Jurnalis amplop: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
Angela Tasya (bicara | kontrib)
memperbaiki kalimat
Baris 22:
 
== Dampak dan Kaitannya dengan Kode Etik Jurnalistik ==
Dari Kasuskasus-kasus diatasdi atas tentu tidak terlepas karena Pertumbuhanpertumbuhan media yang pesat setelah era reformasi yang telah menyebabkan munculnya tantangan baru dan berbagai masalah bagi dunia pers di Indonesia. Tidak semua media patuh dan memenuhi standar yang ditetapkan oleh Dewan Pers sebagai badan pengawas. Begitu pula dalam menjalankan tugas jurnalistik, tingkat pelanggaran media terhadap Kode Etik Jurnalistik (KEJ) cenderung tinggi. Seperti contoh Praktikpraktik "wartawan amplop" sudah menjadi pengetahuan umum di kalangan wartawan, baik di media cetak maupun media elektronik. Mereka menerima "amplop" yang berisi sejumlah uang dari narasumber.<ref>Dwicahyani, M. N. (2018). PELAKSANAAN PASAL 4 KODE ETIK JURNALISTIK WARTAWAN INDONESIA TERHADAP PRAKTEK “PENERIMAAN AMPLOP” OLEH WARTAWAN DALAM LINGKUP PWI JATIM. NOVUM: JURNAL HUKUM, 5(3), 76-83.</ref>. Posisi tersebut membuat wartawan sulit untuk mempertahankan kepatuhan terhadap Kode Etik Jurnalistik Wartawan Indonesia serta Peraturan Perundang-Undangan yang berlaku. Padahal wartawan memiliki kewajiban untuk menerapkan prinsip-prinsip etika yang terdapat dalam Kode Etik Jurnalistik (KEJ) yang telah ditandatangani Dewan Pers bersama 29 organisasi wartawan pada 2006.
 
Salah satu ayat yang dirumuskan dalam KEJ pasal 6 berbunyi, ”Wartawan Indonesia tidak menyalahgunakan profesi dan tidak menerima suap.” Penafsiran dari pasal tersebut juga dijelaskan dalam Kode Etik Jurnalistik (KEJ), sebagai berikut:<ref>BAYA, A. C. (2018). Strategi Menghadapi Wartawan Abal-Abal. IJIC: Indonesian Journal of Islamic Communication, 1(1), 125-141.</ref>