==== ''Verbond'' 16 Januari 1679 ====
Asal usul penyebab perang ini bermula dari sebuah ''Verbond'' atau perjanjian antara para ''Ukungukung'' Minahasa dan Belanda pada tanggal 10 Januari 1679 di Benteng Amsterdam.{{Sfn|Wenas|2007|p=44-45}} Perjanjian ini mengandung beberapa poin yang akan disetujui oleh beberapa perwakilan Ukung''ukung'' Minahasa, seperti Ukung dari [[Walak]] Ares, [[Klabat, Dimembe, Minahasa Utara|Klabat]], Bantik, [[Maumbi, Kalawat, Minahasa Utara|Klabat-Atas (Maumbi)]], [[Kakaskasen, Tomohon Utara, Tomohon|Kakaskasen]], [[Kota Tomohon|Tomohon]], [[Tombariri, Minahasa|Tombariri]], [[Sarongsong Satu, Airmadidi, Minahasa Utara|Sarongsong]], [[Sonder, Minahasa|Tounkimbut Bawah (Sonder)]], [[Kawangkoan, Minahasa|Tounkimbut-Atas (Kawangkoan)]], [[Rumoong Atas, Tareran, Minahasa Selatan|Rumoong]], [[Tombasian Atas, Kawangkoan Barat, Minahasa|Tombasian]], [[Langowan Timur, Minahasa|Langoan]], [[Kakas, Minahasa|Kakas]], [[Remboken, Minahasa|Remboken]], [[Tompaso, Minahasa|Tompasso]], [[Tondano (kota)|Tondano]], [[Tonsea]], [[Kota Manado|Manado]], [[Tonsawang, Tombatu, Minahasa Tenggara|Tonsawang]], [[Pasan, Minahasa Tenggara|Pasan]], [[Ratahan, Minahasa Tenggara|Ratahan]], dan [[Belang, Minahasa Tenggara|Ponosakan]]<ref>{{Cite web|last=Lumoindong|first=David DS|date=14 Maret 2021|title=Perjanjian VOC Dan Negara-Negara Perserikatan (Minahasa) dan Kerajaan di Minahasa Tenggara|url=https://kanalsulsel.com/perjanjian-voc-dan-negara-negara-perserikatan-minahasa-dan-kerajaan-di-minahasa-tenggara/|website=Kanal Sulsel|language=id-ID|access-date=25 Januari 2022|archive-date=2022-01-25|archive-url=https://web.archive.org/web/20220125052554/https://kanalsulsel.com/perjanjian-voc-dan-negara-negara-perserikatan-minahasa-dan-kerajaan-di-minahasa-tenggara/|dead-url=yes}}</ref> Pada saat perjanjian berlangsung, ada tiga orang yang bertugas sebagai [[juru bicara]] , yaitu Ukung Maondi (Mandey), Pacat Supit Sahiri Macex , dan Pedro Rantij (Ranti), danserta dari pihak Belanda, yaitu [[Daftar Gubernur Maluku|Robertus Padtbrugge]] yang mewakili [[Rijcklof van Goens|Rijckloff van Goens]] sertadan [[Dewan Hindia]] yang mewakili de [[Vereenigde Oostindische Compagnie|Nederlandsche g’octroyeerdeGoctroyeerde Oost Indische]] dengan Bastian Sawaij selaku penerjemah.<ref name=":0">{{Cite web|last=Tanod|first=Meiyer|date=14 Januari 2018|title=Kisah Supit Lontoh dan Paat|url=http://www.beritanusantara.co.id/kisah-supit-lontoh-dan-paat/|website=beritanusantara.co.id|language=id-ID|access-date=25 Januari 2021}}</ref>
Perjanjian ini diketahui hanya dibuat sebanyak satu salinan naskah dan menurut Dr. E.C. Godee Molsbergen dalam bukunya yang berjudul ''Geschiedenis van de Minahasa tot 1829'', naskah perjanjian ini hilang saat proses penerjemahan oleh pihak Minahasa. Namun, menurut Bert Supit, alasan hilangnya naskah ini sulit diterima karena para ''ukung'' pada saat itu tidak mampu menulis dan berbahasa dengan [[huruf latinLatin]] yang juga diperkuat dengan bentuk tanda tangan para ''ukung'' yang hanya berbentuk coretan. Lagipula, berdasarkan perjanjian-perjanjian yang dilakukan sebelumnya atau kebiasaan yang dimiliki oleh Minahasa, mereka tidak terlalu memperdulikan tentang keberadaan suatu naskah. Fakta ini juga diperkuat dengan pernyataan Molsbergen pada buku yang sama, bahwa pihak V.O.CVOC tidak terlalu memperdulikan perjanjian wilayah-wilayah kecil seperti wilayah Minahasa dan hanya memperdulikan hubungan antar kerajaan-kerajaan seperti [[Kesultanan Tidore]] dan [[Kesultanan Ternate|Ternate]]. Maka dari itu, Supit menyimpulkan bahwa naskah ini hilang dalam penyimpanan V.O.CVOC. {{Sfn|Supit|1991|p=9-11}}
Perang pertama dimulai pada tahun 1681, dikarenakan munculnya kesempatan masyarakat Tondano untuk menyerang V.O.CVOC di tengah kerusuhan yang terjadi di Ternate yang dilawanterjadi oleh V.O.Ckepada VOC dengan mengirimkan kora-kora kembali ke Danau Tondano. Serangan ini berlangsung sengit sehingga pada tahun 1682, pihak V.O.CVOC mencari siasat lain dengan meminta bantuan kepada pemimpin walakWalak Tonsea yang mengirimkan puluhan pasukan serta 70 orang dari ''watervalvolken'' untuk menyerang Tondano. Sembari menunggu bantuan datang, pihak V.O.CVOC telah membendung kembali Sungai Temberan untuk membanjiri tempat tinggal para wargamasyarakat Tondano yang berakhir dengan kekalahan di pihak Tondano.{{Sfn|Wuntu|2002|p=34-37}}
==== ''Verdrag'' 10 September 1699 ====
Karena salinan yang telah hilang, pada tanggal 23 April 1683, muncullah dokumen pengganti yang dikutip dari jurnal Padtbrugge setelah pada tanggal 2 September 1682 telah diserah terima jabatan dengan Jacob Lobs sebagai Gubernur Ternate karena pergi ke [[Banda Neira]] untuk menjabat sebagai Komisaris tiga provinsi di Maluku. Namun sebelum dokumen ini diumumkan, pasal satu dari kutipan ini telah diumumkan sebelumnya yang berisi keganjilan yang menyatakan bahwa Wargamasyarakat Minahasa sebagai ''Ondersaetenondersaeten'' (bawahan) dan pihak V.O.CVOC sebagai ''weetig,eenigweetigeenig en eeeuwich opperheer'' ( satisatu-satunya yang dipertuan yang sah dan berdaulat selama-selamanya) yang dinilai sebagai upaya untuk menerapkan ''Domeindomein ver Klaringverklaring''.{{Sfn|Supit|1991|p=11}}'' ''Domein verklaring'' merupakan sebuah hukum yang menyatakan bila suatu tanag tidak memiliki surat keterangan kepemilikan, maka surat akan menjadi milik negara.<ref>{{Cite news|last=Permana|first=Rakhmad Hidayatulloh|date=23 September 2019|title=Bahaya Konsep Domein Verklaring dalam RUU Pertanahan|url=https://news.detik.com/berita/d-4717773/bahaya-konsep-domein-verklaring-dalam-ruu-pertanahan|work=[[Detik.com|detikcom]]|language=id-ID|access-date=26 januariJanuari 2021}}</ref>
Tentu saja pernyataan pasal 1 yang juga disampaikan pada ''Verdrag'' 10 September 1699 yang direncanakan menjadi pengganti ''Verbond'' 16 Januari 1679 mengundang kecurigaan atas ketidakjujuran Belanda atas ketidaksesuaian isi dalam perjanjian ini. Ketidaksesuaian isi perjanjian ini diperkuat dengan pernyataan bahwa pada naskah serah terima jabatan yang dilakukan oleh Jacob Claaszoon kepada David van Peterson bahwa orang Minahasa bukan merupakan bawahan atau daerah taklukan, melainkan melakukan perjanjian persahabatan dengan pihak V.O.CVOC yang mereka lakukan dengan Padtbrugge. Pernyataan dari Johann Gerard Friedrich Riedel juga memperkuat bahwa wargamasyarakat Minahasa tidak akan pernah menerima seseorang di atas kekuasan mereka jika bukan bagian dari suku mereka. Lagipula, bila isi pasal ini merupakan hasil kemufakatan, seharusnya wargamasyarakat Minahasa menerima perubahan pada 10 September 1699 dan tidak bersikukuh dengan hanya mengikuti isi perjanjian ''Verbond'' 16 Januari 1679 yang terus menerus dilakukan hingga pemerintahan Gubernur Ternate , Jacob Schoonderwoerd yang memerintah dari tahun 1765 dan Paulus Jacob Balckeenar yang memerintah tahun 1778.''{{Sfn|Supit|1991|p=11-12}}'' Selain perubahan pada pasal 1, perubahan lain juga dilakukan Belanda pada perjanjian tersebut. Pada pasal 9, Belanda merubah kebijakan pemilihan Kepalakepala Walak dengan merubahnya sistem pergantian dengan mengubahnya dari sistem pemilihan secara demokratis menjadi bersifat keturunan.<ref>{{Cite web|last=Taroreh|first=Novy|date=6 Juli 2015|title=Perang Tondano (1809): Kisah Heroik Orang Minahasa Melawan Pasukan Belanda (Bagian 2)|url=https://sulutpos.com/2015/07/perang-tondano-1809-kisah-heroik-orang_6.html|website=sulutpos.com|language=id-ID|access-date=26 Januari 2022|archive-date=2022-01-26|archive-url=https://web.archive.org/web/20220126133841/https://sulutpos.com/2015/07/perang-tondano-1809-kisah-heroik-orang_6.html|dead-url=yes}}</ref> Perjanjian ini juga meminta penghapusan terhadap sistem penghukuman pengganti pelaku pidana, yaitu sebuah sistem pergantian pelaku pidana dengan orang lain yang berasal dari keluarga, saudara, atau satu walakWalak serta sebuah tata cara penghukuman yang bernama ''Toktokentoktoken'' yakni pencincangan sampai halus.''{{Sfn|Supit|1991|p=15}}''
Akhirnya perjanjian ini ditandatangani oleh tiga orang walak yang semuanya berasal dari Toumbulu, yaitu Supit yang merupakan kepala walakWalak Tombariri, Pa'at Kolano sebagai kepala walakWalak Tomohon, dan Lontoh TuunanTu'unan sebagai kepala walakWalak Sarongsong dari pihak Minahasa serta dari pihak Belanda yang diwakili oleh Paulus Brieving dan Samuel Hartingh sebagai residen.''{{Sfn|Supit|1991|p=14-15}}'' Setelah perjanjian ini juga, Belanda mengangkat tiga orang tersebut sebagai ''Hukum Mayoor'' yang kemungkinan diangkat pada periode tahun 1700-1706.{{Sfn|Wenas|2007|p=46}} Menurut Bert Supit, Supit merupakan yang pertama dipecat dari gelar ini, yaitu pada tanggal 10 Januari 1711 yang diikuti Lontoh Tuunan pada tanggal 12 Januari 1712 dan Paat pada tanggal 3 Februari 1722.<ref name=":0" />
Beberapa tahun setelah perjanjian disahkan, Tondano melakukan peperangan kembali dengan Belanda pada tahun 1707 karena tipu daya yang muncul akibat ''Verdrag'' 10 September 1699 dikarenakan V.O.CVOC tidak hanya membuat kehidupan masyarakat Minahasa menjadi lebih buruk, V.O.CVOC juga memaksa mereka untuk tunduk pada Belanda.<ref>{{Cite web|last=Resty|first=Errisha|editor-last=Dewinta|editor-first=Elsa|title=Latar Belakang Terjadinya Perang Tondano: Sejarah Perlawanan Rakyat Minahasa Melawan Belanda|url=https://www.poskata.com/histori/latar-belakang-perang-tondano/|website=PosKata|language=id-ID|access-date=26 Januari 2022}}</ref> Pada peperangan ini, Tondano dibantu oleh Kakas dan Remboken, dan berlangsung hingga pada tahun 1711 yang menyebabkan banyak korban serta mengakibatkan hilangnya kepercayaan Belanda kepada para mayor yang memimpin di Minahasa.''{{Sfn|Wuntu|2002|p=43}}''
Setelah ketiga mayor dipecat dari jabatan ''Hukum Mayoor'', V.O.CVOC mengulangi sistem pemilihan jabatan ini untuk kedua kalinya. Pemilihan ini dilakukan oleh Marten Lelievelt yang menjabat sebagai Gubernur Maluku dengan saran dari Residen Manado, yaitu Jan Smit di tahun 1739. Lelievelt memilih Tololiu Supit yang merupakan anak dari Pacat Supit dari istri Suanen bernama yang juga saat itu juga menjabat Kepala Balak Ares.<ref name=":0" /> MKaliKali ini Belanda memilih Tololiu Supit pada tanggal 27 Agustus 1740 di Fort Amstedam. Tololiu merupakan Walak Ares yang cukup disegani di kalangan masyarakat. Tetapi seperti sebelumnya, , jabatannya ini tidak terlalu berpengaruh terhadap walak-walak lain. ''{{Sfn|Supit|1991|p=17}}'' Pada akhirnya, meskipun posisi Tololiu ini selalu dibela oleh Residen Manado Johannes Pauwen agar tidak dicopot. Tololiu Supit pun tetap dicopot pada tanggal 30 Juli 1743.<ref name=":0" />
Karena taktik pengangkatan jabatan ''Hukum Mayoor'' tidak berhasil, maka V.O.CVOC melakukan perubahan taktik untuk meningkatkan perdagangan beras yang dilakukan selama ini. Mereka mulai memberikan fasilitas kepada kepala-kepala walak yang menjabat serta mendorong para kepala-kepala walak untuk menguasai wilayah-wilayah sengketa antar walak untuk memperbesar daerah produksi beras. V.O.CVOC memanfaatkan kelemahan walak ini karena mereka tahu bahwa bagi para walak, luas wilayah kekuasaan berbanding lurus dengan kehormatan dan kebesaran kepala walak. Taktik ini berhasil menimbukanmenimbulkan beberapa konflik :{{Sfn|Supit|1991|p=17-18}}
# Tonsea dengandan Tondano (1755)
# Tonsea dan Tomohon (1760)
# Tomohon, [[Koka, Tombulu, Minahasa|Koka]], [[Sawangan, Tombulu, Minahasa|Sawangan]] dengan Ares, Klabat, Titiwungen (1760)
# Lotta dan [[Tateli, Mandolang, Minahasa|Tateli]] dengan Bantik (1760)
# Walak sekitar Fort Amsterdam dengandan Tonsea (1773)
# Kakaskasen dengandan Bantik (1789)
# Langowan dan Tompaso dengan Pasan dan Ratahan (1789)''{{Sfn|Supit|1991|p=17-18}}''
Karena konflik yang terus berlangsung, V.O.CVOC berusaha mendamaikan salah satu konflik. Usaha perdamaian ini dilaporkan dari sebuah laporan oleh J.D. Schierstein pada tanggal 8 Oktober 1789 yang mendamaikan Bantik dan Tombulu (Tateli) yang dikenal dengan nama "Perang Tateli"<ref>{{Cite news|date=31 Agustus 2020|editor-last=Irham|editor-first=Muhammad|title=Asal Muasal Suku Minahasa di Sulawesi Utara|url=https://tribunmanadowiki.tribunnews.com/2020/08/31/asal-muasal-suku-minahasa-di-sulawesi-utara|work=[[Tribunnews|Tribunnews.com]]|language=id|access-date=29 Januari 2021|last=irham|first=muhammad}}</ref> serta kelompok Toulour dan kelompok Tonsawang.<ref>{{Cite news|date=5 Januari 2021|title=Tahukah Kamu Asal Kata Minahasa, Maknanya Sama Seperti Bhineka Tunggal Ika|url=https://travel.tempo.co/read/1420320/tahukah-kamu-asal-kata-minahasa-maknanya-sama-seperti-bhineka-tunggal-ika|work=[[Tempo.co]]|access-date=30 Januari 2021|editor-last=Kustiani|editor-first=Rini|language=id}}</ref> Pada perdamaian ini juga, nama Minahasa muncul pertama kali dari kata ''Min'hasa'' sebagai kata yang dipakai oleh [[Landraad]]. Karena keberhasilan Schierstein dalam meredakan konflik yang terjadi di Minahasa, dia pun melakukan musyawarah kembali pada tahun 28 Juli 1790 di Fort Amsterdam. Namun , usahanya digagalkan oleh Pangalila selaku kepala Walak Tondano serta Ukung Sumondak dan kepala walak lainnya karena mereka hanya menyetujui VerbonVerbond 10 Januari 1679 sebagai satu-satunya perjanjian yang disetujui. Berkat pemberontakan ini, Schierstein melancarkan rencana untuk menangkap Pangalila dan teman-temannya sehingga perjanjiaperjanjian pada tanggaktanggal 5 Agustus 1790 berhasil. Mereka berhasil ditangkap dan Pangalila matimeninggal di Tahanantahanan, sedangkan teman-temannya dibawa keluar daeragdaerah dengan kapal Belona.''{{Sfn|Supit|1991|p=18}}'' Menurut Taulu dalam buku ''Sejarah perlawananPerlawanan terhadapTerhadap imperialismeImperialisme kolonialismeKolonialisme sulawesiSulawesi utaraUtara'', Pangalila ditangkap oleh Puluwang karena terlambat mengumpulkan beras ke Puluwang sebelum diserahkan kepada Kepala Balak Tonsea. Puluwang merupakan seorang perwakilan residen dalam mengumpulkan beras kepada V.O.CVOC.<ref>{{Cite book|date=1981|url=http://repositori.kemdikbud.go.id/13022/|title=Sejarah perlawanan terhadap imperialisme dan kolonialisme di Sulawesi Utara|location=Jakarta|publisher=Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional, Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Sejarah Nasional|pages=83|language=id|url-status=live}}</ref>
=== Perang Tondano II (1681-16821681–1682) ===
Perang Tondano yang terjadi pada tahun 1808-1809 adalah perang yang melibatkan orang Minahasa di Sulawesi Utara dan pemerintah kolonial Belanda pada permulaan abad XIX. Perang pada permulaan abad XIX ini terjadi akibat dari implementasi politik pemerintah kolonial Hindia Belanda oleh para pejabatnya di Minahasa, terutama upaya mobilisasi pemuda untuk dilatih menjadi tentara “ (.{{sfnp|Taufik Abdullah dan |A.B. Lapian, |2012:|pp=375)}}
Perang Tondano II sudah terjadi ketika memasuki abad ke-19, yakni pada masa pemerintahan kolonial Belanda. Perang ini dilatarbelakangi oleh kebijakan Gubernur Jenderal Daendels. Daendels yang mendapat mandatemandat untuk memerangi Inggris, memerlukan pasukan dalam jumlah besar. Untuk menambah jumlah pasukan maka direkrut pasukan dari kalangan pribumi. Mereka yang dipilih adalah dari suku-suku yang memiliki keberanian berperang. Beberapa suku yang dianggap memiliki keberanian adalah orangorangorang-orang [[Suku Madura|Madura]], [[Suku Dayak|Dayak]], dan Minahasa. Atas perintah Daendels melalui Kapten Hartingh, Residen Manado Prediger segera mengumpulkan para ukung. (Ukung adalah pemimpin dalam suatu wilayah walak atau daerah setingkat distrik). Dari Minahasa ditarget untuk mengumpulkan calon pasukan sejumlah 2.000 orang yang akan dikirim ke [[Jawa]]. Ternyata orang-orang Minahasa umumnya tidak setuju dengan program Daendels untuk merekrut pemuda-pemuda Minahasa sebagai pasukan kolonial. Banyak di antara para ukung mulai meninggalkan rumah. Mereka justru ingin mengadakan perlawanan terhadap kolonial Belanda. Mereka memusatkan aktivitas perjuangannya di Tondano, Minawanua. Salah seorang pemimpin perlawanan itu adalah Ukung Lonto. Ia menegaskan rakyat Minahasa harus melawan kolonial Belanda sebagai bentuk penolakan terhadap program pengiriman 2.000 pemuda Minahasa ke Jawa serta menolak kebijakan kolonial yang memaksa agar rakyat menyerahkan beras secara cuma-cuma kepada Belanda.
Dalam suasana yang semakin kritis itu tidak ada pilihan lain bagi Gubernur Prediger kecuali mengirim pasukan untuk menyerang pertahanan orang-orang Minahasa di Tondano, Minawanua. Belanda kembali menerapkan strategi dengan membendung Sungai Temberan. Prediger juga membentuk dua pasukan tangguh. Pasukan yang satu dipersiapkan menyerang dari Danau Tondano dan pasukan yang lain menyerang Minawanua dari darat. TanggalPada tanggal 23 Oktober 1808 pertempuran mulai berkobar., Pasukanpasukan Belanda yang berpusat di Danau Tondano berhasil melakukan serangan dan merusak pagar bambu berduri yang membatasi danau dengan perkampungan Minawanua, sehingga menerobos pertahanan orang-orang Minahasa di Minawanua. Walaupun sudah malam, para pejuang tetap dengan semangat yang tinggi terus bertahan dan melakukan perlawanan dari rumah ke rumah. Pasukan Belanda merasa kewalahan. Setelah pagi hari tanggal 24 Oktober 1808 pasukan Belanda dari darat membombardir kampung pertahanan Minawanua. Serangan terus dilakukan Belanda sehingga kampung itu seperti tidak ada lagi kehidupan. Pasukan Prediger mulai mengendorkan serangannya. Tiba-tiba dari perkampungan itu orang-orang Tondano muncul dan menyerang dengan hebatnya sehingga beberapa korban berjatuhan dari pihak Belanda. Pasukan Belanda terpaksa ditarik mundur. Seiring dengan itu Sungai Temberan yang dibendung mulai meluap sehingga mempersulit pasukan Belanda sendiri. Dari jarak jauh Belanda terus menghujani meriam ke Kampung Minawanua, tetapi tentu tidak efektif. Begitu juga serangan yang dari danau tidak mampu mematahkan semangat juang orang-orang Tondano, Minawanua. Bahkan terpetik berita kapal Belanda yang paling besar tenggelam di danau Perang Tondano II berlangsung cukup lama, bahkan sampai agustus 1809. Dalam suasana kepenatan dan kekurangan makanan mulai ada kelompok pejuang yang memihak kepada Belanda. Namun dengan kekuatan yang ada para pejuang Tondano terus memberikan perlawanan. Akhirnya pada tanggal 4-5 Agustus 1809, Bentengbenteng pertahanan Moraya milik para pejuang hancur bersama rakyat yang berusaha mempertahankan. Para pejuang itu memilih mati daripada menyerah.
== Akhir Perang ==
|