Mereka Bilang, Saya Monyet!: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
Glorious Engine (bicara | kontrib)
Glorious Engine (bicara | kontrib)
Baris 94:
''Mereka Bilang, Saya Monyet!'' menggambarkan dampak [[Pelecehan seksual terhadap anak|penganiayaan anak]] dengan cara yang digambarkan oleh majalah [[Tempo (majalah)|Tempo]] sebagai sebuah "eksperimen permainan waktu yang menarik", yakni penuh dengan kilas balik{{sfn|Tempo 2008, Di Layar Lebar}} yang dengan jelas menetapkan kerangka waktu kapan adegan tersebut terjadi.{{sfn|Rahman 2007, Selamat Datang}} Menurut Wicaksono Adi, dalam ulasannya untuk [[Kompas.com|Kompas]], tulisan Adjeng adalah terapinya, karena tulisan tersebut terus-menerus merekonstruksi dan mendekonstruksi masa lalunya yang bermasalah. Wicaksono berpendapat bahwa tulisan tersebut pada akhirnya memungkinkan Adjeng untuk melawan figur otoritas yang mengganggunya sejak masih kecil.{{sfn|Adi 2008, Monyet Itu}} Dalam sebuah dokumenter mengenai pembuatan film ini, Djenar mengatakan bahwa ia tidak memikirkan pesan moral atau kritik sosial apapun saat membuat film ini, tetapi ia hanya menganggap film ini sebagai bentuk eksplorasi diri.{{sfn|Ayu|2008|loc=9:00–9:23}} Walaupun begitu, ia mengakui bahwa film ini dapat dilihat sebagai sebuah kritik untuk [[kekerasan terhadap perempuan]] dan anak.{{sfn|Ayu|2008|loc=9:30–9:56}}
 
Wicaksono juga melihat adanya [[hubungan cinta-benci]] antara Adjeng dan ibunya, yang berujung pada pergaulan bebas Adjeng, sebuah alur yang lazim digunakan dalam gerakan [[Sastra wangi|Sastra Wangi]], yang mana Djenar dianggap termasuk di dalamnnyadalamnya. Hubungan antara ibu dan anak juga pernah dimunculkan di film-film sebelumnya, seperti ''[[Pasir Berbisik]]'' (2001) karya [[Nan Achnas]] dan ''[[Eliana, Eliana]]'' (2003) karya [[Riri Riza]]. Namun, berbeda dengan dua film tersebut, film ini tidak berakhir dengan ibu dan anak memilih jalan yang berbeda.{{sfn|Adi 2008, Monyet Itu}} Pengulas Totot Indrarto, yang juga menulis untuk Kompas, menulis bahwa Adjeng adalah karakter "[[monyet]]" di film ini, karena dipandang rendah oleh orang-orang di sekitarnya. Namun, orang-orang di sekitar Adjeng sebenarnya tidak mengenalnya dengan baik, sehingga menurut Indrarto, orang-orang di sekitar Adjeng lah yang sebenarnya "monyet".{{sfn|Indrarto 2008, Demokratisasi Selera Monyet}}
 
Sebuah ulasan di [[Tempo (majalah)|Tempo]] menggambarkan film ini sebagai "anti-Sjuman", karena terdapat perbedaan gaya antara [[Sjumandjaja]] dan anaknya, Djenar. Film-film karya Sjumandjaja cenderung berada di bawah [[Realisme sosialis|realisme sosial]], sementara film karya Djenar ini lebih bersifat personal dan [[Simbolisme|simbolis]]{{sfn|Tempo 2008, Di Layar Lebar}} dengan sentuhan [[surealisme]].{{sfn|Adi 2008, Monyet Itu}} Film ini tidak menampilkan [[pencabulan]] Adjeng, tetapi hanya menyimbolkannya dengan menampilkan [[lintah]] yang sedang makan. Pada saat Adjeng [[Pemerkosaan|diperkosa]] di bak mandi dan akhirnya kehilangan [[keperawanan]]<nowiki/>nya, film ini juga hanya menyimbolkannya dengan menampilkan air berwarna merah darah dan banyak lintah yang sedang makan.{{sfn|Tempo 2008, Di Layar Lebar}}