Barata (sistem politik): Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
Blackman Jr. (bicara | kontrib)
Tidak ada ringkasan suntingan
Tag: Suntingan perangkat seluler Suntingan peramban seluler
Blackman Jr. (bicara | kontrib)
Tidak ada ringkasan suntingan
Tag: Suntingan perangkat seluler Suntingan peramban seluler
Baris 11:
Sultan Buton tanpa sepengetahuan raja Gowa. Penyerahan ini kemudian ditentang oleh raja Muna dan tidak mengakui kekuasaan Buton atas Muna. Atas bantuan VOC dan Ternate, Sangia Kaindea dapat ditangkap dan dibawa ke Ternate. Selama di Ternate jabatan raja Muna dipegang oleh istrinya Wa Ode Wakelu anak dari La Manempa ''sapati'' Buton waktu itu. Sesudah peperangan Gowa, Sangia Kaindea kembali ke Muna sebagai raja Muna tetapi pemerintahan sebenarnya dijalankan oleh La Ode Idris seorang ''kapitalau'' dari Buton. Pemerintahan La Ode Idris ini disebut Muna sebagai Sarano Kraindeadea. Cucu Sangia Kaindea eaja Muna La Ode Husai Omputo Sangia pada masa pemerintahannya selalu tidak mengakui kekuasaan Buton atas Muna. Tetapi Belanda menganggap Muna sebagai "Vrij en on van Boeton".<ref>''Lightvoot'', 1878.</ref>
 
Pada tahun 1816, Muna bersama Tiworo dengan bantuan Syarif Ali dari [[Sulawesi Selatan]] kembali menentang Buton. Perang ini berlangsung sampai akhir 1823 dengan kekalahan Muna dan Tiworo. Seorang ''kapitalau'' dari Buton ditunjuk oleh sultan Buton sebagai pejabat raja Muna yaitu La Ode Ngkumabusi.<ref>''Sejarah Daerah Sulawesi Tenggara'', 1978.</ref>
 
Uraian diatas memperlihatkan bahwa sepanjang abad ke-16 sampai abad ke-19, disamping adanya hubungan persaudaraan Muna yang merupakan wilayah Barata dari Buton, walaupun Muna berdaulat didalamnya, dipihak lain orang Muna sampai masa-masa terakhir ini tidak mengakui negerinya sebagai bawahan Buton. wilayah Barata yang lain yaitu Kulisusu, Tiworo, dan Kaledupa dalam perkembangannya secara bertahap menjadi wilayah kesultanan Buton dengan kedudukan khusus sebagai Barata dan pejabat-pejabatnya selalu ditentukan dari Keraton Buton.