Kesultanan Sumbawa: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
Alamnirvana (bicara | kontrib)
kTidak ada ringkasan suntingan
Alamnirvana (bicara | kontrib)
Baris 75:
 
=== Kedatangan Islam ===
Diperkirakan agama [[Hindu]]-[[Budha]] telah berkembang pesat di kerajaan-kerajaan kecil di [[Pulau Sumbawa]] sekitar 200 tahun sebelum [[invasi]] [[Kerajaan Majapahit]] ke wilayah ini. Beberapa kerajaan itu antara lain Kerajaan Dewa Mas Kuning di Selesek (Ropang), Kerajaan Airenung (Moyo Hulu), Kerajaan Awan Kuning di Sampar Semulan (Moyo Hulu), Kerajaan Gunung Setia (Sumbawa), Kerajaan Dewa Maja Paruwa (Utan), [[Kerajaan Seran]] (Seteluk), [[Kerajaan Taliwang]], dan [[Kerajaan Jereweh]].
 
Menurut Zolinger, agama [[Islam]] masuk ke [[Pulau Sumbawa]] lebih dahulu daripada [[Pulau Lombok]] antara tahun [[1450]]–[[1540]] yang dibawa oleh para pedagang Islam dari [[Jawa]] dan [[Sumatra]], khususnya [[Kesultanan Palembang|Palembang]]. Selanjutnya runtuhnya [[Kerajaan Majapahit]] telah mengakibatkan kerajaan-kerajaan kecil di wilayah Sumbawa menjadi kerajaan-kerajaan yang merdeka. Kondisi ini justru memudahkan bagi proses pengenalan ajaran Islam oleh para mubaligh tersebut, kemudian pada tahun-tahun awal pada abad ke-16, [[Sunan Prapen]] yang merupakan keturunan [[Sunan Giri]] dari Jawa datang untuk menyebarkan Islam pada kerajaan-kerajaan Hindu di Sumbawa, dan terakhir penaklukan Karaeng Moroangang dari [[Kesultanan Gowa|Kerajaan Gowa]] tahun [[1618]] atas Kerajaan Dewa Maja Paruwa (Utan) sebagai kerajaan terakhir yang bersedia masuk Islam sehingga menghasilkan sumpah: “Adat dan ''rapang Samawa'' (contoh-contoh kebaikan) tidak akan diganggu gugat sepanjang raja dan rakyatnya menjalankan syariat [[Islam]]”.
Baris 121:
Penguasa pertama dari Dinasti Dalam Bawa ini adalah Mas Bantan bergelar Sultan Harunnurrasyid I ([[1674]]–[[1702]]) Putra Raden Subangsa (Pangeran Banjar) hasil pernikahannya dengan amas penghulu binti Maja Paruwa. Mas Bantan Sultan Harunnurasyid I kemudian digantikan oleh puteranya, Pangeran Mas Madina, bergelar Sultan Muhammad Jalaluddin I yang menikah dengan pute ri Raja Sidenreng dari [[Sulawesi Selatan]] yang bernama I Rakia Karaeng Agang Jene. Setelah wafat, Jalaluddin I digantikan oleh Dewa Loka Lengit Ling Sampar, kemudian oleh Dewa Ling Gunung Setia. Tidak banyak bukti sejarah yang dapat mengungkapkan berapa lama keduanya memerintah, tapi diperkirakan mereka memerintah [[Sumbawa]] pada tahun [[1723]]-[[1732]].
 
Pada tahun [[1732]] kekuasaan atas Kesultanan Sumbawa kembali dipegang oleh keturunan [[Mas Bantan]] (Sultan Harunurrasyid) yaitu Sultan Muhammad Kaharuddin I ([[1732]]-[[1758]]) anak dari Dewa Maja Jereweh.
 
Setelah Sultan Kaharuddin I wafat, kekuasaan diambil alih oleh istrinya, I Sugiratu Karaeng Bontoparang, yang bergelar Sultanah Siti Aisyah yang merupakan anak Sultan Muhammad Jalaluddin Syah. Raja wanita ini dikenal sering berselisih paham dengan pembantu-pembantu sultan, sehingga pada tahun [[1761]] ia diturunkan dari tahta. I Sugiratu Karaeng Bontoparang sejatinya akan digantikan oleh Lalu Mustanderman Datu BajingBejing, namun ia menolak. Lalu Mustanderman Datu BajingBejing kemudian menyarankan untuk mengangkat adiknya yaitu Lalu Onye Datu Ungkap Sermin ([[1761]]-[[1762]]). Setelah masuknya [[VOC]] (''Verenigde Oost Indische Compagnie'') [[Belanda]], Kesultanan Sumbawa berhasil ditaklukkan dan menjadi bagian wilayah ''Gubernemen Celebes'', dan sesuai dengan pembagian wilayah ''afdeeling'' maka Sumbawa masuk wilayah Karesidenan Timor (''Timor en Onderhoorigheden'') dengan ibu kota di [[Sumbawa Besar]].
 
Kekuasaan [[Belanda]] pun semakin merajalela. Belanda ikut mengatur keadaan politik di dalam istana, dan ikut menentukan jalannya pemerintahan. [[Pulau Sumbawa]] dan [[Pulau Sumba]] dijadikan satu dalam bentuk ''afdeling'' dengan ibu kota di [[Sumbawa Besar]]. Asisten ''Resident'' yang pertama adalah Janson van Ray. Kesultanan Sumbawa dibagi dalam dua ''onderafdeeling'', yaitu Sumbawa Barat dan Sumbawa Timur.