Diponegoro: Perbedaan antara revisi
Konten dihapus Konten ditambahkan
Kampuskuis (bicara | kontrib) |
→Sumpah Atirata dan Para panglima Diponegoro: Menambahkan tritunggal Sumpah Atirata; peran Pakubuwana VI dan Tumenggung Prawiradigdaya Gagatan. Menambahkan informasi minor pada Kiayi Maja. Memperbaiki ejaan "a nglegena" dan EYD. |
||
Baris 79:
Medan pertempuran Perang Diponegoro mencakup Yogyakarta, Kedu, Bagelen, Surakarta, dan beberapa daerah seperti Banyumas, Wonosobo, Banjarnegara, Weleri, Pekalongan, Tegal, Semarang, Demak, Kudus, Purwodadi, Parakan, Magelang, Madiun, Pacitan, Kediri, Bojonegoro, Tuban, dan Surabaya.<ref name=":12" />
=== Sumpah Ati Rata ===
Sebelum dimulainya perang, Pangeran Dipanegara mendapatkan dukungan dari Sunan [[Pakubuwana VI]] (PB VI)/ [[Pakubuwana VI|R.M. Saparan]], dan dibantu oleh [[Prawiradigdaya|Tumenggung Prawiradigdaya]]/ [[Prawiradigdaya|R.M. Panji Yudha Prawira]] bupati Gagatan saat itu. Tanggal 23 Mei 1823, Pangeran Dipanegara menggalang kekuatan dengan para alim ulama dan tokoh-tokoh yang berpengaruh di wilayah Mataram. Orang pertama yang dikunjungi adalah Kiai Abdani dan Kiai Anom di [[Bayat, Klaten|Bayat]], [[Kabupaten Klaten|Klaten]], selanjutnya bersama Pangeran Mangkubumi menemui Kiai Maja, kiai kepercayaan Pakubuwana IV. Kemudian dengan diantar Kiai Maja, Pangeran Dipanegara menemui Tumenggung Prawiradigdaya di Gagatan. Tumenggung Gagatan adalah kepercayaan Susuhunan Pakubuwono VI. Pada tahun 1824, atas saran Kiai Maja dan Tumenggung Prawiradigdaya, Pangeran Dipanegara menemui Susuhunan Pakubuwana VI. Ternyata Raja Surakarta ini, sangat mendukung perjuangan pamannya. Ia tidak hanya memberi dukungan dalam bentuk dana perang, tapi juga pasukan-pasukan Keraton dan para Senopati terpilih disediakan. <ref>{{Cite web|last=Al Latif|first=Ibnu Khan|date=2010-04-22|title=Ibnu Khan al Latif: Menelusuri KRT. Prawirodigdoyo (I)|url=http://ibnukhan.blogspot.com/2010/04/menelusuri-krt-prawirodigdoyo-i.html|website=Ibnu Khan al Latif|access-date=2023-03-02}}</ref> Dukungan tersebut dideklarasikan dalam [https://www.solopos.com/siasat-perang-jawa-lahir-dari-sumpah-ati-roto-begini-cerita-sejarahnya-1228016 Sumpah Ati Rata] (Sumpah Hati Rata) pada Rabu Wage 17 Pasa 1239 H/ 1752 J (5 Mei 1825), bertempat di tempat yang saat ini masuk ke Dk. Gagatan ([[Ketoyan, Wonosegoro, Boyolali|Ketoyan]], [[Wonosegoro, Boyolali|Wonosegoro]], [[Kabupaten Boyolali|Boyolali]]). Ketiganya adalah tokoh penting (tritunggal) di balik siasat [[Perang Diponegoro|Perang Dipanegara]]. Tempat dilakukannya Sumpah Atirata ini saat ini dinamakan Pesanggrahan Dinrah. Isi Sumpah Atirata adalah: Ha. Setya Bekti Ing Gusti Hangayomi Sapadanig Urip Rila Lega Ing Pati. Na. Hamikukuhi Tan Kena Hamabuang Tilas Tan Gawe Wisuna. Ca. Tan Ngowahi Naluri Tanah Jawa Dadi Raharja. <ref>{{Cite web|last=Purnama Aji|first=Ardhiatama|date=2019-04-14|title=Sejarah Lisan Meletusnya Perang Diponegoro di Boyolali|url=https://kalamkopi.wordpress.com/2019/04/15/meletusnya-perang-diponegoro-di-boyolali-dalam-sejarah-lisan/|website=Kalamkopi|language=id|access-date=2023-03-02}}</ref>
==== Dukungan Sunan Pakubuwana VI ====
{{Main article|Pakubuwana VI}}
Perjuangan Pangeran Dipanegara juga didukung oleh [[Pakubuwana VI|Sunan Pakubuwana VI]] (PB VI) dan Sunan Pakubuwana VI mendukung peperangan dengan menyediakan logistik dan persenjataan, yang diserahkan dengan menyamar sedang bepergian untuk bertapa di berbagai tempat (sehingga dikenal sebagai Pangeran Bangun Tapa), di antaranya di [[Gua Raja, Selo|Gua Raja]] di lereng atas [[Gunung Merbabu]] yang masuk wilayah [[Selo, Boyolali|Sela]] (Sesela, ) dan di [[Alas Krendhawahana]]. Pertemuan-pertemuan rahasia tersebut untuk membicarakan situasi terkini sekaligus membahas strategi perlawanan terhadap Belanda. <ref>{{Cite web|last=Handayani|first=Maulida Sri|title=Peran Ganda Raja Surakarta Berujung Petaka|url=https://tirto.id/peran-ganda-raja-surakarta-berujung-petaka-crZU|website=tirto.id|language=id|access-date=2023-03-02}}</ref> Usai ditangkap dan diasingkannya Pangeran Dipanegara, Belanda menangkap [[Mas Pajangswara]] juru tulis keraton yang juga orang kepercayaan Pakubawana VI (ayahanda pujangga kenamaan [[Ranggawarsita]]), yang kemudian disiksa dan dibunuh karena tidak mau mengaku rahasia keterlibatan Pakubuwana VI dengan Pangeran Dipanegara. Meski tidak mengakui, Belanda memfitnah bahwa Mas Pajangswara membongkar rahasia tersebut, dan dijadikan alasan untuk menangkap Pakubuwana VI yang kemudian dibuang ke [[Pulau Ambon|Ambon]] pada 8 Juni 1830 dan wafat pada 2 Juni 1849. <ref>{{Cite book|last=Purwadi|date=2001|url=https://books.google.co.id/books/about/Babad_Tanah_Jawi.html|title=Babad Tanah Jawi: Menelusuri Jejak Konflik|pages=85|url-status=live}}</ref>
==== Tumenggung Prawiradigdaya ====
{{Main article|Prawiradigdaya}}
[[Tumenggung Prawiradigdaya]], dengan nama kecil Yudha Prawira (Yudo Prawiro), adalah cucu [[Ngabehi Prawirasakti]] (Adimenggala) dari [[Kadipaten Gagatan]] (saat ini masuk di wilayah [[Wonosegoro, Boyolali|Kecamatan Wonosegoro]], [[Kabupaten Boyolali|Boyolali]], [[Jawa Tengah]]), putra [[Raden Surataruna III]]. Ibunya, Raden Ayu Surataruna adalah putri [[Adipati Natakusuma]] (Pangeran Juru), patih kerajaan [[Kesunanan Surakarta Hadiningrat|Surakarta]] yang dibuang Belanda ke [[Sri Lanka|Ceylon]]. Sejak kecil Yudha diasuh oleh kakeknya, yakni [[Ngabehi Prawirasakti]]. Setelah berusia tiga belas tahun dia dikirim ke pondok pesantren Petingan di utara Yogyakarta, menjadi murid [[Syekh Kaliko Jipang]] (Syeh Kholik dari Jipang, Penghulu Besar Kraton). Ngabehi Prawirasakti dan Syekh Kalika merupakan orang kepercayaan [[Hamengkubuwana I|Pangeran Mangkubumi]]. Di pondok pesantren ini, bertemu dengan Raden Mas Antawirya (Pangeran Dipanegara) yang saat itu berumur delapan tahun (ketika Syekh Kalika meninggal tahun 1798, Antawirya dikirim ke pondok pesantren Mlangi asuhan [[Kiyai Taptajani]]). Sebagai saudara seperguruan, Antawirya lebih menguasai ilmu kepemimpinan, ilmu hukum, tarikh Islam dan filsafat, sedangkan Yudha menguasai pengetahuan Islam dan puncak ilmu kesaktian, yang kemudian menjadi tambahan bekalnya saat menjadi bupati pamajegan (wilayah tanah raja yang menghasilkan pajak) di Gagatan bergelar [[Prawiradigdaya|R.T. Prawiradigdaya]]. <ref>{{Cite journal|last=Supriyo|first=Priyanto|date=2010-11-11|title=PANGERAN DIPONEGORO : Sebagai Seorang Bangsawan Jawa, Arsitek dan Sastrawan|url=http://eprints.undip.ac.id/23916/|journal=Pangran Diponegoro}}</ref><ref>{{Cite journal|last=Singgih Tri Sulistiyono|first=Singgih|date=2018-02-14|title=MENGGALI NILAI-NILAI PERJUANGAN PANGERAN DIPANEGARA|url=http://eprints.undip.ac.id/61214/|location=BINTALDAM IV DIPONEGORO}}</ref> Pada masa [[Pakubuwana VI]] berkuasa, wilayah Gagatan meliputi Karanggede, Klego, Wonosegoro, hingga Juwangi. Menjelang [[Perang Diponegoro|Perang Jawa]], [[Prawiradigdaya|Tumenggung Prawiradigdaya]] mempersiapkan pertemuan Pangeran Dipanegara bersama Pakubuwana VI melakukan [https://www.solopos.com/siasat-perang-jawa-lahir-dari-sumpah-ati-roto-begini-cerita-sejarahnya-1228016 Sumpah Ati Rata]. Dalam Perang Jawa, Tumenggung Prawiradigdaya gugur dalam peperangan, dan dimakamkan di tempat pemakaman gurunya, Syekh Kalika, di Blunyah Gedhe di utara Yogyakarta. <ref>{{Cite book|last=Adinoto|first=Suwarno|date=1986|title=Menyingkap Kepahlawanan T. Prawirodigdoyo: Sawung Gagatan|location=Jakarta|publisher=Pamong Perwakilan Paguyuban Trah Gagatan Jakarta|pages=12-14|url-status=live}}</ref>
=== Para panglima Diponegoro ===
Beberapa tokoh karismatik yang turut bergabung dengan Pangeran Diponegoro adalah [[Kiai Madja]], [[Pakubuwana VI]], dan Raden Tumenggung Prawiradigdaya.<ref name=":3" /> Pangeran Diponegoro juga dibantu oleh putranya bernama Bagus Singlon atau Ki Sodewa. Ki Sodewa melakukan peperangan di wilayah [[Kulonprogo]] dan Bagelen. Selain itu, ada beberapa ulama pendukung, yakni Kiai Imam Rafi'l (Bagelen), Kiai Imam Nawawi (Ngluning Purwokerto), Kiai Hasan Basori (Banyumas), dan kiai-kiai lainnya.<ref name=":12" />
==== Kiai
{{Main article|Kiai Madja}}
[[Kiai Madja|Kiyai Maja IV]] (Kiayi Mojo) memiliki nama kecil Muslim Mochamad Khalifah, merupakan buyut [[Kiyai Mojo I]]/ [[Kiayi Maja I|RT Citrosoma]] (1788-1820), cucu [[Kiayi Mojo II]], [[Kyai Baderan I|putra Kiayi Mojo III]]. <ref>{{Cite web|last=iMNews|date=2023-02-20|title=Kyai Mojo (IV), Ulama Mataram Surakarta yang Baru Terlacak "Jati-Dirinya"|url=https://imnews.id/2023/02/20/kyai-mojo-iv-ulama-mataram-surakarta-yang-baru-terlacak-jati-dirinya/|website=Istana Mataram News|language=en-US|access-date=2023-03-02}}</ref> [[Kiayi Baderan i|Kiayi Maja III]] yang dikenal sebagai [[Kyai Baderan I]] memiliki nama [[Kyai Baderan I|Iman Abdul Arif]]/ [[Kyai Baderan I|Ngabdul Ngarep]] mendapat anugerah wilayah Maja (Dk. Mojowetan, Desa [[Tegalrejo, Sawit, Boyolali|Tegalrejo]], Kecamatan [[Sawit, Boyolali|Sawit]], [[Kabupaten Boyolali|Boyolali]]) dan Baderan (saat ini masuk wilayah [[Sidowayah, Polanharjo, Klaten|Sidowayah]], [[Polanharjo, Klaten|Polanharjo]], [[Kabupaten Klaten|Klaten]]) yang saat itu masuk wilayah Pajang, bagian dari [[Kesunanan Surakarta Hadiningrat|Kasunanan Surakarta]]. sebagai tanah perdikan dari [[Pakubuwana IV]]. [[Kiai Madja|Muslim Mochammad Khalifah]] yang kelahiran Maja meneruskan tugas ayahnya sebagai guru agama di pondok pesantren Maja, dan banyak putra dan putri dari Kraton [[Kesunanan Surakarta Hadiningrat|Surakarta]] belajar di pesantrennya. Di kemudian hari, beliau terkenal sebagai [[Kiai Madja|Kiayi Maja IV]]. <ref>{{Cite web|last=Jaton|first=Diposting oleh Tou|title=Selamat datang Di Halaman Kyai Modjo|url=http://kiaimojo.blogspot.com/|access-date=2023-03-02}}</ref> Ibu Kiai Maja, yakni [[R.A Mursilah]], adalah saudara perempuan Sultan [[Hamengkubuwana III]].<ref>{{Cite book|url=https://www.worldcat.org/oclc/302187891|title=Dakwah dinasti Mataram dalam Perang Diponegoro, Kyai Mojo & Perang Sabil Sentot Ali Basah|last=Heru.|first=Basuki,|date=2007|publisher=Samodra Ilmu|isbn=9786028014014|edition=Cet. 1|location=Yogyakarta|oclc=302187891}}</ref> Jalinan persaudaraan dirinya dengan Pangeran Dipanegara kian erat setelah Kiai Maja menikah dengan janda Pangeran Mangkubumi yang merupakan paman dari Dipanegara. Tak heran, Dipanegara memanggil Kiai Maja dengan sebutan "paman", meski relasi keduanya adalah saudara sepupu.<ref>{{Cite book|last=1947-|first=Babcock, Tim G.,|date=1989|url=https://www.worldcat.org/oclc/21212549|title=Kampung Jawa Tondano : religion and cultural identity|location=Yogyakarta, Indonesia|publisher=Gadjah Mada University Press|isbn=9789794201206|oclc=21212549}}</ref>
▲Perjuangan Pangeran Diponegoro juga didukung oleh Sunan Pakubuwono VI dan Raden Tumenggung Prawira Digdoyo Bupati Gagatan [[Raden Tumenggung Prawiradigdoyo Bupati Gagatan|Raden Tumenggung Prawiradigdoyo Bupati Gagatan adalah Bupati saat itu di wilayah Gagatan, yang saat ini setelah kemerdekaan NKRI masuk di wilayah Kecamaan Wonosegoro, Kabupaten Boyolali, Provinsi Jawa Tengah.]]adalah Bupati saat itu di wilayah Gagatan, yang saat ini setelah kemerdekaan NKRI masuk di wilayah Kecamaan Wonosegoro, Kabupaten Boyolali, Provinsi Jawa Tengah. Meski demikian, pengaruh dukungan Kiai Madja terhadap perjuangan Diponegoro begitu kuat karena ia memiliki banyak pengikut dari berbagai lapisan masyarakat. Kiai Madja yang dikenal sebagai ulama penegak ajaran Islam ini bercita-cita, tanah Jawa dipimpin oleh pemimpin yang mendasarkan hukumnya pada syariat Islam. Semangat memerangi Belanda yang merupakan musuh Islam dijadikan taktik Perang Suci. Oleh sebab itu, kekuatan Diponegoro kian mendapat dukungan terutama dari tokoh-tokoh agama yang berafiliasi dengan Kiai Madja.<ref>{{Cite book|url=https://www.worldcat.org/oclc/883389465|title=Takdir : riwayat Pangeran Diponogoro, 1785-1855|last=R.,|first=Carey, P. B.|last2=Bambang,|first2=Murtianto,|last3=Gramedia|first3=PT|isbn=9789797097998|location=Jakarta|oclc=883389465}}</ref> Menurut [[Peter Carey (sejarawan)|Peter Carey]] (2016) dalam ''Takdir: Riwayat Pangeran Diponegoro 1785-1855'' disebutkan bahwa sebanyak 112 kiai, 31 haji, serta 15 syekh dan puluhan penghulu berhasil diajak bergabung.<ref>{{Cite web|url=https://tirto.id/pecah-kongsi-pangeran-diponegoro-dan-kyai-mojo-cwyp|title=Pecah Kongsi Pangeran Diponegoro dan Kyai Mojo|last=Raditya|first=Iswara N.|website=tirto.id|language=id|access-date=2020-03-22}}</ref>
Pada tanggal 12 November 1828, Kyai Maja dan para pengikutnya disergap di daerah Mlangi, [[Kabupaten Sleman|Sleman]], dekat Sungai [[Sungai Bedog|Bedog]], kemudian dibawa ke [[Kota Salatiga|Salatiga]]. Dalam penahanannya, Kiai Maja meminta agar para pengikutnya dibebaskan dan menerima apapun keputusan Belanda terhadap dirinya. Belanda mengabulkan permintaan tersebut dan hanya menyisakan Kiai Maja beserta orang-orang dekatnya dan beberapa tokoh berpengaruh, sementara sebagian besar pengikutnya dilepaskan.<ref name=":16" /> Tanggal 17 November 1828, Kyai Mojo beserta orang-orang yang masih menyertainya dikirim ke [[Batavia]] dan diputuskan akan diasingkan ke [[Kampung Jawa, Tondano Utara, Minahasa|Tondano]], [[Minahasa]], [[Sulawesi Utara]].<ref name=":16" /><ref name=":19" /> Di tanah pembuangan, Kyai Maja terus berdakwah hingga wafat pada 20 Desember [[1849]] di usianya yang ke 57 tahun. Perang Jawa sendiri berakhir dua tahun setelah tidak adanya kubu Kiai Maja dari pasukan Dipanegara.<ref name=":16" />[[Berkas:DiponegoroLeiden.jpg|jmpl|Diponegoro, c.1830.]]
==== Sentot Prawirodirdjo ====
Baris 106 ⟶ 120:
==== Kerta Pengalasan ====
[[Kerto Pengalasan|Kerta Pengalasan]], lahir tahun 1795 dan wafat sekitar tahun 1866, adalah salah satu senopati Pangeran Diponegoro. Dia dipercaya oleh Pangeran Diponegoro untuk memperkuat sistem pertahanan pusat negara di Plered.<ref name=":17"/> Sebelum perang, Kerta Pengalasan adalah kepala desa di Desa Tanjung, Nanggulan, [[Kabupaten Kulon Progo|Kulon Progo]]. Dia diperintah oleh Pangeran Blitar I, salah satu putra Sultan Hamengkubuwono I untuk mendukung Pangeran Diponegoro.<ref name=":02">{{Cite book|title=Judul: Sisi Lain Diponegoro – Babat Kedung Kedo dan Historiografi Perang Jawa|last=Carey|first=Peter|publisher=Kepustakaan Populer Gramedia|year=2017|isbn=978-602-424-680-8|location=|pages=}}</ref>
=== Para pendamping ===
|