Agustinus dari Hippo: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
InternetArchiveBot (bicara | kontrib)
Rescuing 1 sources and tagging 0 as dead.) #IABot (v2.0.9.3
Jonoo27 (bicara | kontrib)
Baris 145:
[[Berkas:Saint Augustine by Philippe de Champaigne.jpg|jmpl|Lukisan karya [[Philippe de Champaigne]], abad ke-17.]]
 
Agustinus mengajarkan bahwa [[dosa asal]] dari Adam dan Hawa merupakan suatu tindakan kebodohan (''insipientia'') yang diikuti oleh [[kesombongan]] dan ketidaktaatan kepada Allah, atau mungkin juga sebenarnya berawal dari kesombongan.<ref group=note>Ia menjelaskan kepada Yulianus dari Eklanum mengenai sulitnya membedakan apa timbul pertama kali: ''Sed si disputatione subtilissima et elimatissima opus est, ut sciamus utrum primos homines insipientia superbos, an insipientes superbia fecerit''. (''Contra Julianum'', V, 4.18; PL 44, 795)</ref> Pasangan pertama tersebut tidak mematuhi Allah, yang telah mengatakan kepada mereka untuk tidak makan dari [[Pohon pengetahuan tentang yang baik dan yang jahat]] (Kejadian 2:17).<ref>Augustine of Hippo, ''On the Literal Meaning of Genesis'' (''De Genesi ad litteram''), VIII, 6:12, vol. 1, p. 192-3 and 12:28, vol. 2, p. 219-20, trans. John Hammond Taylor SJ; [[Bibliothèque Augustinniene|BA]] 49,28 and 50–52; [[Patrologia Latina|PL]] 34, 377; cf. idem, ''De Trinitate'', XII, 12.17; [[Corpus Christianorum|CCL]] 50, 371–372 [v. 26–31;1–36]; ''De natura boni'' 34–35; CSEL 25, 872; PL 42, 551–572</ref> Pohon itu merupakan sebuah simbol dari keteraturan penciptaan.<ref>Augustine of Hippo, ''On the Literal Meaning of Genesis'' (''De Genesi ad litteram''), VIII, 4.8; [[Bibliothèque Augustinniene|BA]] 49, 20</ref> Sikap mementingkan diri sendiri menyebabkan Adam dan Hawa memakan buah pohon itu, karenanya mereka gagal memahami dan menghormati dunia yang telah diciptakan Allah, beserta tatanan ciptaan dan nilai-nilainya.<ref group="note">Agustinus menjelaskannya demikian: "Mengapa karenanya [budi] memerintah atas dirinya sendiri, bahwa [budi] perlu mengenal dirinya sendiri? Saya kira, agar [budi] dapat mengambil pertimbangan sendiri, dan hidup menurut kodratnya sendiri; yaitu, berusaha untuk diatur menurut kodratnya sendiri, dengan kata lain, di bawah Dia kepada siapa [budi] harus tunduk, dan di atas hal-hal yang adalah kecenderungan [budi]; di bawah Dia oleh siapa [budi] harus diperintah, di atas hal-hal yang harus [budi] perintah. Sebab [budi] melakukan banyak hal melalui hasrat keji, seolah-olah dalam keterlupaan akan dirinya sendiri. Sebab [budi] melihat beberapa hal pada hakikatnya sangat baik, karena kodrat yang jauh lebih baik yang adalah Allah: dan sementara [budi] harus tetap kukuh agar dapat menikmati hal-hal itu, [budi] berpaling dari Dia, dengan keinginan untuk memantaskan hal-hal itu bagi dirinya sendiri, serta tidak untuk menjadi serupa dengan Dia melalui karunia-Nya, tetapi untuk menjadi apa yang adalah Dia melalui kepunyaannya sendiri, dan [budi] mulai bergeser serta tergelincir jatuh ke dalam secara bertahap sedikit demi sedikit, yang dikira [budi] lebih dan lebih banyak lagi." ({{en}} "[http://www.newadvent.org/fathers/130105.htm On the Trinity]" (''De Trinitate'') X, 5:7; [[Corpus Christianorum|CCL]] 50, 320 [1–12])</ref> Mereka jatuh ke dalam [[kesombongan]] dan ketiadaan hikmat karena [[Iblis dalam Kekristenan|Setan]] menabur "akar kejahatan" (''radix Mali'') ke dalam indra-indra mereka.<ref>Augustine of Hippo, ''Nisi radicem mali humanus tunc reciperet sensus'' ("Contra Julianum", I, 9.42; PL 44, 670)</ref> Kodrat mereka terluka oleh [[konkupisensi]] atau [[libido]], yang mempengaruhi kehendak dan inteligensi manusia, serta [[afeksi]] dan hasrat (atau nafsu), termasuk hasrat seksual.<ref group=note>Dalam satu karya akhir Agustinus, ''Retractationes'', pada buku II:XXII(XLIX) ia membuat suatu pernyataan penting yang menunjukkan cara ia memahami perbedaan antara libido moral rohaniah dan hasrat seksual: ''Dixi etiam quodam loco: «Quod enim est cibus ad salutem hominis, hoc est concubitus ad salutem generis, et utrumque non est sine delectatione carnali, quae tamen modificata et temperantia refrenante in usum naturalem redacta, libido esse non potest». Quod ideo dictum est, quoniam libido non est bonus et rectus usus libidinis. Sicut enim malum est male uti bonis, ita bonum bene uti malis. De qua re alias, maxime contra novos haereticos Pelagianos, diligentius disputavi''. Lih. ''De bono coniugali'', 16.18; PL 40, 385; ''De nuptiis et concupiscentia'', II, 21.36; PL 44, 443; ''Contra Iulianum'', III, 7.16; PL 44, 710; ibid., V, 16.60; PL 44, 817. Lihat pula {{fr}} {{cite book |title= Le mariage chrétien dans l'oeuvre de Saint Augustin. Une théologie baptismale de la vie conjugale |author= Idem |year= 1983 |publisher= Études Augustiniennes |location=Paris |page=97}}</ref> Dari segi [[metafisika]], konkupisensi bukanlah suatu keberadaan tetapi merupakan suatu kualitas buruk, kurangnya kebaikan, atau suatu luka.<ref>''Non substantialiter manere concupiscentiam, sicut corpus aliquod aut spiritum; sed esse affectionem quamdam malae qualitatis, sicut est languor''. (''De nuptiis et concupiscentia'', I, 25. 28; PL 44, 430; cf. ''Contra Julianum'', VI, 18.53; PL 44, 854; ibid. VI, 19.58; PL 44, 857; ibid., II, 10.33; PL 44, 697; ''Contra Secundinum Manichaeum'', 15; PL 42, 590.</ref>
 
Pemahaman Agustinus mengenai konsekuensi-konsekuensi dari dosa asal dan perlunya rahmat penebusan dikembangkan dalam perjuangan dia melawan [[Pelagius]] dan murid-muridnya penganut [[Pelagianisme]], yaitu [[Selestius]] dan [[Yulianus dari Eklanum]], yang telah terinspirasi oleh Rufinus dari Siria, salah seorang murid [[Theodorus dari Mopsuestia]].<ref>[[Marius Mercator]] ''Lib. subnot.in verb. Iul. Praef.'',2,3; PL 48,111 /v.5-13/; {{en}} {{cite book |last= Bonner |first= Gerald |title= Rufinus of Syria and African Pelagianism |pages= 35(X) }} in: {{cite book |author= Idem |titleyear= God's Decree and Man's Destiny 1987|url= https://archive.org/details/godsdecreemansde0000bonn|title=God's Decree and Man's Destiny|location= London |yearpublisher=Variorum 1987 Reprints|isbn=0-86078-203-4|pages= [https://archive.org/details/godsdecreemansde0000bonn/page/31 31]–47 (X) |isbn= 0-86078-203-4 |publisher= Variorum Reprints}}</ref>
Mereka menolak untuk sependapat bahwa dosa asal telah melukai budi dan kehendak manusia, bersikeras bahwa kodrat manusia telah diberi kuasa untuk bertindak, berbicara, dan berpikir, saat Allah menciptakannya. Kodrat manusia tidak dapat kehilangan kemampuan moralnya untuk berbuat baik, tetapi setiap orang bebas untuk bertindak ataupun tidak bertindak dengan suatu cara yang benar. Pelagius mencontohkan mata: keduanya memiliki kemampuan untuk melihat, tetapi setiap orang dapat mempergunakannya untuk tujuan yang baik ataupun buruk.<ref name=Bonner/>{{rp|355–356}}<ref>Augustine of Hippo, ''[http://www.augustinus.it/latino/grazia_cristo/grazia_cristo_1_libro.htm De gratia Christi et de peccato originali]'', I, 15.16; CSEL 42, 138 [v.24–29]; Ibid., I,4.5; CSEL 42, 128 [v.15–23].</ref> Sama seperti [[Jovinianus]], kaum Pelagian bersikeras bahwa hasrat maupun afeksi manusia tidak terpengaruh oleh kejatuhan manusia pertama. Imoralitas, misalnya [[fornikasi|percabulan]], adalah semata-mata suatu persoalan kehendak, yaitu seseorang tidak menggunakan hasrat alami dengan cara yang tepat. Berlawanan dengan paham tersebut, Agustinus menekankan ketidaktaatan nyata tubuh kepada jiwa, dan menjelaskan hal itu sebagai salah satu akibat dosa asal, hukuman atas ketidaktaan Adam dan Hawa kepada Allah.<ref>Augustine of Hippo, ''Against Two Letters of the Pelagians'' 1.31–32</ref>
 
Baris 158:
Beberapa penulis menganggap ajaran Agustinus diarahkan untuk melawan [[seksualitas manusia]], serta menghubungkan desakannya untuk melakukan [[abstinensi seksual]] atau mengendalikan nafsu dan ber[[devosi Katolik|devosi]] kepada Allah berasal dari kebutuhan Agustinus untuk menolak kodrat sensualnya sendiri yang besar sebagaimana ia ceritakan dalam ''[[Pengakuan-pengakuan Agustinus|Pengakuan-Pengakuan]]''. Tetapi jika melihat semua tulisannya, tampaknya ada kesalahpahaman.<ref name=Bonner/>{{rp|312}}<ref group=note>Komentar Gerald Bonner menjelaskan sedikit mengapa terdapat banyak penulis yang menulis hal-hal salah mengenai pandangan Agustinus: "Tentu saja selalu lebih mudah untuk menentang dan mencela daripada untuk memahami."</ref> Agustinus mengajarkan bahwa seksualitas manusia telah terluka, bersamaan dengan seluruh kodratnya, dan membutuhkan [[Penebusan (teologi)|penebusan]] oleh Kristus. Penyembuhannya merupakan suatu proses yang diwujudkan dalam tindakan perkawinan (''conjugal acts''). [[Kebajikan]] atau keutamaan abstinensi seksual diperoleh berkat rahmat dari [[Sakramen Perkawinan (Gereja Katolik)|Sakramen Perkawinan]], yang karenanya menjadi suatu obat atas konkupisensi (''remedium concupiscentiae'').<ref>Augustine of Hippo, ''De continentia'', 12.27; PL 40, 368; Ibid., 13.28; PL 40, 369; ''Contra Julianum'', III, 15.29, PL 44, 717; Ibid., III, 21.42, PL 44, 724.</ref><ref>{{en}} {{cite journal| author=| title=A Postscript to the Remedium Concupiscentiae| journal=The Thomist| volume= 70 |year=2006| pages= 481–536 |url=http://www.cormacburke.or.ke/node/932}}</ref> Namun, penebusan atas seksualitas manusia hanya akan tercapai sepenuhnya dalam [[kebangkitan orang mati|kebangkitan badan]].<ref>{{en}} ''[http://www.newadvent.org/fathers/1501.htm Merits and Remission of Sin, and Infant Baptism]'' (''De peccatorum meritis et remissione et de baptismo parvulorum''), I, 6.6; PL 44, 112–113; cf. ''On the Literal Meaning of Genesis'' (De Genesi ad litteram'') 9:6:11, trans. John Hammond Taylor SJ, vol. 2, pp. 76–77; PL 34, 397.</ref>
 
[[Dosa (Kristen)|Dosa]] Adam diwariskan kepada semua manusia. Sejak tulisan-tulisan awal Agustinus sebelum perlawanannya terhadap [[Pelagianisme]], ia telah mengajarkan bahwa [[dosa asal]] ditularkan kepada semua keturunannya melalui [[konkupisensi]],<ref>Augustine of Hippo, ''Imperfectum Opus contra Iulianum'', II, 218</ref> yang dipandangnya sebagai penderitaan dari jiwa maupun raga,<ref group="note">Pada tahun 393 atau 394 ia berkomentar: "Bahkan, apabila ketidakpercayaan adalah percabulan, dan ketidakpercayaan [[penyembahanPenyembahan berhala|pemberhalaan]], serta pemberhalaan [[keserakahan]], tidak perlu diragukan bahwa keserakahan adalah juga percabulan. Maka siapakah yang dalam kasus tersebut dapat dengan benar memisahkan setiap [[hawa nafsu]] haram apa pun itu dari kategori percabulan, apabila keserakahan adalah percabulan? Dan dari sini kita melihat, bahwa karena hawa nafsu haram, bukan hanya yang mana yang bersalah dalam tindakan kecemaran dengan suami atau istri orang lain, tetapi setiap hawa nafsu haram apa pun itu, yang menyebabkan jiwa menggunakan tubuh secara salah untuk menyimpang dari hukum Allah, dan untuk dirusak secara mengerikan dan keji, seorang laki-laki mungkin, tanpa salah, menceraikan istrinya, dan seorang istri menceraikan suaminya, karena Tuhan menjadikan hal percabulan suatu pengecualian; di mana percabulan, sesuai dengan pertimbangan di atas, kita dipaksa untuk memahaminya sebagai umum dan universal." ({{en}} "[http://www.newadvent.org/fathers/16011.htm On the Sermon on the Mount]", ''De sermone Domini in monte'', 1:16:46; [[Corpus Christianorum|CCL]] 35, 52)</ref> menjadikan umat manusia suatu ''massa damnata'' (massa/kumpulan yang dikutuk atau ditentukan untuk binasa) dan banyak melemahkan [[kehendak bebas]], kendati tidak menghancurkannya.<ref name=Cross/>{{rp|1200–1204}}
 
Rumusan Agustinus tentang doktrin dosa asal diteguhkan dalam berbagai [[konsili]], misalnya [[Konsili Kartago|Kartago]] (418), [[Konsili Efesus|Efesus]] (431), [[Konsili Orange (529)|Orange]] (529), dan [[Konsili Trente|Trente]] (1546), serta oleh para paus, misalnya [[Paus Innosensius I]] (401–417) dan [[Paus Zosimus]] (417–418). [[Anselmus dari Canterbury]] menyatakan dalam ''[[Cur Deus Homo]]'' karyanya suatu definisi yang kemudian diikuti oleh para terpelajar terkemuka pada abad ke-13, yaitu bahwa dosa asal adalah "ketiadaan kebenaran yang seharusnya dimiliki setiap orang", sehingga membedakannya dengan ''konkupisensi'', sedangkan beberapa pengikut Agustinus menyamakannya<ref name=Bonner/>{{rp|371}}<ref>{{en}} {{cite book |title=The Making of the Middle Ages |url=https://archive.org/details/makingofmiddleag00sout |last=Southern |first=R.W. |year=1953 |location=London |pages=[https://archive.org/details/makingofmiddleag00sout/page/234 234]–7}}</ref> sebagaimana juga kelak [[Martin Luther|Luther]] dan [[Yohanes Calvin|Calvin]].<ref name=Cross/>{{rp|1200–1204}} Pada tahun 1567, [[Paus Pius V]] mengutuk pandangan yang menyamakan dosa asal dengan konkupisensi.<ref name=Cross/>{{rp|1200–1204}}
Baris 209:
 
=== Dalam teologi ===
[[Thomas Aquinas]] banyak dipengaruhi oleh Agustinus. Tentang topik [[dosa asal]], Aquinas mengajukan suatu pandangan yang lebih optimis mengenai manusia daripada Agustinus; menurut Aquinas, akal, kehendak, dan penderitaan manusia pertama yang telah jatuh dalam [[Dosa (Kristen)|dosa]], dan semua keturunannya, hanya bergantung pada daya-daya alamiahnya saja, tanpa "karunia-karunia supranatural".<ref name=Cross/>{{rp|1203}} Dalam tulisan-tulisan awal sebelum perlawanannya terhadap [[Pelagianisme]], Agustinus mengajarkan bahwa rasa bersalah Adam yang diteruskan ke semua keturunannya memperlemah [[kehendak bebas|kebebasan kehendak]] mereka, kendati tidak menghancurkannya, sedangkan para reformisreformator Protestan seperti [[Martin Luther]] dan [[Yohanes Calvin]] menyatakan bahwa dosa asal sepenuhnya menghancurkan kebebasan (lih. [[kerusakan total]]).<ref name=Cross/>{{rp|1200–1204}}
 
Menurut [[Leo Ruickbie]], argumen-argumen Agustinus dalam melawan [[sihir]], membedakannya dengan [[mukjizat]], sangat penting dalam perjuangan [[Gereja perdana]] melawan [[paganisme]] serta menjadi suatu tesis sentral dalam penolakan terhadap para penyihir dan praktik [[sihir]]. Menurut Profesor Deepak Lal, visi Agustinus mengenai kota surgawi telah mempengaruhi berbagai tradisi serta proyek sekuler [[Abad Pencerahan]], [[Marxisme]], [[Psikoanalisis|Freudianisme]], dan eko-fundamentalisme.<ref name="Deepak Lal">{{en}} Lal, D. (March 2002) [http://www.econ.ucla.edu/workingpapers/wp812.pdf "Morality and Capitalism: Learning from the Past"]. Working Paper Number 812, Department of Economics, [[University of California, Los Angeles]].</ref>