Kerajaan Kotawaringin: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
Alamnirvana (bicara | kontrib)
Alamnirvana (bicara | kontrib)
Baris 56:
* Menurut [[Hikayat Banjar]] yang bab terakhirnya ditulis pada tahun [[1663]], sejak masa kekuasaan [[Maharaja Suryanata]]/Raden Aria Gegombak [[Janggala]] [[Rajasa]]/Raden Suryacipta, seorang pangeran dari Majapahit yang menjadi raja Negara Dipa (Banjar kuno) yang ke-2 pada masa Hindu, orang besar (penguasa) Kota Waringin sudah menjadi taklukannya, di sini hanya disebutkan orang besar, jadi bukan disebut raja seperti sebutan penguasa negeri lainnya pada masa yang bersamaan. Kota Waringin dalam Hikayat Banjar disebutkan sebagai salah satu ''tanah yang di bawah angin'' (negeri di sebelah barat) yang telah ditaklukan.
* Sebelum berdirinya Kerajaan Kotawaringin, Raja-raja Banjar sebagai penguasa sepanjang pantai selatan dan timur [[pulau Kalimantan]] telah mengirim menteri-menteri atau ketua-ketua untuk mengutip [[upeti]] yang dipaksa kepada penduduk Kotawaringin. Nenek moyang [[suku Dayak]] yang tinggal di hulu-hulu [[sungai Arut]] telah memberi kepada [[Sultan Banjarmasin]] debu [[emas]] sebanyak yang diperlukan untuk membuat sebuah [[kursi]] emas. Selepas itu dua orang [[menteri]] dari [[Banjarmasin]] bernama '''Majan Laut''' dan '''Tongara Mandi''' telah datang dari [[Distrik Tabanio|Tabanio]] (Laut Darat/Tanah Laut) ke [[Kumai, Kotawaringin Barat|Kumai]] dan tinggal di situ. Kedua bersaudara inilah yang mula-mula membawa [[Islam]] ke wilayah Kotawaringin. Majan Laut kemudian terlibat perseteruan dengan saudaranya dan selanjutnya ia pindah dari Kumai ke [[Belitung]] dan tinggal di sana. Tongara Mandi kemudian pindah dari Kumai ke daerah kuala Kotawaringin di mana dia sebagai pendiri '''Kotawaringin Lama''' di pinggir [[sungai Lamandau]]. Dia kemudian meninggalkan tempat ini karena diganggu oleh lanun/perompak dan membuka sebuah kampung baru, lebih jauh ke hulu, di sungai Basarah, salah satu anak sungai di sebelah kiri. Dalam [[Hikayat Banjar]] tokoh yang mendapat perintah dari Marhum Panembahan [sultan Banjar IV yang berkuasa 1595-1638] untuk menjabat adipati Kotawaring bernama '''Dipati Ngganding''' dari golongan [[Andin]] dan juga sebagai [[mertua]] dari '''Pangeran Dipati Anta-Kasuma''' karena menikahi '''Andin Juluk''', puteri dari Dipati Ngganding. Sebelumnya Pangeran Dipati Anta-Kasuma juga menikahi Nyai Tapu puteri dari seorang [[Mantri Sakai|Mantri]] [[Kahayan]]. Pada masa sebelumnya Sultan Mustainbillah telah menikahkan Dipati Ngganding dengan Aji Ratna puteri [[Adji Tenggal|Aji Tunggul]] (adipati [[Kesultanan Pasir|Pasir]]). Pasangan ini memperoleh dua puteri yaitu Andin Juluk dan Andin Hayu.
* Lebih kurang [[15]] tahun kemudian, Kiai Gede putera dari Majan Laut datang dari Belitung dan tinggal dengan pamannya, Tongara Mandi. Kiai Gede membujuk pamannya untuk mengkaji keadaan negeri tersebut dan memilih suatu tempat yang lebih sesuai sebagai ibu kota. Untuk tujuan ini mereka mula-berjalan menghulu sungai Arut dan tempat tinggal mereka saat itu dekat Pandau. Kemudian mereka membuat perjalanan menghulu [[sungai Lamandau]], hingga ke anak [[sungai Bulik]]. Kemudian mereka bermimpi bahwa mereka mestilah menetapkan lokasi yang terpilih pada tempat di mana perahu mereka melanggar sebuah batang pohon pisang, kemudian mereka juga berlayar menuju hilir. Sesuai mimpi tersebut mereka menemukan suatu lokasi yang tepat yang kemudian menjadi lokasi di mana terletak Kotawaringin tersebut. Tetapi lokasi tersebut sudah terdapat suatu kampung Dayak yang besar yang disebut Pangkalan Batu. Penduduk kampung tersebut enggan membenarkan para pendatang ini tinggal di sana. Oleh sebab itu mereka menghalau orang Dayak dari situ dan merampas dari mereka beberapa pucuk ''cantau'' (senapang) Cina dan dua buah ''belanga'' (tempayan Cina). Orang Dayak yang kalah tersebut berpindah ke arah barat yaitu tasik Balida di [[sungai Jelai]] dan menyebut diri mereka '''Orang Darat''' atau '''Orang Ruku'''. Oleh karena dia sudah tua, Tongara Mandi kemudian menyerahkan pemerintahan kepada Kiai Gede. Perlahan-lahan Kiai Gede meluaskan kuasanya kepada suku-suku [[Dayak]] dan tetap tergantung pada [[Kesultanan Banjarmasin]] (Marhum Panembahan). Selama [[35]] tahun pemerintahan '''Kiai Gede''', saat itu pula kedatangan Pangeran Dipati Anta-Kasuma putera dari Marhum Panembahan (Sultan Banjar IV). Kedatangannya disertai '''Putri Gilang''' anaknya. Sebelumnya mereka bersemayam di [[Kahayan]], [[Mendawai, Katingan|Mendawai]] dan [[Sampit]]. Kemudian mereka berangkat ke [[Danau Sembuluh, Seruyan|Sembuluh]] dan [[Pembuang]], di tempat terakhir inilah Pangeran Dipati Anta-Kasuma sempat tertarik dan ingin bersemayam pada lokasi tersebut tetapi dilarang oleh para menterinya. Ia bersumpah bahwa semenjak saat itu tempat tersebut dinamakan [[KualaDistrik PembuangPambuang|Pembuang]] artinya tempat yang terbuang atau tidak jadi digunakan. Dari sana kemudian Pangeran berangkat ke sungai Arut. Disini dia tinggal beberapa lama di kampung [[Pandau, Arut Utara, Kotawaringin Barat|Pandau]] dan membuat perjanjian persahabatan dengan orang-orang Dayak yang menjanjikan taat setia mereka.<ref name="Pijnappel"/> Perjanjian ini dibuat pada sebuah batu yang dinamakan Batu Patahan, tempat dikorbankannya dua orang, di mana seorang Banjar yang menghadap ke laut sebagai arah kedatangan orang Banjar dan seorang Dayak yang menghadap ke darat sebagai arah kedatangan orang Dayak, kedua disembelih darahnya disatukan berkorban sebagai materai perjanjian tersebut.<ref>{{Cite web |url=http://www.sinarharapan.co.id/feature/wisata/2003/1016/wis01.html |title=Kotawaringin Lama, Wisata Budaya yang Terlupakan |access-date=2007-06-18 |archive-date=2007-09-30 |archive-url=https://web.archive.org/web/20070930181620/http://www.sinarharapan.co.id/feature/wisata/2003/1016/wis01.html |dead-url=yes }}</ref> Kemudian Pangeran berangkat ke Kotawaringin di mana [[Kiai Gede]] mengiktirafkan dia sebagai raja dan dia sendiri menjabat sebagai [[mangkubumi]].
* Pada masa ini Pangeran Dipati Anta-Kasuma telah membuat perhubungan dengan seorang putera dari '''Ratu Bagus Sukadana'''/'''Ratu Mas Jaintan'''/'''Putri Bunku''' dan '''Dipati Sukadana'''/'''Penembahan Giri Kusuma''' dari [[Kerajaan Tanjungpura|Kerajaan Sukadana/Tanjungpura]],<ref>Hikayat Banjar hlm 347: "Sudah kemudian itu maka anak Ratu Bagus di Sukadana, namanya Raden Saradewa itu, diperisterikan lawan Putri Gilang, anak Pangeran Dipati Anta-Kasuma itu.........sudah itu maka pangandika Marhum Panambahan, semasa ini anak Dipati Sukadana itu tiada lagi kupintai upati lagi seperti tatkala zaman dahulu itu. Sekaliannya upati Sukadana itu sudah kuberikan arah cucuku Si Dayang Gilang itu, jikalau ia beranak sampai kepada anak-cucunya itu. Hanya kalau ada barang kehendakku itu, aku menyuruh"....</ref> Raja Matan Sukadana, yaitu '''Murong-Giri Mustafa''' <ref name="Pijnappel"/> (= '''Sultan Muhammad Syafiuddin''' 1623/7-1677) atau di dalam Hikayat Banjar disebut '''Raden Saradewa''' <ref name="hikayat banjar"/> yang telah meminang puteri Pangeran Dipati Anta-Kasuma yaitu Putri Gelang (= Dayang Gilang) untuk dirinya . Baginda dianugerahkan daerah Jelai yang sebelumnya telah ditaklukan oleh Kotawaringin sebagai hadiah perkawinan. Perkawinan tersebut dilaksanakan di Martapura. Dengan adanya perkawinan tersebut maka Marhum Panembahan (Sultan Banjar IV) mengatakan bahwa Dipati Sukadana tidak perlu lagi mengirim upeti setiap tahun seperti zaman dahulu kala kepadanya karena sudah diberikan kepada cucunya Putri Gelang dan jikakalau ia beranak sampai ke anak cucunya. Selepas itu Dipati Ngganding diperintahkan diam di Kotawaringin. Putri Gelang wafat setelah 40 hari melahirkan puteranya. Raden Saradewa pulang ke Sukadana, sedangkan bayi yang dilahirkan Putri Gelang kemudian tinggal dengan Pangeran Dipati Anta-Kasuma di [[Martapura]] kemudian dinamai '''Raden Buyut Kasuma Matan'''/'''Pangeran Putra''' (= ayah Sultan Muhammad Zainuddin I?) oleh Marhum Panembahan, yang merupakan salah satu dari tiga cicitnya yang diberi nama ''buyut'', karena ketika itulah Marhum Panembahan pertama kali memiliki tiga orang [[cicit]], yang dalam [[bahasa Banjar]] disebut ''buyut''. Raden Buyut Kasuma Matan saudara sepersusuan dengan Raden Buyut Kasuma Banjar putera Raden Kasuma Taruna (= Pangeran Dipati Kasuma Mandura).<ref name="hikayat banjar"/>
* Sultan Banjar V, Inayatullah (= Pangeran Dipati Tuha 1/Ratu Agung), abangnya Pangeran Dipati Anta-Kasuma menganugerahkan gelar '''Ratu Kota Waringin''' kepada Pangeran Dipati Anta-Kasuma, kemudian menyerahkan desa-desa di sebelah barat Banjar (= sungai Barito) hingga ke Jelai ([[sungai Jelai]]). Ratu Kota-Waringin kemudian kembali ke Kotawaringin sambil membawa serta Raden Buyut Kasuma Matan.<ref name="hikayat banjar"/> Ratu Kota Waringin sebenarnya tidak bersemayam di ''dalem'' (istana) tetapi di atas sebuah rakit besar (= ''lanting'') yang ditambatkan di sana. Ratu Kota-Waringin memperoleh seorang puteri lagi yang dinamai Puteri Lanting, dengan seorang wanita yang dikawininya di sini.<ref name="Pijnappel"/> Baginda berangkat ke sungai Jelai dan membuka sebuah kampung di pertemuan sungai Bilah dengan sungai Jelai. Daerah ini dinamakan [[Sukamara]] karena ada suka dan ada mara (= maju).<ref name="hikayat banjar"/>