Arsitektur Minangkabau: Perbedaan antara revisi
Konten dihapus Konten ditambahkan
Rahmatdenas (bicara | kontrib) |
Rahmatdenas (bicara | kontrib) |
||
Baris 60:
[[Berkas:Pagaruyung.jpg|jmpl|260x260px|[[Istano Basa|Istana Pagaruyung]] sebelum terbakar pada 2007. Penggunaan material kayu yang dominan menjadikan bangunan tradisional Minangkabau rawan terbakar.|al=|kiri]]
[[Berkas:Tiang Masjid Lima Kaum.jpg|al=|kiri|jmpl|260x260px|Deretan tiang [[Masjid Raya Lima Kaum]]. Tiang-tiang yang terbuat dari [[Johar|kayu johar]] masih asli dari sejak didirikan]]
Kebanyakan material yang digunakan pada bagunan tradisional Minangkabau adalah kayu. Secara tradisional, pengambilan bahan-bahan bangunan dilakukan di hutan atau di ladang yang
Sementara itu, atap bangunan yang berbentuk gonjong menggunakan material yang mudah dilengkungkan seperti bambu untuk nok dan reng-reng atap. Penutup atap berupa ijuk, yakni serat kasar warna hitam yang berasal dari batang [[Aren|pohon aren]]. Ijuk disusun menggunakan teknik ikatan, yakni diikatkan dengan tali rotan pada reng-reng bambu.{{sfn|Esti Asih Nurdiah|2011|pp=50}} Atap ijuk terbukti dapat bertahan selama puluhan tahun selama mendapatkan pemeliharaan yang tepat. Selain ijuk, terkadang penutup atap menggunakan rumput sejenis [[alang-alang]]. Namun, saat ini penggunaan material tradisional sudah tergantikan dengan seng. Hal ini dikarenakan material tradisional membutuhkan waktu lama dalam proses pembuatannya dan semakin sedikit orang yang mampu merakitnya.{{sfn|Gemala Dewi|2010|pp=89–90}} Di satu sisi, pemakaian seng memiliki kelebihan di antaranya lebih murah, mudah secara teknis pelaksanaan, efisiensi waktu pengerjaan, dan pengaliran air hujan yang lebih baik sehingga menghindari kebocoran, walaupun memiliki kelemahan yakni mudah berkarat, menyerap panas saat musim panas, menyimpan dingin saat musim hujan, dan menimbulkan suara bising saat terkena air hujan.{{sfn|Purwanita Setijanti, dkk|2012|pp=58}}
|