Dalam masa pemerintahan La Elangi (1579–1631) sebagai Sultan Buton IV. keempat kerajaan tersebut di atas ditetapkan sebagai wilayah barataBarata dari Kesultanan Buton. Keempat wilayah Barata Kesultanan Buton itu masing-masing mengatur dirinya dengan Dewan Legislatif dan Dewan Pemerintahannya sendiri-sendiri. Pada pertengahan abad ke-19, semua Barata kecuali [[Kerajaan Muna]] sudah merupakan wilayah yang menyatu dengan Kesultanan Buton. Muna tetap berpegang teguh pada tradisi hubungannya dengan Buton sebagai dua kerajaan bersaudara. Selalu menolak kedudukan sebagai Barata dari Buton. Persaudaraan kedua kerajaan itu terjalin ketika diangkatnya Murhum yang menjabat raja Muna, diangkat juga sebagai raja (kemudian sultan) di Buton. Sementara itu, di Muna ia digantikan oleh adiknya La Posasu, dan sejak itu pulau Muna bagian selatan digabungkan ke dalam Kerajaan Buton. Namun dalam sepanjang sejarahnya, Muna sering bertentangan dengan Buton yang selalu menempatkan Muna pada pihak yang dirugikan. Setiap kekalahan Muna dalam menghadapi Buton. Buton selalu menempatkan pejabatnya sebagai pejabat raja Muna. Hal itu merupakan pangkal pertentangan Muna terhadap Buton. Konon pada kurun waktu yang hampir bersamaan. Kerajaan Muna juga berada di bawah pengaruh kekuasaan [[Kesultanan Ternate]].
Pada tahun 1655, [[Sultan Hasanuddin]] dari [[Kerajaan Gowa|Gowa]] menyerang Buton serta berhasil menguasai Muna dan Tiworo. Raja Muna Sangia Kaindea menjadikan kesempatan ini untuk bebas dari pengaruh Ternate tanpa sepengetahuan Ternate sendiri (Abdul Razak Daeng Patunru, 1967).