Upacara Tiwah dalam masyakat Dayak Ngaju merupakan acara besar yang juga membutuhkan biaya sangat besar. Keluarga atau kelompok masyarakat yang ingin melaksanakan upacara Tiwah harus membuat sejumlah keperluan pendukung dan beberapa hewan kurban. Dalam pelaksanaanya, upacara ini biasanya membutuhkan biaya antara Rp 50 juta hingga Rp 100 juta.<ref>{{Cite news|url=https://regional.kompas.com/read/2018/12/05/11000061/mengenal-ritual-tiwah-cara-suku-dayak-menghargai-kematian-1-|title=Mengenal Ritual Tiwah, Cara Suku Dayak Menghargai Kematian (1)|last=Tarigan|first=Kurnia|date=|work=[[Kompas.com]]|language=id|access-date=2019-04-09|editor-last=Ika|editor-first=Aprillia}}</ref> Karena biaya yang besar tersebut, penyelenggaraan upacara Tiwah dapat menjadi simbol sosial seseorang atau keluarga. Semakin meriah dan durasi yang lama, maka status sosial seseorang semakin tinggi. Bagi keluarga yang memiliki kekayaan, upacara Tiwah dapat dilaksanakan secara mandiri yakni hanya dengan keluarganya sendiri dan dilakukan sesegeradengan mungkinwaktu yang relatif lebih cepat misalkan sekitar 7 tahun setelah kematian sanak keluarganya. Sedangkan bagi keluarga yang kekayaannya tidak melimpah, upacara Tiwah dapat dilakukan secara bersama-sama atau gotong royong oleh beberapa keluarga atau bahkan oleh satu desa. Istilah bergotong royong ini dalam bahasa Ngaju dinamakan '''''handep''' .''Biasanya, mereka akan mengumpulkan dana bersama-sama dan kemudian menyelenggarakan upacara Tiwah.<ref name=":0" /> Beberapa upacara Tiwah yang melibatkan banyak keluarga tercatat dalam sejumlah tulisan. Pada tahun 1996, antropolog Anne Schiller mencatat upacara Tiwah yang melibatkan 89 kerangka jenazah di wilayah Petah Putih yang terletak di tepi Sungai Katingan.<ref name=":1">Schiller, A. (2002). How to hold a tiwah: the potency of the dead and deathways among Ngaju Dayaks. ''The Potent Dead: Ancestors, Saints, and Heroes in Contemporary Indonesia'', 17-31.</ref> Pada tahun 2002, peneliti Balai Arkeologi Kalimantan Banjarmasin Vida Pervaya Rusianti Kusmantoro mencatat upacara Tiwah yang melibatkan 35 keluarga di desa Pandahara yang juga berada di tepi Sungai Katingan.<ref>Kusmartono, V. P. R. (2007). [https://naditirawidya.kemdikbud.go.id/index.php/nw/article/view/344 Tiwah: The Art of Death in Southern Kalimantan.] ''Naditira Widya'', ''1''(1), 206-213. doi:https://doi.org/10.24832/nw.v1i1.344</ref> Pada 1 April 2016 tercatat pula penyelenggaraan upacara Tiwah yang melibatkan 77 kerangka jenazah nenek moyang dari 46 keluarga. Mereka berasal dari beberapa desa di Kabupaten [[Katingan]], Kalimantan Tengah.<ref>{{Cite news|url=https://travel.kompas.com/read/2016/06/21/142013727/tiwah.rukun.kematian.penuh.kebahagiaan|title=Tiwah, Rukun Kematian Penuh Kebahagiaan|last=|first=|date=|work=[[Kompas.com]]|language=id|access-date=2019-04-09|editor-last=Asdhiana|editor-first=I Made}}</ref>