Deskripsi tentang Paotere yang keliru juga terdapat dalam buku “Makassar Tempo Doeloe“ karya Zainuddin (2011) dan karya Abdul Rasyid Idris “Anging Mamiri: Jejak Makassar Tempo Dulu“ (2016).
[[Berkas:Pelabuhan Paotere.jpg|jmpl|Suasana bongkar muat barang di Pelabuhan Paotere pada Oktober 2022.]]
Meski istilah Makassar telah ditemukan sejak abad ke-14 di dalam Kitab [[Kakawin Nagarakretagama|Negarakertagama]], tapi belum ada keterangan mutlak sejak kapan istilah Makassar dipakai untuk nama tempat atau sebagai nama suku bangsa, kata Daud Limbugau lewat tulisan “Sejarah Kota Maritim Makassar Abad 19 – 20“ (1989). Menurutnya, "tidak benar kalau pada abad ke-17 atau sebelumnya ibukota Kerajaan Gowa adalah Makassar. Demikian juga belum dapat dikatakan pada masa itu pelabuhan Makassar ada pula yang dinamakan Kerajaan Gowa dengan ibukota Somba Opu. Kota dan pelabuhan Makassar atau yang sekarang lebih dikenal dengan Ujung Pandang belum ada apa-apa."
Informasi di atas bisa menjadi alasan untuk menyanggah salah satu versi tentang asal usul penamaan Paotere. Dalam buku “Makassar Tempo Doeloe“ karya Zainuddin Tika (2011). Tulisnya, ketika pertama kali memasuki pelabuhan Paotere, bangsa Portugis memberi nama pelabuhan dengan nama "PORTO ENTRE" dalam bahasa Portugis berarti pelabuhan masuk. "Porto Entre" kemudian didengar oleh nelayan Makassar yang disebut dengan lidah mereka dengan Paotere.
Versi di atas lemah sebab masa ketika Portugis ke Makassar, pelabuhan utama Kerajaan Gowa - Tallo adalah muara Sungai Jeneberang atau sekitar Benteng Somba Opu, jarak keduanya sekitar 12 km. Kecil kemungkinan armada Portugis berlabuh begitu jauh dari lokasi berdagang. Dalam peta-peta klasik buatan Eropa pun belum ditemukan ada toponimi Paotere.
Peta 1894, di depan Benteng Rotterdam ada simbol jangkar, sedangkan di Paotere tidak ada. Artinya, Paotere sebagai pelabuhan 'besar' masa itu belum dikenal. Meski sudah mulai difungsikan sebagai pelabuhan alternatif pada 1909, di peta 1923, pantai Paotere belum ada informasi sebagai tempat berlabuh perahu. Beda dengan depan Benteng Rotterdam ada tulisan "Prauwen haven" (pelabuhan perahu).
“Ada laki-laki yang memperbaiki jaring, di tempat lain layar dianyam, serta perahu yang belum selesai dikerja di pantai. Paotéré, desa pembuat tali, …," terjemahan salah satu paragraf di artikel berjudul “Reizen door den Indischen Archipel Naar Celebes” koran De Locomotief terbit 18 Maret 1907.
Di situ disebutkan bahwa Paotere adalah desa pembuat tali. Ini senada dengan tradisi lisan di penduduk Paotere dewasa ini yang menyampaikan bahwa nama tempat mereka berasal dari kata “otereq” yang berarti tali. Dulu di Kawasan tersebut banyak orang Mandar yang membuat tali, yang kemudian disebut “paqotere”. Informasi ini juga dituliskan Horst Liebner dalam tulisannya berjudul “Paotere“ (2000) dan oleh Abdul Rasyid Idris dalam buku “Anging Mamiri: Jejak Makassar Tempo Dulu”.
Kawasan Paotere dimaksudkan untuk mendukung Pelabuhan Samudera Makassar serta mensuplai kebutuhan sehari-hari masyarakat Kota Metropolitan Makassar. Pada tahun 2000 terdapat sekitar 400-500 buah kapal dari 40 perusahaan pelayaran rakyat, yang secara kontinu menggunakan fasilitas pelabuhan ini. Sejak tahun 1982 kolam pelabuhan dilindungi pemecah gelombang (breakwater) sepanjang 400 meter; kolam pelabuhan seluas 4,56 hektar dengan kedalaman yang bervariasi di antara 1 s/d 6m dengan dermaga-dermaga sepanjang 820 meter seluruhnya. Pelabuhan ini dapat menampung 200 perahu yang membawa barang seperti pupuk urea dari Bontang, kayu gergajian berupa papan dan balok dari Kalimantan Timur, barang-barang campuran dan pecah-belah yang kebanyakan berasal dari Jawa Timur serta hasil laut dan pertanian dari pelbagai pulau dan daerah Sulawesi Selatan sendiri; di sini mereka memuat barang-barang seperti semen, terigu, beras dan tepung industri. (Horst Liebner. Paotere. P3MP Universitas Hasanuddin. 2000)
== Sejarah ==
|