Lie Kim Hok: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
Warisan: Perbaikan terjemahan
Warisan: Perbaikan terjemahan
Baris 71:
Dari perspektif seorang [[Linguistik|linguis]], Kasijanto Sastrodinomo dari [[Universitas Indonesia]] mendeskripsikan ''Malajoe Batawi'' sebagai sebuah buku yang "luar biasa", karena merupakan buku teks berbahasa Melayu pertama yang ditulis oleh orang non-Melayu.{{sfn|Sastrodinomo 2009, Teringat akan Lie}} Ia juga menyatakan bahwa buku tersebut tidak menggunakan satupun istilah sastra yang diturunkan dari bahasa Inggris, yang biasanya banyak ditemukan di buku teks Indonesia pada abad ke-20.{{sfn|Sastrodinomo 2009, Teringat akan Lie}} Linguis Waruno Mahdi menulis bahwa ''Malajoe Batawi'' karya Lie adalah "tulisan Tionghoa Melayu paling luar biasa" dari sudut pandang seorang linguis.{{sfn|Mahdi|2006|p=95}} Dalam disertasi doktoralnya, Benitez berpendapat bahwa Lie mungkin berharap agar bahasa Melayu dapat menjadi ''[[lingua franca]]'' di Hindia Belanda.{{sfn|Benitez|2004|p=261}} Dalam sejarah sastra Tionghoa Melayu karyanya, [[Nio Joe Lan]] mendapati bahwa Lie, yang dipengaruhi oleh pendidikan misionarisnya, berusaha untuk mempertahankan penggunaan bahasa yang teratur, karena perhatian terhadap tata bahasa saat itu masih sangat jarang.{{sfn|Nio|1962|p=16}} Nio pun mendeskripsikan Lie sebagai "satu-satunya penulis peranakan Tionghoa kontemporer yang pernah mempelajari tata bahasa Melayu secara metodis" {{efn|Asli: "''penulis Tionghoa-Peranakan satu<sup>2</sup>nja pada zaman itu jang telah memperoleh peladjaran ilmu tata-bahasa Melaju setjara metodis.''"}}{{sfn|Nio|1962|p=28}} Adam menganggap karya-karya Lie telah meninggalkan "sebuah tanda yang abadi pada perkembangan bahasa Indonesia modern".{{sfn|Coppel|2013|p=352}}
 
[[Berkas:Poster siti akbari.jpg|jmpl|alt=Poster hitam-putih dengan pinggiran coklat; foto-foto menceritakan berbagai adegan dari sebuah film.|Salah satu lembaran ''[[Siti Akbari]]'' karya [[Wong bersaudara]], yang dikatakankonon berdasarkandidasarkan pada puisi karya Lie.]]
Adam berpendapat bahwa Lie paling diingat karenaatas kontribusinya pada [[sastra Indonesia]],{{sfn|Adam|1995|pp=64–66}} dengan terbitannyakaryanya diterima dengan baik oleh orang-orang sezamannyayang hidup pada saat itu. Tio menyatakanjuga menulis bahwa "Tua-muda membaca dengan mesra tulisan-tulisannya, yang dipuji gaya-bahasanya yang sederhana, berirama, jernih, hidup, segar dan kuat. Cermat dan tepat dipilihnya kata-kata, tertib dan rapi disusunnya kalimat-kalimat. ... Dikatakan orang, ia terlahir mendahului zaman. Ia diibaratkan sebuah bintang besar berkilau-kilauan, suatu kontras tajam terhadap bintang-bintang kecil yang muram diangkasa yang gelap-gulita."{{efn|Asli: "''Tua-muda membatja dengan mesra tulisan2nja, jang dipudji gaja-bahasanja jang sederhana, berirama, djernih, hidup, segar dan kuat. Tjermat dan tepat dipilihnja kata2, tertib dan rapi disusunnja kalimat2. ... Dikatakan orang, ia terlahir mendahului zaman. Ia diibaratkan sebuah bintang besar berkilau-kilauan, suatu kontras tadjam terhadap bintang2 ketjil jang muram diangkasa jang gelap-gelita.''."}}{{sfn|Tio|1958|pp=3–4}} Pujian secaralain berkelanjutanjuga dianugerahkandiberikan oleh orang-orang yang sezamanhidup lainnyapada saat itu, baik itudari etnis pribumi danmaupun etnis Tionghoa, seperti Ibrahim gelar Marah Soetan dan [[Agus Salim]].{{sfn|Setiono|2008|p=244}} KetikaSaat penulis beretnisetnis Tionghoa menjadi hal yang umum pada dekade 1900-an, kritikus pun menjuluki Lie sebagai "bapak sastra Tionghoa Melayu" karenaatas kontribusinya, meliputiseperti ''Siti Akbari'' anddan ''Tjhit Liap Seng''.{{sfn|Tio|1958|p=87}}
 
BeberapaSejumlah buku karya Lie, meliputiseperti ''Sair Tjerita Siti Akbari'', ''Kitab Edja'', ''Orang Prampoewan'', dan ''Sobat Anak-anak'', telah berkali-kali dicetak, meskipunberulang Tiokali. sudahTetapi Tio tidak tercatatmencatat adanya pencetakan ulang lagi setelah dekade 1920-an.{{sfn|Tio|1958|pp=84–86}} Pada tahun 2000., ''Kitab Edja'' dicetak ulang daridi volume perdana dari ''Kesastraan Melayu Tionghoa dan Kebangsaan Indonesia'', sebuah antologi sastra Tionghoa Melayu.{{sfn|Lie|2000|p=59}} ''Sair Tjerita Siti Akbari'', yang menurutnyaLie merupakananggap sebagai salah satu karya terbaik-nyaterbaiknya, yangpun diadaptasitelah padabeberapa dramakali panggungdiadaptasi selamamenjadi beberapadrama waktupanggung. Lie menggunakan versi sederhana dariuntuk sebuah kelompokrombongan aktor remaja, yang ternyata cukup sukses di Jawa Barat.{{sfn|Tio|1958|pp=42–43}} Pada tahun 1922, Shiong Tih Hui cabang [[Sukabumi]] Shiongmeluncurkan Tih Hui menampilkan adapatasiadaptasi panggung lainnyalain berjudul ''Pembalesan Siti Akbari'', yang kemudian ditampilkan oleh kelompokrombongan teater [[Miss Riboet]] pada tahun 1926.{{efn|Drama panggung tersebutini dicetak ulang oleh [[Yayasan Lontar]] pada tahun 2006 dengan menggunakan [[EYD|Ejaan Yang Disempurnakan]].}}<ref>{{harvnb|Lontar Foundation|2006|p=155}}; {{harvnb|De Indische Courant 1928, Untitled}}</ref> [[Wong bersaudara]] juga menyutradarai sebuah film yang berjudul ''[[Siti Akbari]]'', yang dibintangi oleh [[Roekiah]] dan [[Rd. Mochtar]]. Film buatan tahun 1940 tersebut dibuatkonon berdasarkandidasarkan pada puisi karya Lie, meskipuntetapi kebenarannya belum pengaruhnyadapat diragukandipastikan.<ref>{{harvnb|Filmindonesia.or.id, Siti Akbari}}; {{harvnb|Bataviaasch Nieuwsblad 1940, Cinema: Siti Akbari}}</ref>
 
Setelah muncul gerakan [[Kebangkitan Nasional Indonesia|nasionalis]] dan pemerintah kolonial Belanda memutuskan menggunakan [[Balai Pustaka]] untuk menerbitkan karya-karya sastra untuk bacaan kaum pribumi, karya-karya Lie mulai digabungkan. Pemerintah kolonial Belanda menggunakan [[bahasa Melayu|Melayu Halus]] sebagai bahasa administrasi, sebuah bahasa yang digunakan untuk sehari-hari dan diajarkan di sekolah-sekolah. Melayu Halus umumnya digunakan oleh para bangsawan di Sumatra, sementara Melayu pasaran dikembangkan sebagai [[Bahasa kreol]] untuk digunakan dalam dalam perdagangan yang biasanya dilakukan di kepulauan Barat; Melayu pasaran lebih umum dipakai oleh golongan kelas bawah. Nasionalis Indonesia memilih Melayu Halus untuk membantu pembangunan budaya nasional, mempromosikannya ke dalam surat kabar dan sastra. Sastra Tionghoa Melayu, yang ditulis dalam Melayu "rendah", kemudian digabungkan dan dianggap berkualitas rendah.{{sfnm|1a1=Benitez|1y=2004|1pp=15–16, 82–83|2a1=Sumardjo|2y=2004|2pp=44–45}} Tio, yang menulis pada tahun 1958, menemukan bahwa generasi muda tidak mempelajari tentang Lie dan karya-karyanya,{{sfn|Tio|1958|p=3}} dan empat tahun kemudian Nio menulis bahwa Melayu pasaran "telah beralih kedalam museum."{{sfn|Nio|1962|p=158}} Sejarawan sastra Monique Zaini-Lajoubert menyatakan bahwa tidak ada studi kritik dari ''Sair Tjerita Siti Akbari'' yang dilakukan antara 1939 dan 1994.{{sfn|Zaini-Lajoubert|1994|p=104}}