kata Mbak Nam. Atika merengut. Dengan agak terpaksa ia melakukannya. Juga dengan sepatu dan kaos kakinya. “Kalau setiap hari Neng Tika lakukan, pasti akan menjadi kebiasaan yang baik dan bermanfaat.” Atika mengangguk.
Seteguk demi seteguk beras kencur dingin melewati kerongkongannya. “Masak apa, Mbak? Aku lapar,” kata Atika.
“Ibu membuat sop ikan sebelum berangkat ke rumah nenek,” jawab Mbak Nam.
Mata Atika berbinar. Sop ikan buatan ibu sangat lezat. Ia bergegas menuju ruang makan untuk makan siang. Atika mengambil potongan ikan dalam panci. Tidak sabar ia menyantap hidangan kesukaannya itu. Hal kurang baik yang selalu dilakukan Atika adalah makan sambil bermain ponsel. Ia menyuapkan sop ke dalam mulutnya. Matanya terarah ke benda kotak itu. Tetiba terdengar ia berseru.
Mbak Nam tergopoh mendekatinya. “Ada apa, Neng?” tanyanya kaget. Ia tidak ingin momongannya itu kenapa-kenapa.
“Ini apa, Mbak?” Rupanya Atika mengunyah sesuatu benda yang bukan daging ikan. Ia memperlihatkan sebuah benda kecoklatan di tangannya.
Mbak Nam tertawa terkikik. “Itu empon-empon, Neng. Bumbunya.”
“Hah? Kenapa bisa di dalam sop?” tanya Atika.
“Lha kalau nggak pakai bumbu itu ya nggak enak. Amis. Itu namanya lengkuas,” kata Mbak Nah. “Kan memang bumbunya ada lengkuasnya. Ada pula empon-empon lainnya. Jahe misalnya. Tadi juga ada serai, yang seperti rumput agak kaku dan daun salam.”
“Empon-empon? Apa itu?” tanya Atika bingung. “Serai dan salam? Aku tahu itu. Tapi nggak ada kok di dalam sop.” Atika membantah.
“Iya, Serai dan salamnya sudah Mbak Nam ambil. Tapi lengkuas dan jahenya tadi tidak ketemu. Jadi kemakan deh sama Neng Tika,” kata Mbak Nam terkikik.
“Ih.. Mbak Nam nge-prank,” kata Atika manyun. “Kirain daging ikan eh ternyata lengkuas.”
“Makanya, kalau makan jangan sambil main ponsel,” kata asisten rumah tangga keluarga Atika itu. “Tidak baik untuk kesehatan mata dan mulut.” Mbak Nam memang suka bercanda. “Karena tidak memperhatikan apa yang dimakan, eh lengkuas dikunyah.”
“Iya, iya. Lama-lama kayak ibu deh. Apa-apa dikomentari. O, iya, apa tadi empon-empon, Mbak?” tanya Atika. “Rimpang ya?”
“Rimpang? Apa ya. Setahuku, empon-empon itu ya kayak jahe, kencur, lengkuas, kunyit, dan temulawak. Ibu kan nanam juga di samping rumah. Ini semua panenan ibu,” jelas Mbak Nam. “Di tempat nenek lebih banyak lagi tanamannya.”
“Memang ada ya?” Atika meringis. Ia memang tidak memperhatikan tanaman ibu. “Nanti deh aku lihat. Di lahan samping kamarku, kan?” Mbak Nam menggangguk.
Atika penasaran dengan apa yang dikatakan Mbak Nam. Setelah makan ia keluar menuju tempat ibu menanam empon-empon. Tidak lupa ia membawa buku pelajaran. Ia ingin membuktikan kalau empon-empon itu adalah rimpang seperti yang baru saja diterangkan oleh gurunya. Setiba di tempat yang dimaksud, ia tidak menemukan apapun. Bahkan tanaman yang dimaksud Mbak Nam juga tidak ada. Yang ada hanya tanaman yang kering dan sepertinya hampir mati. Padahal di buku terlihat tanaman jahe, kencur, dan kunyit tumbuh tegak, dan nyata daunnya.
“Mbak Nam,” teriak Atika.
“Ya, Neng. Sebentar,” jawab Mbak Nam.
“Mana tanaman empon-empon ibu? Katanya ditanam di sini,” kata Atika.
Mbak Nam tersenyum. “Dikorek saja, Neng, itu empon-emponnya sembunyi. Ada di dalam tanah maksudnya,” katanya.
Atika mengambil ranting dan mengorek tanah. “Tidak ada.”
“Jangan begitu atuh, kais di bawah pohonnya yang kayak mati itu,” kata Mbak Nam. Ia mencontohkan cara menemukan empon-empon.
“Ini apa?” tanya Atika.
Mbak Nam mencium empon-empon yang disodorkan Atika. “Ini jahe.”
“Kok tahu?” tanya Atika.
“Dari baunya dong. Bentuknya juga lain dari empon-empon lainnya,” jawab Mbak Nam. “Ini kencur. Bentuknya kecil. Coba cium aromanya.” Mbak Nam menyorongkan kencur ke hidung Atika.
Atik tertarik. Ia semakin yakin kalau empon-empon yang dimaksud adalah tanaman berimpang. Di buku ternyata disebutkan macam-macam rimpang, ada jahe, kencur, lengkuas, kunyit, dan lain-lain. “Mbak, benar kan dugaanku. Empon-empon itu adalah rimpang. Aku mendapatkannya dari sini.” Tika menunjuk buku yang dibawanya.
“Rimpang?” tanya Mbak Nam. Atika mengangguk. “Rimpang atau empon-empon banyak gunanya lho. Selain untuk bumbu dalam masakan, juga bisa dibuat ramuan mujarab yang menyehatkan.”
“Ramuan? Maksudnya?” Tika heran.
“Ingat waktu Neng Tika sakit perut waktu datang bulan kemarin?” tanya Mbak Nam.
“Iya. Ibu memberiku minuman berwarna kuning. Kunyit asam atau apa itu namanya,” kata Atika.
“Betul. Kunyit asam membantu meredakan nyeri perut sewaktu datang bulan. Itu salah satu ramuan mujarab warisan nenek moyang kita. Beras kencur juga. Selain rasanya segar, kencur juga bisa digunakan untuk mengatasi suara serak,” tambah Mbak Nam.
“Idih. Mbak Nam pintar deh. Saya suka. Saya suka,” canda Atika menirukan suara Mei-Mei di serial Upin Ipin.
“O, iya neng Tika. Itu empon-empon menghilang ketika musim kemarau. Tapi kalau sudah kena hujan, dia bisa tumbuh lagi. Kayak siluman saja,” kata Mbak Nam.
“Itu namanya dormansi, Mbak,” kata Tika. “Aku juga baru tahu dari buku ini,” kata Tika.
“Apa Neng? Dominasi?” tanya Mbak Nam.
“Bukan, Mbak Nam. Dormansi. Aku bacakan ya. Dormansi adalah keadaan berhenti tumbuh ketika lingkungan tidak mendukung untuk untuk tumbuh dan berkembang. Jadi kelihatannya tidak ada kehidupan. Seperti rimpang tadi. Ketika musim kemarau dia tidak tumbuh dan berkembang. Tapi ketika musim hujan dan lingkungan mendukung, dia muncul lagi,” jelas Atika.
“Wah, Neng Tika pintar,” puji Mbak Nam. “Saya dulu kepingin sekolah tinggi seperti Neng Tika tapi apa daya cuma anak buruh tani. Tidak bisa sekolah tinggi.”
“Tidak apa-apa. Nyatanya Mbak Nam juga pintar kok,” puji Atika. “Pintar masak, pintar momong, pintar bikin ramuan mujarab, dan lain-lain.” Mbak Nam tersipu.
“O, iya, ada satu ramuan ajaib lainnya, Neng. Ramuan yang membuat tubuh kita sehat karena imunitas meningkat,” kata Mbak Nam.
“Apa itu Mbak?” tanya Atika.
“Ramuan yang sering Mbak bikin. Namanya ramuan 131.” Mbak Nam memperjelas ucapanya. “Ramuan satu tiga satu.”
“Oh, yang lengkuas, jahe, dan serai itu ya,” kata Atika.
“Iya. Satu ruas jahe, tiga batang serai, dan satu ruas lengkuas.” Ramuan 131 memang menjadi konsumsi harian keluarga Atika. Rebusan empon-empon dan herba yang bermanfaat bagi tubuh.
“Wah, ternyata banyak juga ramuan mujarab yang bisa dibuat dari empon-empon ya, Mbak,” kata Tika.
“Iya. Tanah kita memang subur sekali. Jadi ingat lagu kenangan karya Koes Plus. Tongkat dan kayu jadi tanaman.” Mbak Nam memang tidak muda lagi. Beliau berdendang lagu itu. Atika terkikik.
Tanpa disadari ada orang lain yang menyimak obrolan mereka. Suara tepuk tangan bergema begitu Mbak Nam selesai bernyanyi. Rupanya ibu sudah pulang. Soni tertidur di gendongan ibu. Atika berlari memeluk ibunya. Ia merasa sedih sewaktu ibunya pergi.
“Nah, begitu dong. Jangan hanya saat ibu pergi kamu mau tertib,” kata ibu. Sebelum menemui Atika, beliau masuk ke kamar putrinya. Atika memang sudah mengembalikan barang-barang pada tempatnya. Kamarnya pun rapi. Seragam dan sepatu juga kaos kaki ada pada tempatnya masing-masing. Atika tersipu. Ia berjanji akan tertib dan patuh pada orang tuanya.
“Bu, aku punya guru baru hari ini,” kata Atika. Sambil tersenyum ia menunjuk ke arah Mbok Nam. Mbak Nam tersenyum.
“Terima kasih, Mbak Nam. Atika belajar langsung pada pakarnya tentang ramuan mujarab,” kata ibu. “Satu lagi. Ibu acungi jempol atas ketertiban yang dilakukan Atika hari ini. Selamat.” Atiak meringis. Mbak Nam tersipu malu.
 
 
 
 
 
 
<!-- Jangan hapus 4 tanda tilda di bawah, itu adalah tanda tangan Anda. Tidak usah membubuhkan apa pun lagi di bawah. Silakan hapus baris komentar ini sebelum Anda menekan tombol "Simpan halaman". -->
[[Pengguna:Yudadi BM Tri Nugraheny|Yudadi BM Tri Nugraheny]] ([[Pembicaraan Pengguna:Yudadi BM Tri Nugraheny|bicara]]) 28 Februari 2023 10.45 (UTC)