Martir Korea: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
Baris 25:
Secara politis, penganiayaan-penganiayaan tersebut mestilah dipahami dalam konteks [[kolonialisme]] dan meningkatnya penetrasi kekuatan-kekuatan Eropa ke dalam urusan-urusan Asia Timur. Umat Kristiani, sebagai penganut sebuah agama Eropa - khususnya umat Katolik, yang karena imannya menjadi bagian dari sebuah sistem hirarkis dengan Sri Paus pada puncaknya - dianggap berpotensi menjadi ujung tombak penetrasi Eropa ke dalam negara Korea. Lebih dari itu, pemujaan leluhur merupakan sebuah aspek penting dalam [[Konfusianisme]] yang menjadi legitimasi monarki Korea - dan mempertanyakan pemujaan tersebut dapat dianggap meremehkan asas monarki. Meskipun demikian, pada kenyataannya penganiayaan atas umat Katolik itu sendiri malah mempercepat penerobosan militer Eropa - dan rongrongan terhadap kemerdekaan Korea bukan datang dari kekuatan-kekuatan Eropa melainkan justru dari tetangga non-Kristennya, Jepang.
 
Penganiayaan itu diketahui telah menelan korban sekurang-kurangnya 8.000 [[martir]]. Di antaranya adalah [[imam]] Korea yang cemerlang [[Andrew Kim Taegon|Andreas Kim Taegŏn]] dan katekis awam Korea [[Paulus Chong Hasang|Paulus Chŏng Hasang]]. Mayoritas dari para martir tersebut adalah umat awam, baik pria maupun wanita, sudah maupun belum menikah, tua maupun muda. 79 martir Korea dibeatifikasi pada 1925, 24 martir lagi dibeatifikasi pada 1968, dan. 103 martir tersebut bersama-sama dikanonisasi pada 1984, dengan hari peringatanyangdan ditetapkandiperingati tiap tanggal [[20 September]]. Saat ini, Korea menduduki peringkat ke-4 sebagai negara dengan Orang Kudus terbanyak dalam Gereja Katolik sedunia.
 
Kutipan dari surat terakhir Andreas Kim Taegŏn kepada umat parokinya sewaktu menantikan kesyahidannya bersama 19 orang lainnya: