Arat Sabulungan: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
InternetArchiveBot (bicara | kontrib)
Rescuing 1 sources and tagging 0 as dead.) #IABot (v2.0.9.5
k fix
Baris 2:
'''Arat Sabulungan''' adalah [[agama asli Nusantara|kepercayaan asli]] bagi masyarakat [[Suku Mentawai|suku bangsa Mentawai]] yang berasal dari [[Kabupaten Kepulauan Mentawai]], [[Sumatra Barat|Provinsi Sumatra Barat]], [[Indonesia]], teristimewa orang [[Sakuddei]] di [[pulau Siberut]].{{sfnm|1a1=Schefold|1y=1980|1p=|2a1=Schefold|2y=1988|2pp=5–22}}<ref name=":0">{{Cite web|url=http://www.wacana.co/2013/05/arat-sabulungan-mentawai/|title=Arat Sabulungan; Kepercayaan Orang Mentawai|date=2013-05-16|website=WACANA|language=en-US|access-date=2019-04-09}}{{Pranala mati|date=Februari 2021 |bot=InternetArchiveBot |fix-attempted=yes }}</ref> Secara bahasa, Arat berarti adat, Sa berarti sekitar, dan bulungan artinya [[daun]]. Sebutan Sabulungan lahir karena acara ritualnya selalu menggunakan daun-daun yang dipercaya bisa menjadi perantara hubungan manusia dengan tuhan yang disebut dengan Ulau Manua.<ref name=":1">{{Cite web|url=https://sportourism.id/history/arat-sabulungan-agama-asli-mentawai-yang-nyaris-punah|title=Arat Sabulungan, Agama Asli Mentawai yang Nyaris Punah|website=Sportourism.id|language=id|access-date=2019-04-09}}{{Pranala mati|date=Februari 2021 |bot=InternetArchiveBot |fix-attempted=yes }}</ref>
 
Awalnya, istilah arat tidak dipergunakan dan nama yang lebih sering dipakai adalah punen yang memiliki arti kegiatan, upacara, atau pesta. Seiring berjalannya waktu, diperkenalkanlah istilah arat pada era 1950-an untuk menyebut kepercayaan ini. Jadi, kata arat mewakili kepercayaan atau ideologi sementara punen lebih sering mengacu pada perayaan seremonial dan upacara.<ref name=":5">Kornelius Glossanto, (2019),  ''Sabulungan dalam Tegangan Identitas Budaya: Kajian atas Religi Orang Mentawai di Siberut Selatan'',Tesis Program Magister Ilmu Religi dan Budaya Universitas Sanata Dharma Yogyakarta, Hal.39-101.</ref>
 
Dipakainya istilah arat dilatarbelakangi oleh kebutuhan pemerintah dan para misionaris untuk menyebut berbagai agama, termasuk sistem kepercayaan tradisional. Sabulungan kemudian dikategorikan sebagai agama setelah ditambahkan istilah arat. Istilah ini juga diberikan kepada agama yang dibawa dari luar Mentawai seperti arat Katolik, arat Protestan, dan arat Islam.<ref name=":5" />
Baris 23:
Jika asal-usul dunia bisa dijelaskan melalui cerita mitologi yang berkaitan dengan roh, gagasan mengenai asal-usul manusia justru sebaliknya karena tidak ada penjelasan apapun yang diyakini orang-orang Mentawai. Menurut Spina, kepercayaan yang dipegang orang Mentawai mengenai asal-usul keberadaan manusia konsepnya berbeda dengan banyak suku bangsa lain di Indonesia. Tidak ada cerita atau konsep mengenai asal-usul eksistensi manusia.<ref name=":5" />
 
Bagi orang Mentawai, dunia adalah tempat besar di mana mereka bisa hidup dengan memanfaatkan segala sumber daya yang ada di alam. Maka dari itu manusia diwajibkan menjalin hubungan baik dengan roh-roh dengan cara selalu berterima kasih dan tidak menyalahgunakan segala  yang bisa didapatkan. Dunia yang dihuni ini dianggap bukanlah milik manusia.<ref name=":5" />
 
Ada beberapa roh yang dikenal dalam kepercayaan Arat Sabulungan di mana roh-roh tersebut memiliki peran dan karakter yang berbeda satu-sama lain. Konsep pengetahuan akan hal gaib berupa roh yang menyebabkan orang dapat hidup disebut dengan Simagre. Roh yang dikenal di antaranya Sabulungan, yaitu roh yang keluar dari tubuh dan dianggap keluarnya terkadang hanya untuk sesaat, misalnya ketika seseorang sedang terkejut. Selain itu ada pula roh yang tidak pergi jauh dari tempat yang dihuni manusia di bumi, di air, udara, hutan belantara dan pegunungan. Di dalam uma, yaitu rumah yang berfungsi sebagai balai pertemuan dan tempat digelarnya acara-cara adat Mentawai juga bahkan dikenal terdapat roh penunggu. Roh ini disebut dengan nama kina. Tak hanya roh baik, dikenal pula roh yang bersifat jahat yang kerjanya menebarkan penyakit dan menimbulkan gangguan bagi manusia yang disebut sanitu. Roh ini berasal dari roh manusia yang bergentayangan setelah mati dengan cara yang tidak wajar, misalnya mati dibunuh atau bunuh diri.<ref name=":0" />
Baris 81:
Pada 1955, orang Mentawai dihadapkan keharusan untuk memeluk satu dari agar, yang diajukan. Tradisi Arat Sabulungan pun tidak bisa dilakukan lagi, misalnya ritual yang melibatkan sikerei, pemakaian tato tradisional, atau meruncingkan gigi sebagai bagian dari ritus. Untuk semakin menghapus budaya Arat Sabulungan, pemerintah juga menggerakan program transmigrasi lokal. Penganut Arat Sabulungan pun hanya tersisa di Pulau Siberut karena pulau yang menjadi pusat kebudayaan lokal itu sulit untuk dijangkau.<ref name=":4" />
 
Kebebasan orang Mentawai untuk melaksanakan ritual dan  mempraktikkan tradisi Arat Sabulungan baru didapat lagi pada tahun 1980-an setelah perwakilan masyarakat menemui pemerintah provinsi Sumatra Barat di Padang untuk menanyakan perihal pelarangan yang sebelumnya diterapkan. Pihak pemerintah provinsi Sumatra Barat kemudian justru menyatakan bahwa mereka tidak pernah menerapkan larangan tersebut. Akhirnya, orang Mentawai bisa menjalani kembali tradisi budayanya tanpa takut dengan tekanan.<ref name=":4" />
 
Kini, orang Mentawai telah banyak yang menganut agama-agama yang berasal dari luar. Agama itu pula yang secara formal tercantum dalam Kartu Tanda Penduduk masyarakat. Meski demikian, adat dan tradisi Arat Sabulungan masih tetap ada dengan berbagai perubahannya sebagai sebuah kearifan lokal. Masyarakat mengenal tuhan sesuai dengan ajaran agama yang dianut, namun di sisi lain kepercayaan terhadap roh-roh seperti di masa lalu juga tetap dipegang.