Kamp pengasingan Moncongloe: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
kTidak ada ringkasan suntingan
Baris 75:
| liberated by =[[Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban|Kopkamtib]] (secara bertahap sejak 20 Desember 1977–1979 berdasarkan surat perintah Nomor: SPRIN/802/TPD/XII/1977, tentang membebaskan dari penahanan penuh menjadi tahanan rumah)
| notable inmates =
| notable books =1. Kamp Pengasingan Moncongloe, 20082009{{br}}{{br}}2. Pengakuan Algojo 1965: Investigasi Tempo Perihal Pembantaian 1965, 2013
| website =
}}
Baris 163:
 
== Latar belakang pemilihan kamp ==
Penumpasan dan penangkapan terhadap anggota dan simpatisan PKI pascatragedi G30S, jumlah tahanan politiktapol bertambah secara drastis sehingga penjara-penjara tidak mampu menampung tapol dan meningkatnya biaya yang harus dikeluarkan untuk keperluan tapol. Kemudian muncul Moncongloe sebagai tempat pembinaan dalam bentuk pengasingan sehingga tapol dapat mandiri. Moncongloe dipilih karena dianggap aman dan mampu dikontrol oleh militer sebab Moncongloe dikelilingi markas militer [[Kodam XIV /Hasanuddin]]. Selain itu, Moncongloe memiliki potensi hutan yang cukup baik. Kondisi ini kemudian menjadi salah satu alasan alternatif pembukaan Moncongloe sebagai tempat pengasingan para tahanan politiktapol PKI. Ada tiga potensi awal dan cukup menonjol di daerah Moncongloe; pertama, hutan Moncongloe masih tergolong hutan negara. Pembukaan lahan ini akan mempermudah proses pemilikan lahan dalam jumlah yang besar bagi mereka yang dapat mengontrol pekerjaan tahanan politiktapol. Kedua, hutan bambu yang sangat luas adalah sumber bahan baku pabrik kertas Kabupaten Gowa. Adanya hutan bambu juga menjadi alasan ekonomis pembukaan wilayah ini. Para tapol dipaksa bekerja menebang pohon bambu sebanyak-banyaknya untuk dijual kepada pabrik kertas Gowa. Ketiga, di daerah ini terdapat pohon-pohon besar utamanya bagian pegunungan. Pohon-pohon tersebut memiliki nilai ekonomis. Para tapol dibagi dalam berbagai regu kerja; seperti regu penebang pohon, regu yang khusus membuat papan dan tiang rumah. Regu kerja ini elastis, dapat bertambah ataupun dikurangi tergantung kebutuhan petugas di daerah pengasingan.<ref name=":123"/>
 
Tahanan Kamp Moncongloe didatangkan secara bertahap dari kurun waktu 1969 hingga 1971. Terletak 17 kilometer dari Makassar, Moncongloe yang memiliki arti "Tempat yang Tinggi" bisa ditempuh dengan waktu 40 menit perjalanan darat. Jauh dari hingar bingar kota, tempat ini menyimpan memori pahit. Berdasarkan buku Kamp Pengasingan Moncongloe (Desantara Foundation, 2009), wilayah ini dipilih karena dianggap aman dan mudah dikendalikan lantaran dikelilingi markas Kodam XIV /Hasanuddin. Kamp seluas 150 meter persegi ini menampung 911 jiwa, dengan rincian 859 pria dan 52 wanita. Mereka berasal dari sejumlah kota di seantero Sulsel seperti Majene, Mamasa, Pinrang, Parepare, Barru, Pangkep, Maros, Palopo, Tana Toraja, Takalar, Bantaeng, Bulukumba dan Selayar. Mereka datang secara bertahap ke Moncongloe dari tahun 1969 sampai 1971. Namun seperti penghuni kamp-kamp PKI lainnya, mayoritas di antaranyadiantaranya adalah korban salah tangkap dan dituduh sebagai simpatisan organisasi berlambang palu-arit. Setelah mendekam beberapa lama, tapol Moncongloe harus memenuhi kebutuhannya sendiri. Akan tetapi seiring waktu, mereka pun wajib memenuhi kebutuhan militer entah itu atas nama institusi atau kepentingan pribadi para petugas. Alhasil muncullah eksploitasi berlapis. Sekadar memenuhi kebutuhan pribadi pun menjadi sukar.
 
Dalam upaya memperkuat hegemoninya, pemerintah Orde Baru melakukan kontrol yang ketat terhadap orang-orang yang dianggap komunis. Mereka harus disterilkan dan diisolasi dari masyarakat. Sulawesi Selatan sebagai salah satu basis PKI yang cukup berkembang pada tahun 1960-an tidak luput dari perhatian pemerintah. Orang-orang yang dianggap komunis atau memiliki hubungan dengan PKI di daerah ini ditangkap dan diasingkan serta mendapat kontrol negara yang kuat melalui militer. Kontrol militer menyangkut mengendalikan tapol PKI melalui berbagai instrumen yang bertujuan untuk memperkuat hegemoni. Kontrol militer terlihat sejak periode penangkapan dan pemenjaraan. Secara fisik kontrol dilakukan dengan menerapkan aturan-aturan ketat terhadap tapol. Kontrol dalam penjara bermula Oktober 1965 sampai Maret 1966 dimana jumlah tapol meningkat dengan cepat hingga mencapai 9.765 orang untuk wilayah Sulawesi Selatan dan Tenggara. Mereka berasal dari latar belakang etnik berbeda-beda, di tempatkan di penjara-penjara yang tersebar di Sulawesi Selatan dan Tenggara. Etnik Tionghoa, Bugis-Makassar, dan Melayu memperlihatkan politik sehari-hari yang berbeda selama dalam penjara dan kamp pengasingan.
tahanan politik PKI melalui berbagai instrumen yang bertujuan untuk memperkuat hegemoni. Kontrol militer terlihat sejak periode penangkapan dan pemenjaraan. Secara fisik kontrol dilakukan dengan menerapkan aturan-aturan ketat terhadap tahanan politik. Kontrol dalam penjara bermula Oktober 1965 sampai Maret 1966 dimana jumlah tanahan politik meningkat dengan cepat hingga mencapai 9.765 orang untuk wilayah Sulawesi Selatan dan Tenggara. Mereka berasal dari latar belakang etnik berbeda-beda, di tempatkan di penjara-penjara yang tersebar di Sulawesi Selatan dan Tenggara. Etnik Tionghoa, Bugis-Makassar, dan Melayu memperlihatkan politik sehari-hari yang berbeda selama dalam penjara dan kamp pengasingan.
 
Pada awal penahanan, para tahanan politik hanya mendapat jatah makanan yang minim, dan aturan besuk diberlakukan sangat disiplin, yaitu sekitar pukul 13.00 siang hari dalam waktu yang singkat. Awal tahun 1966, jatah makanan dihentikan. Para tahanan hanya berharap bantuan dari keluarga yang membesuk. Jadwal besuk diperbolehkan setiap hari Kamis dan dibatasi hanya 30 orang pembesuk. Kebijakan ini merugikan para tahanan politik, karena sebagian besar kebutuhan pangan bertumpu pada keluarga mereka. Makanan yang diperoleh di Penjara tidak mencukupi kebutuhan fisik para tahanan politik. Di samping itu, pembesuk semakin berkurang dari hari ke hari karena semakin merosotnya keadaan ekonomi keluarga tahanan politik. Keluarga tahanan politik sebagian sudah tidak memiliki asset karena rumah-rumah mereka sebagian telah dimusnahkan oleh massa atau diambil alih oleh pemerintah orde baru dan keluarga tahanan politik dikucilkan di lingkungan masyarakat sehingga akses ekonomi mereka tertutup.
 
Di tengah kondisi yang buruk, tahanan politiktapol berusaha bertahan hidup dengan melakukan berbagai pola. Diantaranya memelihara ikan di kolam-kolam kecil, berkebun di depan penjara, dan memanfaatkan saluran air kemudian disaring untuk keperluan air minum pada musim kemarau. Ei Ken Heng, seorang tahanan politiktapol yang memiliki keahlian dalam bidang farmasi menjadi tumpuan bagi tahanan politiktapol. Setiap makanan dan minuman yang diusahakan sendiri tahanan politiktapol, seperti ikan saluran air, kodok, dan tumbuh-tumbuhan diperiksa terlebih dahulu untuk melihat aman atau tidaknya untuk dikonsumsi. Ei Ken Heng memotivasi tahanan politik untuk berinisiatif untuk menanam sayur-sayuran dan buah-buahan di depan penjara. Sayuran yang telah ditanam tersebut setidaknya dapat membantu mengurangi kekurangan gizi para tahanan Jenis sayur yang ditaman seperti bayam dan buah tomat, cabai dan lain sebagainya. Sayur biasanya dicampur dengan kuah daging, tahanan politiktapol hanya mengambil beberapa lembar dari sayur tersebut kemudian dicampur dengan kuah daging. Selain menanam sayur, tahanan juga memanfaatkan segala daya mereka untuk mempertahankan hidup. Seperti pemeliharaan ikan-ikan kecil di saluran air (got) penjara kemudian dijadikan lauk pauk. Kondisi tahanan politik dalam penjara yang semakin hari semakin buruk sehingga muncul provokasi perlawanan terhadap petugas penjara. Resistensi tahanan politik dengan koordinasi cukup rapi, mereka melakukan perlawanan secara tersembunyi dan penuh kehati-hatian, mencuri makanan di dapur atau menyembunyikan makanan, mengelabui petugas dengan berpura-pura sakit untuk menghindari kerja bakti, dan lain sebagainya. Upaya tahanan politiktapol ini sama sekali tidak diketahui oleh petugas penjara. Dalam bentuk nyata mereka melakukan perlawanan dengan cara aksi mogok makan. Aksi ini dimaksudkan memprotes jatah makan yang tidak sesuai dengan standar kebutuhan manusia. Boleh jadi perlawanan yang diberikan dengan cara mogok makan itu sebuah langkah tepat untuk menekan pihak penjara agar meningkatkan jatah makan mereka, atau sekaligus sebuah langkah frustasi sehingga memilih sekalian tidak makan daripada menerima jatah makan sangat sedikit. Respon tahanan politik terhadap kontrol militer berujung pada upaya resistensi yang solid. Ini disadari oleh Teperda sebagai suatu yang harus diselesaikan. Bentuk kesadaran ini sehingga pihak Kodam XIV /Hasanuddin mulai memikirkan langkah-langkah kongkritkonkret agar para tahanan dapat bertahan dan tidak membutuhkan dana yang banyak. Banyaknya tahanan politiktapol yang meninggal dan resistensi tahanan politik serta persediaan dana yang minim menjadi pertimbangan perlunya pemanfaatan tahanan politik di lokasi tertentu yang mudah dikontrol oleh militer. Pemikiran ini menjadi cikal bakal berdirinya Kamp Pengasingan tahanan politik Moncongloe. Hal ini juga berdasarkan kewenangan-kewenangan yang diberikan Pangkopkamtib kepada Kodam XIV /Hasanuddin untuk menyelesaikan pengamanan dan pembinaan tapol.
untuk menyelesaikan pengamanan dan pembinaan tahanan politik.
 
== Dari rimbun hutan menjadi kamp konsentrasi ==
 
== Garis waktu ==
Kamp pengasingan Moncongloe diisi oleh para tahanan politiktapol yang sebelumnya mendekam di penjara di wilayah Kodim kabupaten/kota se-Sulawesi Selatan. Mereka ditangkap periode Oktober 1965–Maret 1966 terkait Gerakan 30 S/PKI di Sulawesi Selatan.
* Maret 1969: Gelombang pertama, 11 tahanan dikirim terdiri 7 laki-laki dan 4 perempuan
* Mei 1969: Gelombang kedua, 44 tahanan dikirim
Baris 211 ⟶ 209:
[[Berkas:Kamp_Moncongloe5.jpg|jmpl|262px|(alm.) Muhammad Jufri Buape, eks tahanan politik di Kamp pengasingan Moncongloe saat diwawancarai dan memberikan kesaksian tentang perlakuan para tahanan politik di Kamp pengasingan Moncongloe]]
 
Tahanan politik PKI sebagai orang-orang yang mendapat pelabelan sosial yang selalu digolongkan sebagai masyarakat tidak bersih lingkungan dengan berbagai stempel buruk yang dikenakan kepada mereka. Tetapi pada saat yang sama, para petugas militer di dalam kamp pengasingan juga mengandalkan sumber tenaga dan pikiran para tahanan politik untuk kepentingan pribadi dan institusi militer. Tahanan politikTapol diarahkan untuk membuka lahan perkebunan dan membangun infrastruktur untuk kepentingan militer. Hal ini membuka ruang kontrol dan eksploitasi tenaga tahanan politik secara besar-besaran, sehingga dapat dikatakan bahwa militer satu-satunya unsur yang paling diuntungkan atas pembukaan kamp pengasingan di Moncongloe. Tahanan politikTapol selama masa pengasingan di mana kontrol militer dan strategi bertahan tahanan politiktapol berjalan beriring dan berdinamika. Periode pengasingan menyimpan sejumlah kisah sehari-hari mereka sebagai tahanan memperlihatkan perjuangan tidak kalah sulitnya sebagai kelompok sosial yang distigma buruk oleh negara.politik tahanan politikTapol tidak hanya berurusan dengan aksi-aksi politis yang tergabung dalam komunitas tahanan politiktapol, tetapi politik mereka sehari-hari untuk memenuhi kebutuhan hidup dan/atau strategi bertahan selama dalam pengasingan, seperti tempat tidur, makanan, air, menghindari kekerasan petugas, menghindari korve, mencari penghasilan tambahan, mencuri hasil kebun petugas, dan lain sebagainya. Sebagai sebuah komunitas yang diikat dengan ikatan ideologis dan etnik.
 
;Perbudakan
Keterangan saksi-saksi tersebut di bawah ini menunjukkan terpenuhinya unsur-unsur kejahatan terhadap kemanusiaan dalam bentuk perbudakan, yakni: Bahwa saksi A ditahan sejak September 1970, setelah dipindahkan dari Penjara Makassar. Saksi merupakan tahanan gelombang ketiga yang dikirim ke Moncongloe, Di sana terdapat empat barak laki-laki dan satu barak perempuan. Saksi bersama tahanan lainnya membangun barak, pagar, WC, aula-masjid, poliklinik, pos jaga, gereja, dan dapur umum. Saksi bersama dengan tahanan lain dipekerjakan di beberapa proyek tentara, seperti membuka kebun-kebun pribadi milik tentara, yang luasnya tergantung pada pangkat yang dimiliki tentara yang bersangkutan. Luasnya berkisar antara 4 sampai 6 ha. Saksi mengerjakan kebun-1 kebun tentara sampai dengan tahun 1977. Bahwa saksi B ditahan di Kamp Mocongloe sejak 1972 setelah dipindahkan dari LP Majene, Sulawesi Selatan. Saksi berada di Moncongloe sampai 20 Desember 1977. Selama tinggal di Moncongloe, ia ikut memugar gedung Kodam lama, Gedung Chandra Kirana bersama seorang kapten dari Zeni Bangunan Kodam XIV /Hasanudin, pembangunan 100 unit rumah sederhana prajurit Kodam XIV di Sungguminasa Kabupaten Gowa. Pekerjaan rutin selama di Kamp Moncongloe adalah mengerjakan kebun petugas dari CPM dan petugas sipil, serta mengerjakan perkerjaan lainnya, seperti membuat gambar desain. Jika mereka melihat tahanan malas mereka akan marah. Bahwa saksi C ditahan di Kamp Moncongloe sejak 1970 sampai Agustus 1974. Kegiatan saksi di Moncongloe adalah membuka hutan menjadi ladang dan berkebun. Bahwa saksi D ditahan di Kamp Moncongloe sejak 1971 sampai Desember 1977. Selama ditahan di Kamp Moncongloe mengerjakan membuka hutan untuk dijadikan ladang dan kebun. Bahwa berdasarkan keterangan saksi-saksi tersebut di atas, didapat petunjuk tentang adanya perbudakan dengan cara penggunaan para tahanan untuk membangun barak, pagar, WC, aula-masjid, poliklinik, pos jaga, gereja, dan dapur umum. Para tahanan dipekerjakan di beberapa proyek tentara, seperti membuka kebun-kebun pribadi milik tentara, yang luasnya tergantung pada pangkat yang dimiliki tentara yang bersangkutan. Luasnya berkisar antara 4 sampai 6 ha. Saksi-saksi juga diperlakukan, seperti budak yang diperas tenaganya dengan membuat jalan sepanjang kurang 23 km dari Moncongloe ke [[Daya, Biringkanaya, Makassar|Daya]]. Untuk membuat jalan tersebut, tahanan disuruh mengambil batu dari gunung dan mengangkut ke jalan raya. Selain itu, tahanan disuruh menggarap tanah perkebunan, menanam sampai memanen, membangun, dan memperbaiki rumah perorangan milik petugas, mengambil dan menyusun kayu-bambu yang dijual untuk kepentingan petugas kamsingKamsing Moncongloe. Selama bekerja para saksi tidak pernah mendapatkan upah. Beberapa saksi hanya diberi beras ½ liter per hari dan diberikan pada setiap satu minggu. Dengan demikian ditemukan petunjuk tentang pelanggaran delik dan unsur dimana para pelaku menggunakan salah satu atau semua kekuasaan yang melekat pada hak kepemilikan atas satu orang atau lebih, seperti menjual, membeli, meminjamkan atau tukar-menukar orang atau orang-orang tersebut. Petunjuk ini dapat dipergunakan dalam proses hukum selanjutnya.
 
Unsur perbuatan itu dilakukan sebagai bagian serangan yang tersebar luas atau sistematis yang ditujukan terhadap penduduk sipil; Bahwa, tindakan para pelaku dalam hal ini apparatus yang bertugas di kamp Moncongloe yang melakukan sendiri maupun memerintahkan orang lain dapat dikategorikan sebagai bentuk serangan dengan penggunaan kewenangan dan dan sarana berupa kantor untuk menangkap dan menahan para korban dalam jangka waktu yang sangat lama atau setidak-tidaknya dimulai pada tahun 1970 sampai dengan tahun 1978. Korban-korban yang dimaksud merupakan penduduk sipil berjumlah setidak-tidaknya berjumlah 1000 orang yang diidentifikasi oleh pelaku sebagai anggota, pengurus, atau simpatisan PKI.
Baris 233 ⟶ 231:
 
Kamp Moncongloe adalah satu dari sekian banyak riwayat panjang pelanggaran HAM di masa Orde Baru. Hidup di kawasan tersebut terhitung mengerikan. Sepanjang tahun 1971–1972, wilayah Moncongloe dilanda kemarau panjang. Udara di kamp pengasingan Moncongloe begitu terik. Tanah-tanah seperti terbakar, sungai mengering, singkong begitu susah bertumbuh. Daun-daun liar yang dijadikan sayur semua mati. Tak ada pasokan air bersih hingga listrik. Ladang nanas dan singkong yang jadi tumpuan hidup acap kali dirusak oleh babi hutan dan monyet. Moncongloe yang penuh belukar dan tandus pun sudah memberi ujian hidup untuk para tapol. Ada juga pelecehan seksual dialami para tahanan wanita yang dilakukan oleh petugas kamp. Tak ada upah untuk pekerjaan mereka. Beberapa saksi yang diwawancarai Komnas HAM bahkan mengaku hanya diberi beras setengah liter sehari dan diberikan setiap satu minggu. Belum lagi menyoal banyaknya tahanan yang dijebloskan tanpa surat penahanan atau melalui proses peradilan. Laporan khusus majalah Tempo pada 2012 silam pun menyebut banyak tahanan menderita Hepatitis saking beratnya pekerjaan yang dibebankan sekaligus minimnya asupan gizi.
 
;Perlawanan
Periode pengasingan tahanan politik dapat dikatakan sebagai periode perbudakan tahanan politik. Pada periode ini, tenaga tahanan politik dieksploitasi untuk kepentingan militer, seperti kerja paksa yang dibebankan kepada mereka, membuka lahan perkebunan untuk anggota militer, dan bekerja di rumah-rumah militer tanpa mendapat upah. Ada tiga pola eksploitasi tenaga kerja tahanan politik di Moncongloe: pertama, korve dan konsentrasi tahanan politik di Kamp Inrehab. Kedua, tahanan politik dikerahkan untuk bekerja pada proyek pembangunan unit kantor Kodim dan perumahan militer, serta ada juga yang membangun rumah pribadi anggota militer. Ketiga, Tahanan politik bekerja di rumah-rumah anggota Kiwal Kodam XIV/Hasanuddin. Ketiga pola eksploitasi ini dilakukan oleh militer kepada semua tahanan politik. Tidak ada perlakukan khusus yang diberikan petugas berdasarkan etnisitas dan/atau perbedaan daerah asal, tetapi terdapat pola berbeda dalam merespon kontrol militer. Perbedaan latar belakang sosial budaya tahanan politik mencerminkan pola dan strategi politik sehari-hari yang berbeda dalam menghadapi kontrol militer. Kontrol yang berlapis dilakukan oleh militer terhadap tahanan politik, baik untuk kepentingan pribadi maupun institusi militer, dan kontrol itu digeneralisir pada semua level hubungan-hubungan sosial tahanan politik melahirkan pola resistensi dan akomodasi tahanan politik sebagai strategi untuk bertahan hidup. Pada situasi tertentu tahanan politik melakukan resistensi terhadap kontrol dan pada lain waktu sikap akomodasi menjadi pilihan tepat. Motivasi dan tujuan politik resistensi dan akomodasi, secara personal pada diri tahanan politik juga menunjukkan keberagamanan latar belakang mereka. tahanan politik berasal dari latar belakang berbeda-beda sehingga menunjukkan ekspresi berbeda terhadap kontrol yang ditujukan kepadanya.<ref name=":15"/>
 
Pada respon paling kecil menghadapi kontrol adalah bermalas-malasan bekerja di kebun petugas. Prilaku resistensi ini, misalnya selalu dilakukan oleh Cak Gun yang mendapat tugas bekerja di kebun petugas yang paling jauh dari kamp Inrehab. Kebun yang sulit dijangkau dengan jalan kaki dimanfaatkan oleh Cak Gun untuk bermalas-malasan bekerja di kebun petugas. Bentuk perlawanan semacam ini dilakukan secara personal. Akan tetapi kecenderung resistensi dengan sikap bermalas-malas hampir dialami oleh tahanan politik setiap ada kesempatan. Bentuk perlawanan ini tidak dimaksudkan untuk merubah sistem dominasi militer tetapi sebuah tindakan yang timbul akibat represif dari militer itu sendiri. Kejenuhan dan frustasi mewarnai pola-pola seperti ini. Politik terhadap kontrol militer yang laindengan melakukan pengrusakan kebun-kebun petugas secara sembunyi-sembunyi. Salah satukasus yang dialami oleh Anwar Abbas, dalam proses pengerjaan kebun-kebun petugas yang dibebankan kepadanya secara sengaja memotong akar-akar singkong sehingga tidak menghasilkan apa-apa pada saat panen. Upaya resistensi ini sebagai bentuk penolakan tersembunyi terhadap korve yang dibebankan kepada tahanan politik. Pengrusakan kebun-kebun petugas dilakukan dengan keberanian dan kesiapan mental yang cukup baik, karena resiko resistensi ini sangat besar pula. tahanan politik yang melakukan resistensi dalam aksi merusak milik pribadi petugas biasanya dilakukan oleh anggota PKI yang memang telah terbentuk dalam dirinya sikap anti kemapanan. Namun, sikap protes tersebut tidak dapat disalurkan dalam bentuk frontal sehingga dilakukan secara sembunyi-sembunyi untuk merugikan petugas. Kasus politik tahanan politik lain diperlihatkan oleh Anwar Abbas dengan melakukan pembunuhan binatang-binatang ternak milik petugas inrehab. Alasan pembunuhan ternak itu, bahwa apabila ternak terlalu banyak maka akan menyulitkan tahanan politik untuk memeliharanya. Anak-anak kambing milik petugas terpaksa dibunuh oleh Anwar Abbas pada saat dilahirkan agar dapat mengurangi beban tahanan politik. Modus perlawanan ini dilakukan bekerjasama dengan Dr. Untung dengan melakukan analisa-analisa kematian anak-anak kambing tersebut dengan argumentasi yang direkayasa. Penjelasan-penjelasan yang dibuat-buat oleh Dr. Untung dimaksudkan untuk menjaga keselamatan tahanan politik lain.<ref name=":15"/>
 
Selain itu, pencurian buah labu dari kebun milik petugas kerap kali dilakukan untuk selanjutnya dibagi-bagikan kepada penduduk sekitar Moncongloe. Pencurian labu dilakukan utamanya di kebun-kebun petugas yang melakukan kontrol kuat terhadap tahanan politik. Modus pencurian ini dibagi atas berbagai orang yang melakukan pengintaian atau pengamatan terhadap petugas dengan mempelajari saat-saat kapan petugas tersebut menuju ke kota Makassar. Pada saat petugas tidak ada di tempat, tahanan politik mencuri labu kemudian sebagian diberikan kepada penduduk dan sebagian lagi diberikan kepada Tahanan politik lain. Politik resistensi membunuh ternak dan mencuri hasil kebun petugas dilakukan dengan aksi bersama. Beberapa tahanan politik melakukan aksi ini dengan berkordinasi dengan tahanan politik yang lain. Mereka merencanakan, mengamati keberadaan petugas kemudian melakukan aksi. Sebagian besar tahanan politik yang melakukan resistensi adalah mereka yang berasal dari anggota-anggota PKI dengan pengetahuan resistensi yang cukup baik. Politik akomodasi nampaknya lebih diperlihatkan oleh sejumlah tahanan politik, terutama mereka yang berasal etnik Tionghoa. Politik akomodasi dapat dilihat dalam berbagai prilaku tahanan politik yang berusaha mendekati petugas inrehab secara personal dengan memberikan hasil-hasil hutan kepada petugas. Salah satu contoh, untuk melunakkan hati petugas, Go Kee Iet kerapkali memberikan minyak ular yang didapat di hutan. Tahanan politik etnik Thiongkoa lebih jeli melihat kebutuhan-kebutuhan atau kegemaran-kegemaran petugas untuk menghindari perlakukan keras dari petugas. Sikap akomodasi juga dilakukan dengan memberikan sanjungan atas kehebatan petugas (militer) dalam berbagai bidang. Politik akomodasi ini mendapat tempat yang cukup baik dalam kamp pengasingan karena kelebihan-kelebihan mereka dalam berbagai aspek. Misalnya pengetahuan mereka tentang obat-obatan herbal dengan mudah mendapat kepercayaan petugas. Demikian pula kelebihan mereka dalam bidang perdagangan sehingga Tahanan politik etnik Tionghoa mendapat tugas kerja untuk mengelolah koperasi tahanan politik. Unit Usaha Produksi Koperasi Tahanan politik Moncongloe ditangani oleh Go Kee Iet, seorang Tahanan politik etnik Tionghoa. Go Kee Iet bertugas menghitung jumlah produksi hutan masuk dan keluar, seperti bambu, kayu untuk tiang rumah, batu gunung dan lain sebagainya. Mengenai hasil penjualan bambu, kayu dan batu gunung diserahkan kepada petugas Inrehab. Koperasi menjadi tumpuan bagi tahanan politik untuk memperbaiki kehidupannya, kendatipun pada akhirnya koperasi ini berkembang di bawah kontrol petugas, bahkan menjadi sarana bagi petugas Inrehab untuk mengeksploitasi sumber daya tahanan politik. Dalam catatan Munir dikatakan bahwa: “Sedikit saya bisa memberikan bayangan sebagai salah satu cara untuk meringankan saya ialah bahwa di sana (Moncongloe) kami ada mempunyai koperasi yang anggota-anggotanya terdiri dari tahanan politik semua dari pelaksananya (pengurusnya) dari tahanan politik juga tetapi akan pengawasan petugas (CPM). Catatan ini memperlihatkan koperasi tahanan politik sebagai tumpuan harapan, namun tetap menjadi sarana eksploitasi tahanan politik. Menghadapi kondisi demikian, Go Kee Iet bekerjasama dengan tahanan politik lain terkadang menyelundupkan hasil-hasil hutan untuk dijual kependuduk setempat, atau ditukar dengan kebutuhan sehari-hari.Respon lain diperlihatkan Tahanan politik dengan sikap disiplin terhadap pekerjaan yang diberikan kepada tahanan politik. Beberapa tahanan politik berdisiplin dalam kehidupan seharihari, baik dalam bekerja, beribadah, maupun padasaat upacara setiap hari senin. tahanan politik memperlihatkan sikap seperti ini pada dasarnya sebagai bentuk sindiran halus bahwa kepribadian tahanan politik pada dasarnya tidak seperti yang dipersepsikan oleh pemerintah sebagai orang jahat dan kejam. Tahanan politik juga ingin menunjukkan kekerdilan seorang petugas yang mengeksploitasi tenaga tahanan politik untuk kepentingan pribadi. Politik sehari-hari tahanan politik di atas memperlihatkan pola yang berbeda antar tahanan politik itu sendiri. Nampaknya faktor etnisitas, budaya dan latar belakang tahanan politik memberi ruang perbedaan respon terhadap kontrol. Etnik Tionghoa lebih memiliki politik akomodasi dengan petugas dengan memanfaatkan keahlian mereka, sedangkan politik tahanan politik etnik Melayu lebih memperlihatkan resistensi terhadap kontrol militer. Kendatipun demikian, antara tahanan politik etnik Tionghoa dan tahanan politik etnik Melayu selalu bekerjasama pada aspek tertentu, seperti tahanan politik etnik Tionghoa tetap membantu tahanan politik lain dalam menjual hasil-hasil hutan secara gelap ke penduduk setempat, serta memberi ruang komunikasi yang baik di antara tahanan politik.<ref name=":15"/>
 
Kontrol dan politik sehari-hari tahanan politik senantiasa berubah, berdinamika seiring dengan perubahan-perubahan kontrol militer. Respon tahanan politik juga memperlihatkan pola yang beragam. Di dalam kamp pengasingan Moncongloe tampak bahwa terdapat politik sehari-hari tahanan politik lebih bersifat akomodatif terhadap petugas militer. Akomodatif tahanan politik lebih diperlihatkan dalam bentuk pemberian makanan dan obat-obatankepada petugas militer. Kemudian perlawanan yang terencana dilakukan oleh tahanan politik, seperti mencuri hasil kebun militer, merusak kebun-kebun militer, membunuh ternak militer dan lain sebagainya. Bertahan di tengah perbudakan militer melalui kerja paksa dan kontrol direspon olehtahanan politik dengan beragam strategi. Kemudian pada titik balik tertentu, tampaknya bahwa keberadaan kamp pengasingan Moncongloe telah memperkuat solidaritas antara tahanan politik satu dengan yang lain yang diekspresikan melalui politik resisten sehari-hari. Politik resisten sehari-hari pada dasarnya dilakukan dalam rangka memperjuangkan atau mendapatkan sumber-sumber yang langka (makanan, hiburan pengobatan dan lain sebagainya) serta keamanan diri. Pola resistensi kadang-kadang individual dan kadang-kadang berkelompok sesuai dengan target yang ingin dicapai, tetapi akhir tahun1969 terdapat resistensi massal ketika bahan-bahan kebutuhan pokok semakin kurang, kontrol militer semakin kuat, sementara solidaridas tahanan politik juga semakin menguat dan diekspresikan dalam politik resistensi kolektif yang kuat pula.<ref name=":15"/>
 
;Simpulan
Baris 274 ⟶ 281:
== Budaya populer ==
=== Buku ===
[[Berkas:Kamp_Moncongloe2.jpg|jmpl|262px|Buku "Kamp Pengasingan Moncongloe" 20082009]]
* "Kamp Pengasingan Moncongloe", karya Taufik Ahmad, Penerbit Desantara Depok, tahun 20082009
* "Tragedi di Halaman Belakang: Kisah Orang-Orang Biasa dalam Sejarah Kekerasan Sulawesi", karya Eko Rusdianto, Penerbit EA Books, tahun 2009
* "South Sulawesi: The Militery, Prison Camps and Forced Labour" dalam Douglas Kammed dan Katharine Mc Gregor (ed) The Contours of Mass Violence in Indonesia, 1965-68, karya Taufik Ahmad, Penerbit NUS Press Singapura, tahun 2012