Kamp pengasingan Moncongloe: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
kTidak ada ringkasan suntingan
Baris 49:
| image =Kamp Moncongloe3.jpg
| image size =280px
| caption =Sekumpulan tapol terkait PKI di Kamp pengasingan Moncongloe
| alt =
| location map =
Baris 59:
| coordinates type = type:landmark
| coordinates display = inline,title
| other names =Kamp konsentrasi Moncongloe{{br}}Instalasi rehabilitasi Moncongloe{{br}}Kamp tahanan Tanah Merah Moncongloe
| known for = Praktik pelanggaran HAM oleh militer terhadap tahanan politik
| location = PerbatasanMencakup sebagian [[Kabupaten Maros]] bagian selatan dan sebagian [[Kabupaten Gowa]] bagian utara
| built by =[[Komando Daerah Militer XIV/Hasanuddin]]
| operated by = Pemerintah Indonesia era [[Orde Baru (Indonesia)|Orde Baru]], Presiden [[Soeharto]]
Baris 79:
{{perbudakan}}
 
'''Kamp pengasingan Moncongloe'''<ref name=":1">{{Cite web|url=https://kebudayaan.kemdikbud.go.id/bpnbsulsel/kamp-pengasingan-moncongloe/|title=Kamp Pengasingan Moncongloe|last=Tim redaksi kebudayaan.kemdikbud.go.id|first=|date=4 Juni 2014|website=kebudayaan.kemdikbud.go.id|access-date=28 Maret 2023}}</ref> (juga disebut '''kamp konsentrasi Moncongloe''', '''instalasi rehabilitasi Moncongloe'''<ref name=":0">{{Cite web|url=https://www.tribunnewswiki.com/2019/09/21/g30s-1965-moncongloe-kamp-tahanan-politik-tapol-di-gowa-sulawesi-selatan|title=G30S 1965 - Moncongloe, Kamp Tahanan Politik (Tapol) di Gowa, Sulawesi Selatan|last=Maghiszha|first=Dinar Fitra|date=21 September 2019|website=www.tribunnewswiki.com|access-date=28 Maret 2023}}</ref>, atau '''kamp tahanan Tanah Merah''') adalah bekas [[kamp konsentrasi]] di [[Moncongloe, Moncongloe, Maros|Desa Moncongloe]]–[[Pacellekang, Pattallassang, Gowa|Desa Pacellekang]] yang dikelola oleh pemerintah [[Indonesia]] era [[Orde Baru (Indonesia)|Orde Baru]] dari Maret 1969 hingga 1979. Kamp ini dirintis tahun 1968 dan mulai digunakan pada Maret 1969 sebagai tempat khusus pengasingan para [[tahanan politik]] (tapol) yang dianggap dan dicurigai baik terlibat sebagai simpatisan maupun dalam gerakan [[Partai Komunis Indonesia]]. [[Moncongloe,Para tapol tersebut berasal dari penjara-penjara di beberapa daerah baik dari dalam maupun dari luar Sulawesi Selatan yang sebelumnya telah ditangkap terkait G30S/PKI 1965. Maros|Moncongloe]] adalah penjara alam yang didirikan oleh pemerintah [[Indonesia]] era Orde Baru Presiden [[Soeharto]] di Pulau [[Sulawesi]]. Karena over kapasitas tahanan politik di Pulau Jawa, maka kamp pengasingan Moncongloe didirikan untuk menampung tapol. Kondisi penjara ini sangat tidak bersahabat dan digunakan untuk mengeksploitasi para tahanan politik bekerja secara paksa untuk memenuhi kebutuhan militer baik kepentingan institusi maupun kepentingan pribadi petugas instalasi rehabilitasi (inrehab). Keberadaan kamp pengasingan Moncongloe sebagai implikasi pelabelan pemerintah Orde Baru terhadap mereka yang dianggap PKI. Lokasi kamp berada di perbatasan Kabupaten Maros dan Kabupaten Gowa, sekitar 25 km dari ibu kota [[Kabupaten Gowa]] dan 15 km dari Kabupaten Maros. Sebelumnya, kamp pengasingan Moncongloe adalah wilayah hutan belantara. Kamp ini dikelola oleh pemerintah Indonesia era Orde Baru sebagai tempat tahanan terhadap mereka yang dianggap PKI dengan kontrol militer dari Maret 1969 hingga 1979. Kamp Moncongloe bersama [[Pulau Buru|kamp Pulau Buru]] dan [[kamp Plantungan]] menjadi kamp konsentrasi atau pengasingan untuk tapol yang dicurigai simpatisan PKI.
 
== Kompleks kamp ==
Baris 98:
# Gedung Kodam lama, Gedung Chandra Kirana
# Area kebun
 
Di sekitaran Kamp pengasingan Moncongloe terdapat Kompleks Perumahan Kodam XIV Hasanuddin, yang meliputi; Home Base Puskopad, Home Base CPM, Home Base Kesdam, dan Home Base Kiwal.<ref name=":123"/>
 
== Geografi ==
<mapframe latitude="-5.1781672" longitude="119.5508312" zoom="13" width="300" height="300"/>
Kamp pengasingan Moncongloe berlokasi jauh dari hingar bingar kota yang berada di daerah perbukitan dengan ketinggian sekitar 250 meter dari permukaan laut dengan struktur tanah yang tidak rata<ref name=":123">{{Cite web|url=https://news.republika.co.id/berita/m7rh4c/moncongloe-kamp-auschwitz-di-indonesia-bag-ii|title=Moncongloe, Kamp Auschwitz di Indonesia (Bag II)|last=Ruslan|first=Heri|date=26 Juli 2012|website=news.republika.co.id|access-date=7 April 2023}}</ref>, yang ditumbuhi oleh rimbunnya pepohonan, berada di perbatasan Kabupaten Maros dan Kabupaten Gowa, sekitar 25 km dari ibu kota [[Kabupaten Gowa]] dan 15 km dari ibu kota Kabupaten Maros. Kamp ini terletak 17 km dari Kota Makassar dengan waktu tempuh 40 menit perjalanan darat. Sebelum berubah menjadi kamp pengsingan tahanan politik PKI, area kamp pengasingan Moncongloe adalah wilayah hutan belantara yang cukup lebat. Secara administratif, kamp ini mencakup wilayah Kecamatan Moncongloe di Kabupaten Maros dan Kecamatan Pattallassang di Kabupaten Gowa dan berpusat di Dusun Moncongloe, [[Pacellekang, Pattallassang, Gowa|Desa Pacellekang]], [[Pattallassang, Gowa|Kecamatan Pattallassang]], [[Kabupaten Gowa]], [[Sulawesi Selatan]]. Moncongloe (memiliki arti "tempat yang tinggi") atau kerap disebut Tanah Merah<ref name=":123"/> (istilah ini mulai muncul sekitar tahun 1970-an) dipilih sebagai tempat pembinaan atau rehabilitasi dalam bentuk pengasingan karena dianggap aman dan mampu dikontrol oleh militer sebab Moncongloe dikelilingi markas militer Kodam XIV Hasanuddin. Kamp tahanan ini memiliki luas 150 m² dengan daya tampung 20 ribu jiwa.
 
Saat ini area kamp pengasingan Moncongloe meliputi wilayah administratif:
Baris 122 ⟶ 124:
 
Di sekitaran Moncongloe terdapat Kompleks Perumahan Kodam XIV Hasanuddin, yang meliputi; Home Base Puskopad, Home Base CPM, Home Base Kesdam, Home Base Kiwal. Moncongloe sejak tahun 1969 dijadikan sebagai tempat pengasingan tahanan politik (tapol) yang dianggap sebagai PKI oleh pemerintah saat itu. Moncongloe memiliki potensi hutan yang cukup baik. Kondisi ini kemudian menjadi salah satu alasan alternatif pembukaan Moncongloe sebagai tempat pengasingan para tahanan politik PKI. Ada tiga potensi awal dan cukup menonjol di daerah Moncongloe; pertama, hutan Moncongloe masih tergolong hutan negara. Pembukaan lahan ini akan mempermudah proses pemilikan lahan dalam jumlah yang besar bagi mereka yang dapat mengontrol pekerjaan Tapol. Kedua, hutan bambu yang sangat luas adalah sumber bahan baku pabrik kertas Kabupaten Gowa. Adanya hutan bambu juga menjadi alasan ekonomis pembukaan wilayah ini. Para tapol dipaksa bekerja menebang pohon bambu sebanyak-banyaknya untuk dijual kepada pabrik kertas Gowa. Ketiga, di daerah ini terdapat pohon-pohon besar utamanya bagian pegunungan. Pohon-pohon tersebut memiliki nilai ekonomis. Para tapol dibagi dalam berbagai regu kerja; seperti regu penebang pohon, regu yang khusus membuat papan dan tiang rumah. Regu kerja ini elastis, dapat bertambah ataupun dikurangi tergantung kebutuhan petugas di daerah pengasingan.<ref name=":12">{{Cite web|url=http://www.jurnalalqalam.or.id/index.php/Alqalam/article/viewFile/224/206|title=Bertahan Melalui Perbudakan: Sejarah Alternatif Tanah Merah|last=Ahmad|first=Taufik|date=15 Februari 2013|website=www.jurnalalqalam.or.id|access-date=3 April 2023}}</ref>
 
== PKI di Sulawesi Selatan ==
Perbudakan di Moncongloe bermula dari kekalahan PKI dalam perpolitikan pascakemerdekaan Indonesia. Partai ini mulai merebut simpati sebagian masyarakat ketika tokoh-tokoh PKI menjual slogan Islam revolusioner dengan argumentasi al-Quran dan hadis. Tokoh-tokoh PKI berusaha meyakinkan masyarakat bahwa komunis sebagai ajaran sangat relevan dengan Islam.
 
PKI mulai membuka cabangnya di Makassar pada 1922. Partai ini melakukan propaganda dan menyebarluaskan program-programnya dengan memakai corong sebuah surat kabar, Pemberita Makassar. Dengan surat kabar ini, PKI melawan penindasan atas kolonial Belanda. Pendidikan politik kepada rakyat Sulawesi Selatan terus terjadi. Targetnya adalah melawan dan mengusir Penjajah Belanda.
 
Upaya itu tidak sepenuhnya berhasil karena dominasi gerakan Darul Islam (DI) dan Tentara Islam Indonesia. Dua gerakan ini menilai PKI anti agama. Masyarakat cukup kuat menolak PKI, terutama di daerah pedalaman.
 
Pada Pemilu 1955 PKI secara nasional sukses dalam perolehan pemilihan DPR. Namun kesuksesan itu tidak terjadi di Sulawesi Selatan. PKI hanya meraup suara 0,25%. Bahkan ketika PKI sukses merebut simpati politik Presiden Soekarno, ternyata tidak berpengaruh dalam merebut simpati elit-elit lokal di daerah ini. Karena lagi-lagi, PKI harus berhadapan dengan agitasi DI/TII di daerah pedalaman, bersaing dengan Masyumi serta berhadapan dengan gerakan Permesta.
 
Setelah gerakan DI/TII dan Permesta berhasil ditumpas TNI, ternyata PKI masih cukup sulit untuk menarik simpati masyarakat Sulawesi Selatan karena mendapat sandungan dari perwira militer yang memiliki fungsi sosial politik dominan di daerah ini.
 
Ketika terjadi gerakan 30 September di Jakarta, kondisi politik Sulawesi Selatan masih relatif terkendali. Tetapi minggu pertama oktober 1965, gerakan anti komunis di Sulawesi Selatan berkembang sangat cepat. Gerakan anti PKI juga melebar ke masalah etnis. Penjarahan milik warga etnis Tionghoa dan rumah-rumah orang Jawa dilakukan dengan sangat brutal oleh para demonstran. Alat-alat musik tradisional Jawa seperti gamelan tak luput dari amukan massa.
 
Mereka yang dianggap PKI ditangkap. Hal itu terus terjadi sampai awal tahun 1966 mulai dari Makassar sampai ke daerah pedalaman, seperti Bone, Pare-pare, Jeneponto, Bantaeng, dll. Penjara merupakan tempat persinggahan terakhir dari aktivis dan simpatisan PKI. Mereka dimasukkan kedalam penjara-penjara militer di kodim-kodim di daerahnya masing-masing. Sejak Oktober 1965 sampai Maret 1966, jumlah tapol mencapai 9.765 orang.
 
Di penjara, para tapol di tindak secara keras, di siksa hingga terdengar jeritan-jeritan yang suaranya didengar seluruh penghuni penjara hampir tiap malam. Setelah itu mereka dijebloskan ke kamp pengasingan Moncongloe.
 
Mereka yang terlibat dalam penangkapan tersebut adalah petugas militer, baik dengan sukarela atau paksaan. Semua tahanan politik PKI tersebut ditahan tanpa waktu yang jelas. Penangkapan itu bahkan dianggap sah menurut hukum meski tanpa surat penangkapan, surat penahanan, apalagi putusan pengadilan. Tak sedikit pula penahanan terjadi karena semata-mata salah tangkap. Seperti kasus penangkapan kelompok Tumbung Tellue-Timbung Limae, sebuah aliran tarekat di Bulukumba. Kelompok tarekat ini ditangkap karena warga menduga mereka PKI hanya karena sering melakukan pertemuan intensif.<ref name=":123"/>
 
== Kisah para tahanan ==
Baris 146 ⟶ 167:
 
== Latar belakang pemilihan kamp ==
Penumpasan dan penangkapan terhadap anggota dan simpatisan PKI pasca tragedipascatragedi G30S jumlah tahanan politik bertambah secara drastis sehingga selpenjara-selpenjara tidak mampu menampung tapol dan meningkatnya biaya yang harus dikeluarkan untuk keperluan tapol. Kemudian muncul Moncongloe sebagai tempat pembinaan dalam bentuk pengasingan sehingga tapol dapat mandiri. Moncongloe dipilih karena dianggap aman dan mampu dikontrol oleh militer sebab Moncongloe dikelilingi markas militer Kodam XIV Hasanuddin. Selain itu, Moncongloe memiliki potensi hutan yang cukup baik. Kondisi ini kemudian menjadi salah satu alasan alternatif pembukaan Moncongloe sebagai tempat pengasingan para tahanan politik PKI. Ada tiga potensi awal dan cukup menonjol di daerah Moncongloe; pertama, hutan Moncongloe masih tergolong hutan negara. Pembukaan lahan ini akan mempermudah proses pemilikan lahan dalam jumlah yang besar bagi mereka yang dapat mengontrol pekerjaan tahanan politik. Kedua, hutan bambu yang sangat luas adalah sumber bahan baku pabrik kertas Kabupaten Gowa. Adanya hutan bambu juga menjadi alasan ekonomis pembukaan wilayah ini. Para tapol dipaksa bekerja menebang pohon bambu sebanyak-banyaknya untuk dijual kepada pabrik kertas Gowa. Ketiga, di daerah ini terdapat pohon-pohon besar utamanya bagian pegunungan. Pohon-pohon tersebut memiliki nilai ekonomis. Para tapol dibagi dalam berbagai regu kerja; seperti regu penebang pohon, regu yang khusus membuat papan dan tiang rumah. Regu kerja ini elastis, dapat bertambah ataupun dikurangi tergantung kebutuhan petugas di daerah pengasingan.<ref name=":123"/>
 
Tahanan kampKamp Moncongloe didatangkan secara bertahap dari kurun waktu 1969 hingga 1971. Terletak 17 kilometer dari Makassar, Moncongloe yang memiliki arti "Tempat yang Tinggi" bisa ditempuh dengan waktu 40 menit perjalanan darat. Jauh dari hingar bingar kota, tempat ini menyimpan memori pahit. Berdasarkan buku Kamp Pengasingan Moncongloe (Desantara Foundation, 2009), wilayah ini dipilih karena dianggap aman dan mudah dikendalikan lantaran dikelilingi markas Kodam XIV Hasanuddin. Kamp seluas 150 meter persegi ini menampung 911 jiwa, dengan rincian 859 pria dan 52 wanita. Mereka berasal dari sejumlah kota di seantero Sulsel seperti Majene, Mamasa, Pinrang, Parepare, Barru, Pangkep, Maros, Palopo, Tana Toraja, Takalar, Bantaeng, Bulukumba dan Selayar. Mereka datang secara bertahap ke Moncongloe dari tahun 1969 sampai 1971. Namun seperti penghuni kamp-kamp PKI lainnya, mayoritas di antaranya adalah korban salah tangkap dan dituduh sebagai simpatisan organisasi berlambang palu-arit. Setelah mendekam beberapa lama, tapol Moncongloe harus memenuhi kebutuhannya sendiri. Akan tetapi seiring waktu, mereka pun wajib memenuhi kebutuhan militer entah itu atas nama institusi atau kepentingan pribadi para petugas. Alhasil muncullah eksploitasi berlapis. Sekadar memenuhi kebutuhan pribadi pun menjadi sukar.
 
== Dari rimbun hutan menjadi kamp konsentrasi ==
Baris 270 ⟶ 291:
[[Kategori:Soeharto]]
[[Kategori:Politisida]]
[[Kategori:Bangunan dan struktur di Indonesia]]
[[Kategori:Hak asasi manusia di Indonesia]]