Negara-negara Tentara Salib: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
Baris 150:
Rata-rata warga pribumi bermatapencaharian sebagai [[petani gurem]]. Piagam-piagam dari awal abad ke-12 memperlihatkan bukti penghibahan tenaga ''[[villanus]]'' ([[serf|kawula tani]] merdeka) setempat kepada bangsawan-bangsawan dan lembaga-lembaga keagamaan. Mungkin ini adalah salah satu cara untuk menandai pendapatan yang diterima dari para ''villanus'' tersebut atau pendapatan dari tanah yang tidak jelas batas-batasnya. Kawula tani pribumi disebut ''villanus'' atau ''surianus'' jika beragama Kristen, dan disebut ''sarracenus'' jika beragama Islam. Istilah ''servus'' hanya dipakai sebagai sebutan bagi sekian banyak budak rumah tangga perkotaan yang dimiliki orang Peringgi. Penggunaan istilah ''villanus'' diduga mencerminkan status lebih terhormat yang dimiliki warga desa atau kawula tani di Timur Dekat. Warga pribumi dianggap memiliki lahan garapan tetap, alih-alih dianggap bukan orang merdeka. Status ''villanus'' berbeda dari status kawula tani di Barat, karena mereka boleh kawin dengan orang dari luar daerah kekuasaan majikannya, tidak diwajibkan bekerja bakti, serta dapat menguasai tanah dan mewariskan harta. Meskipun demikian, lantaran orang Peringgi butuh produktivitas tetap terjaga, warga desa pun dibuat terikat dengan tanah garapannya. Piagam-piagam menunjukkan bahwa tuan-tuan tanah sepakat untuk memulangkan ''vilanus'' tuan tanah lain yang mereka dapati di tanah mereka. Petani diwajibkan menyerahkan seperempat sampai setengah dari hasil panennya kepada majikan. Peziarah Muslim [[Ibnu Jubair]] melaporkan adanya pungutan pajak per kapita sebesar satu [[dinar]] lima [[qirat]] (satu qirat sama dengan seperdua belas dirham) tiap orang dan pajak hasil bumi dari pohon-pohon. Piagam-piagam abad ke-13 menunjukkan bahwa pajak-pajak tersebut dinaikkan sesudah runtuhnya Kerajaan Yerusalem perdana untuk menambal kehilangan pendapatan orang Peringgi. Sejarawan Christopher MacEvitt mengemukakannya sebagai alasan bahwa istilah <em>petani berikatan kerja</em> adalah istilah yang lebih tepat digunakan ketimbang istilah ''kawula tani'' untuk menyifatkan warga pedesaan di dalam wilayah kekuasaan orang Latin di Dunia Timur.{{sfn|MacEvitt|2008|pp=142–147, 149}}
Ketidaksamaan bahasa terus menjadi unsur pembeda utama yang memisahkan tuan-tuan Peringgi dari masyarakat pribumi. Orang Peringgi lazimnya bertutur dalam [[bahasa Prancis Lama]] dan bersurat dalam [[bahasa Latin]]. Meskipun ada orang Peringgi yang belajarmempelajari bahasa Arab, [[bahasa Yunani|Yunani]], [[bahasa Armenia|Armenia]], [[bahasa Suryani|Suryani]], dan [[bahasa Ibrani|Ibrani]], belajar bahasa asing bukanlah kegiatan yang lumrah pada masa itu.{{sfn|Asbridge|2012|p=177}} Masyarakat terstratifikasi secara politik dan hukum. Komunitas-komunitas berbasis etnis merupakan komunitas-komunitas swatantra, dan perhubungan lintas komunitas diatur oleh orang Peringgi.{{sfn|Tyerman|2019|p=127}} Telah dilakukan penelitian yang berfokus pada peran para ''[[rais]]'', istilah Arab yang berarti pemimpin, penghulu, atau wali kota. Riley-Smith membedakan para ''rais'' menjadi glongan orang merdeka perkotaan dan golongan buruh tani pedesaan. Para ''rais'' mengelola harta kekayaan orang Peringgi, mengepalai komunitas-komunitas pribumi, dan sering kali adalah tuan-tuan tanah setempat yang terpandang. Jika komunitas-komunitasnya tersegregasi, seperti yang ditunjukkan oleh bukti tertulis dan diidentifikasi oleh Riley-Smith dan Prawer, konflik antarkomunitas dihindari dan interaksi antara tuan tanah dan kawula tani dibatasi. McEvitt mengidentifikasi kemungkinan adanya ketegangan antar kelompok yang saling bersaing. Menurut catatan para ahli hukum abad ke-13, ''rais'' mengetuai ''Cour des Syriens'' (mahkamah orang Suriah) di kota-kota, dan bukti lain menunjukkan bahwa adakalanya para ''rais'' memimpin pasukan tempur.{{sfn|MacEvitt|2008|pp=149}} Mahkamah-mahkamah komunitas pribumi mengadili sengketa-sengketa perdata dan pidana ringan. Mahkamah orang Peringgi, yakni ''cour des bourgeois'' atau mahkamah borjuis, yakni sebutan bagi orang-orang Peringgi yang bukan bangsawan, mengadili pelanggaran-pelanggaran dan perkara-perkara lebih serius yang melibatkan orang Peringgi.{{sfn|Prawer|1972|p=81}} Tingkat asimilasi sulit diidentifikasi, lantaran terbatasnya bukti material.<!-- Arkeologi The archaeology is culturally exclusive dan penginggabukti tertulis written evidence indicates deep religious divisions. Some historians assume the states' heterogeneity eroded formal apartheid.{{sfn|Tyerman|2019|pp=126–136}} Unsur utama dastatus and economic position was between urban and rural dwellers. Bumiputra Kristen dapat menaikkan status dan menimbun kekayaan melalui usaha dagang dan industri di kota-kota, tetapi hanya segelintir bumiputra Muslim yang tinggal di daerah perkotaan selain budak.{{sfn|Jotischky|2004|pp=128–130}}
Frankish royalty reflected the region's diversity. Queen Melisende was part Armenian and married Fulk from Anjou. Their son Amalric married a Frank from the Levant before marrying a Byzantine Greek. The nobility's use of Jewish, Syrian, and Muslim physicians appalled William of Tyre. Antioch became a centre of cultural interchange through Greek- and Arabic-speaking Christians. The indigenous peoples showed the Frankish nobility traditional deference and in return Franks adopted their dress, food, housing, and military techniques. However, Frankish society was not a cultural melting pot. Inter-communal relations were shallow, identities separate, and the other communities considered alien.{{sfn|Tyerman|2019|pp=127, 131, 136–141}}