Negara-negara Tentara Salib: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
Baris 32:
Arus [[migrasi bangsa Turki]] memasuki kawasan Timur Tengah sejak abad ke-9. Laskar-[[Ghazi|laskar Muslim penyerbu perbatasan]] menawan warga [[Nomaden|kaum kelana]] Turki di daerah-daerah perbatasan [[Asia Tengah]] dan menjual mereka kepada para petinggi Muslim. Di tangan para petinggi Muslim, mereka dilatih menjadi tentara budak. Tentara budak disebut ''[[gulam]]'' atau ''[[mamluk]]'', dan dimerdekakan bilamana memeluk agama Islam. Mamluk dinilai tinggi karena terkenal sangat setia kepada majikan tempatnya menggantungkan nasib. Dalam konteks politik Timur Tengah, kesetiaan semacam itu membuat mereka menjadi pihak yang lebih dipercaya daripada kaum kerabat sendiri.{{efn|[[Wazir]] dan kepala pemerintahan efektif [[Kesultanan Seljuk Raya|Kemaharajaan Seljuk Raya]], [[Nizham al-Mulk|Nizamul Muluk]], menjabarkannya secara tertulis di dalam sebuah [[Siyasatnamah|kitab pedoman kepemimpinan Islami]].}} Beberapa orang keturunan mamluk pada akhirnya berjaya mengangkat derajatnya menjadi negarawan penentu suksesi kepemimpinan, bahkan ada pula yang menjadi wangsakarta.{{sfn|Findley|2005|pp=65–68}}{{sfn|Holt|1986|pp=6–7}}
Pada pertengahan abad ke-11, sebuah puak kecil dari suku [[Oghuz Turk|Turki Oghuz]] yang diberi nama "[[Dinasti Seljuk|Seljuk]]" menurut nama [[Seljuk (panglima perang)|leluhurnya]] yang terkenal sebagai seorang panglima perang dari [[Transoksiana|negeri di seberang Sungai Oksos]], sudah berhasil menguasai [[Khorasan Raya|Khurasan]], [[Iran]], dan Bagdad. Di Bagdad, cucu Seljuk yang bernama [[Tughril|Tugril]] dianugerahi gelar ''[[sultan]]'' (kata [[bahasa Arab|Arab]] yang berarti "kuasa") oleh [[Daftar khalifah Bani Abbas|Khalifah Bani Abbas]]. Sang khalifah tetap dimuliakan selaku penguasa yang sah, tetapi kekuasaan politik berada di tangan pada sultan.{{sfn|Findley|2005|pp=68–69}}{{sfn|Holt|1986|pp=222, 224}} Wangsa Seljuk meraih kejayaannya dengan cara-cara kekerasan. Wangsa Seljuk membawa masuk gaya hidup kelana dalam masyarakat Levans yang sudah hidup menetap, dan menetapkan suatu pola acuan yang diikuti puak-puak kelana Turki lainnya semisal [[Danishmend|wangsa Danisymend]] dan [[Dinasti Artuqiyah|wangsa Artuk]]. Kemaharajaan Seljuk Raja tidak terpusat, menuturkan aneka bahasa, dan terdiri atas beragam suku-bangsa. Generasi muda wangsa Seljuk yang mengepalai pemerintahan daerah yang dianugerahkan kepada mereka sebagai [[apanase|bumi lungguh]] diberi gelar ''[[malik]]'', kata Arab yang berarti "raja".
 
Para panglima Mamluk yang menjadi pembimbing sekaligus pengasuh bagi pangeran-pangeran belia wangsa Seljuk memegang jabatan ''[[atabeg]]'', kata [[bahasa Turki|Turki]] yang berarti "bapa panglima". Jika anak asuhnya dianugerahi daerah bumi lungguh, maka atabeglah yang menjalankan pemerintahan daerah itu selaku patih sang malik yang belum cukup umur. Adakalanya atabeg terus berkuasa sesudah anak asuhnya cukup umur atau wafat.{{sfn|Findley|2005|p=71}}{{sfn|Holt|1986|pp=66–67}} Wangsa Seljuk mengadopsi dan memperkuat sistem ''[[iqta']]'', tata usaha penerimaan negara tradisional. Sistem ini menjamin kelancaran pembayaran upah para panglima pasukan melalui penganugerahan hak kepada mereka untuk memungut pajak bumi di wilayah kewenangan yang jelas batas-batasnya, tetapi membuat wajib pajak rentan menjadi korban keserakahan penguasa yang berhalangan hadir maupun perlakuan semena-mena dari para pegawainya.{{sfn|Holt|1986|pp=68–69}}{{sfn|Cobb|2016|p=27}} Meskipun roda pemerintahan negara wangsa Seljuk berjalan lancar manakala ikatan kekeluargaan dan kesetiaan perorangan bertumpang tindih dengan ambisi pribadi kepala negara, anugerah ''iqta''' yang berlimpah ruah ditambah lagi dengan persaingan di antara para malik, para atabeg, dan para panglima pasukan, berpeluang menimbulkan perpecahan pada masa-masa genting.{{sfn|Cobb|2016|pp=82–83}}