Limboto, Gorontalo: Perbedaan antara revisi
Konten dihapus Konten ditambahkan
k fix |
|||
Baris 48:
Rombongan Gorontalo dipanglimai oleh Wulea lo Lipu Bilinggata yang bernama Hilibala, bertindak sebagai Luntudulungo artinya pemimpin, penunjuk jalan atau pelopor. Sedangkan rombongan Limboto dipimpin oleh Wulea lo Tibawa bernama Hemuto, yang terkenal berani dan kejam. Konon dalam perjalanan pulang Hemuto dan Hilibala bertukar kedudukan, Hemuto menjadi Luntudulungo dari raja Gorontalo dan Hilibala menjadi Luntudulungo dari istrinya Ratu Moliye dari Limboto.
Menurut cerita, dalam perjalanan pulang itu Moliye berselingkuh dengan Hilibala sehingga hal ini menjadi sebab utama terjadinya kerenggangan hubungan kedua kerajaan tersebut. Polamolo ketika itu berusaha untuk mencari jalan perdamaian. Ia menyalahkan Wulea lo Tibawa Hemuto sebagai pembawa mala-petaka tersebut. Akibatnya beratus-ratus orang Goromtalo dibunuh dan ditawan oleh orang Limboto. Beratus-ratus tengkorang dari orang Gorontalo yang dipotong kepalanya di gunung Huntulobohu masih merupakan saksi dari peristiwa itu.
Kejadian ini membuat polamolo menjadi sedih, sehingga ia memutusakan untuk pergi mengembara (moleyangi). Beserta dengan pengiring-pengiringnya ia melakukan perjalanan ke barat ia kemudian sampai ke sungai buntayoda’a, yang bermuara di teluk
Setelah mengalami banyak penderitaan dalam pengembaraannya, akhirnya limonu sampai juga di kerajaan gorontalo. Kebiasaan yang berlaku di kerajaan ini adalah bahwa pada setiap petang dilakukan permainan “mosepa” (ketangkasan bermain bola keranjang) di halaman istana, yang melibatkan semua penonton yang terdiri dari pembesar dan ponggawa istana. Limonu kemudian mendekati tempat itu dan berkesempatan memperlihatkan kemahirannya yang luar biasa sehingga membuat kagum semua yang hadir dalam peristiwa tesebut. Karna ketangkasannya itu maka ia dipanggil menghadap raja. Setelah saling mengenal, segeralah tenyata bahwa limonu adalah anak kandung raja sendiri tinggallah ia berdiam di kerajaan itu sebagai anak raja.
Setelah tinggal di kerajaan ayahnya, limonu banyak mendengar tentang perlakuan hemuto terhadap rakyat gorontalo. Di sini ia mendengar keganasan-keganasan hemuto yang membuat gorontalo menderita. Untuk membela rakyatnya akhirnya limonu memutuskan untuk menantang hemuto perang tanding dan berangkatlah ia ke kerajaan limboto dengan bersenjatakan Eluto (keris pendek).
Setibanya di limboto didapatinya pemimpin orang itu sedang berada di kebunnya, mencabuti rumput. Seluruh kebun itu di kelilingi pagar dari kayu nibung yang kuat dan tak berpintu. Dengan sepotong bambu, limonu memukul kayu pagar sehingga mengagetkan hemuto. Hemuto kemudian bertanya, “Hai Siapakah yang berani kurang ajar memukul-mukul pagar rumahku?” kemudian menjawablah limonu, “saya cucumu!”. Hemuto kemudian berkata lagi “Kalau engkau benar cucuku, cobalah masuk ke dalam pagar rumahku yamh tak berpintu ini”.
Limonu kemudian melemparkan sebuah batu ke pagar seberang untuk mengalihkan perhatian hemuto, dan dengan sekali melompat ia sudah berada di dalam lingkungan pagar tak berpintu itu, tanpa disadari oleh hemuto. Menyaksikan hal itu hemuto terperanjat, saat itulah ia sadar bahwa seorang yang luar biasa telah bangkit diantara orang-orang gorontalo. Dengan merendah limonu meminta kepada hemuto untuk mengajarnya silat meskipun dalam perasaan ia bermaksud menjajaki kesaktian hemuto. Dalam permainan ini limonu menggunakan eluto yang dibawanya sebagai senjata dan terjadilah perkelahian seru. Akhirnya dalam perkelahian itu limonu behasil memotong sebagian telinga hemuto. Ketika potonga telinga itu di perlihatkan, hemuto menjadi malu sekali hingga akhirnya melarikan diri ke hutan belantara. Hingga sekarang ini jejaknya tidak diketahui orang, apa yang terjadi atas dirinya dan dimana kuburannya tetaplah masih merupakan misteri yang tak terpecahkan. Kekalahan
Sebab keempat dan dianggap amatlah berat yang pemicu peperangan kedua belah pihak adalah pembunuh atas raja Polamolo oleh pembesar-pembesar Limboto. Suatu saat raja Polamolo memerintahkan membuat sebuah pondok di Debualolo yang merupakan daerah perbatasan antara Limboto dan Gorontalo. Suatu hari ketika ia sudah menjalankan pemerintahnya selama tujuh hari di Gorontalo, berangkatlah ia menjalankan perintahan di Limboto untuk tujuh hari berikutnya. Tepat saat ia berada di muara sungai Ngango lo Bunggalo di danau Limboto yang sedang tampak olehnya sebuah asap api yang berasal dari tempat orang-orang Limboto yang sedang menebang kayu untuk pembangunan pondok. Karena terkena asap yang hitam dan pekat maka kelihatan kulit mereka menjadi kehitam-hitaman. Polamolo bertanya kepada para Olongia yang mengiringnya “Siapakah orang-orang yang hitam pekat itu?” Pengiringnya berasal dari kerajaan Limboto merasa terhina dengan pertanyaan rajanya itu dan dengan gusar mereka menjawab, “Tidaklah tuanku ketahui bahwa mereka adalah orang-orang Limboto sedang menebang, menyeret dan membakar kayu untuk membangun pondok yang tuan perintahkan dibangun di Dehuaholo”. Mendengar jawaban itu Polamolo tersentak diam. Pengiring-pengiringnya yang terdiri dari para kepala adat menafsirkan bahwa kata-kata yang diucapkan oleh polamolo itu merupakan suatu penghinaan kepada pondok untuk raja, mengapa dihina seperti itu. Terlebih-lebih para olongia yang berasal dari Dunito dan Hungayo mereka sakit hati mendengar kata-kata itu. Menurut mereka bahwa Limboto negeri dari ibunya dihina sang raja, rakyatnya disebut gelap hitam, sedangkan negeri ayahnya Gorontalo disanjung-sanjung
Hari berganti hari, bulan berganti bulan, tahun berganti tahun tanpa terasa pertikaian itu telah berlangsung seabad. Ketika itu di Limboto dan Gorontalo telah dikenal adanya pemerintahan dua pihak (dwi-tunggal kerajaan) yang disebut dengan pemerintahan to Huliyalio dan to Tilayo. Seperti misalnya kerajaan Limboto pada waktu itu diperintah oleh dua orang olongia (raja), Olongia to Huliyalo adalah Dulapo dan Olangia to Tilayo yaitu Humonggilu. Masing-masing kerajaan dari tahun ke tahun tetap berusaha menggalang bantuan kepada pihak lain untuk memperkuat kedudukannya. Seperti yang terlihat pada Dulapo, ia mengutus anak laki-lakinya (yang kemudian menggantikannya) Tilahunga ke Ternate meminta bantuan raja Ternate, Ba’abdullah untuk memerangi kerajaan gorontalo. Demikian pula hanya dengan Humonggilu. Hanya berada dengan Dulapo, diketahui ternyata bahwa Olangio to Tilayo lo Limboto ini pernah membantu raja Ba’abdullah dalam suatu perang saudara. Ia kemudian mengawini seorang saudara perempuan raja Ternate itu yang bernama Ju Mu’min. Di Ternate kemudian ia memeluk agama islam dan sekembalinya ke Limboto ia menyebarkan agama itu. Peristiwa tersebut menurut pemberitaan terjadi pada tahun 1562.
Sementara itu di Gorontalo, pemerintahan Dwi-tunggal dipegang oleh Amai sebagai Olongia to Tilayo dan Tuliyabu sebagai Olongia to Huliyalio. Pada salah satu perang penyerbuan ke Teluk Tomini, Amai mengawini seorang anak perempuan raja Kumojolo bernama Owutango, yang dari pihak ibunya adalah keturunan raja-raja Palasa dari Siendeng yang pula bertalian darah erat sekali dengan raja-raja Ternate. Anak laki-laki yang lahir dari perkawinan mereka bernama Matolodula. Matolodula inilah yang selanjutnya menggantikan ayahnya Amai sebagai raja Udik (Olongia to Tilayo). Di bawah pemerintahannya terjadi pengislaman Gorontalo yang juga turut dibantu oleh anggota keluargannya yang berasal dari Ternate.
Dari keterangan di atas tampaklah bahwa kedua kerajaan ternyata sudah memelihara beberapa hubungan dengan Ternate. Diceritakan selanjutnya bahwa rupanya permintaan bantuan Tilahungan, buat sementara waktu belum membawa hasil. Meskipun ternyata diketahui bahwa bantuan itu akhirnya terwujud setelah Tilahunga menggantikan kedudukan ayahnya, Dulapo. Di Gorontalo
Sekembalinya ke Gorontalo, Poheleo yang masih sakit hati akibat kekalahan perang melawan Limboto berminat untuk membalas dendam. Ia tidak menghiraukan meskipun merasa mempunyai pertalian darah dengan Ternate. Saat itu ia memutuskan untuk mengirim Hohuhunya (Patih atau Perdana mentri) bernama Bumulo tidak begitu menyukai tugas ini, mengingat ia sudah membuat rencana dengan Khatibida’a (Penghulu Utama) bernama Eyato untuk mengusahakan perdamaian dengan Limboto. Akan tetapi karna Poheleo mengancamnya untuk tidak memberikan persetujuannya mengawini Duhula, cucu Motadula, maka dengan rasa engan dipenuhinya juga perintah tersebut.
Dengan bantuan Gowa, negeri Limboto dikalahkan. Dua anak permpuan dan seorang anak laki-laki dari Limboto, Momiya yang pada waktu itu telah menggantikan ayahnya Tilahunga, ditawan. Kedua anak perempuan itu masing-masing bernama Ntobango dan Tili’aya dibawa ke Gowa dengan dikawal oleh tiga orang Baate, bernama Mopato Langolo, Mopato Hulita, Mopato Taniyo. Sedang laki-lakinya bernama Pomontolo dibawa ke Manguju (Mandar). Mula-mula kedua orang putri Limboto itu menerima perlakuan yang buruk sekali di Gowa. Konon kabarnya akibat perlakuan tersebut negeri Gowa mengalami musim kemarau yang hebat sekali, semua sumur mengalami kekeringan air. Hanya dengan susah payah, dengan menggunakan tali sepanjang seratus depa orang baru dapat menimba air dan hanya mampu mengisi satu ruas bambu penuh, itu pun hanya bisa diperoleh dari sumur didekat raja.
Baris 64:
Hohuhu Lupoyo, dengan tujuan kedua orang tua muda itu bisa bekerja sama untuk dan atas nama kerajaan Gorontalo melaksanakan rencana mereka. Eyato berlayar menyusul Hohuhu Popa dan akhirnya mencapai kata sepakat.
Untuk mewujudkan perdamaian sebagai mana yang telah disepakati atas maka para pembesar Limboto dengan di antar oleh Eyato selanjutnya selanjutnya secara bersama-sama mengdakan perjalanan ke Gorontalo. Pusat kerajaan Gorontalo ketika itu terletak Lupoyo seorang diantara orang Limboto Palingga sambil berdiri diatas perahunya berseru sambil mengumandangkan tuja’I sebagai berikut :
Tomupa loli Dotula
Mai mohibintua
Malongongolipua
Ode hinteyalihua
Konon kabarnya selama tiga hari berturut-turut tuja’I ini di ulangi tiga kali dalamm sehari. Setelah menerima pesan ini pembesar-pembesar Gorontalo kemudian untuk mencari seorang yang bergelar Lebidi’a, satu-satunya orang yang dianggap mengerti makna tuju’i tersebut. Akan tetapi barulah pada hari ketiga orang yang dicari tersebut muncul. Sambil berdiri di bawah sebatang pohon tintilo ditepi danau dekat Pentadio sekarang ini, Lebida’a membalas tuja’i tersebut dengan kata-kata sebagai berikut :
Tupalai to dutula
Mahipo bintua-bintua
Odeo hintea lihua
Tilola lulu’ubuwa
Wolo du’alo yiluwa
Lipunto biye lahuwa
Molinggadu lo dutuwa
Ma tomoliyatuwa
Modame moponuwa
Sesudah memperoleh jawaban yang menyenangkan hati, dua kerajaan yang telah lama berseteru itu, akhirnya saling merapatkan barisan armadanya. Ketika di hadapan keduanya seraya berkata : “Sikarayi kalili huwangga lo olongia lo Hulanto to hilawo moputi” (Senjata dari karaeng yang terpilih kepunyaan raja Gorontalo pada hati yang putih). Maksudnya adalah agar keris (Huwangga) ini diberikan kepada raja Gorontalo sebagai bukti kehendak hati yang ingin berdamai. Selanjutnya Hohuhu Popa dengan cara yang sama menghadap ratu Limboto, Momiyo dan Ntihedu (putrid Detubiya) mencabut kerisnya dan meletakannya dihadapan mereka seraya berkata : “Sikarayi kalili huwanga lo olongia lo Limutu tide alinaya” (senjata dari karaeng yang terpilih, kepercayaan raja Limboto tidak menganiyaya) yang juga maksudnya kurang lebih sama dengan pernyataan sebelumnya.
Sejak dilakukan ikrar bersama di sungai Lupoyo itu maka usaha untuk menggalang perdamaian secara menyeluruh pun dilakukan, yang antara lain diwujudkan dengan cara saling mengunjungi antara pembesar kedua negeri yang berttikai. Akhirnya diputuskan unutk merundingkan secara lebih jauh hasilnya melalui perjanjian yang disepakati bersama di atas sumpah. Ketika akan melakukan perjanjian tersebut Ratu to Huliyalio tolo Limboto, Momiyo telah digantikan oleh putranya Pomontolo, yang selanjutnya berangkat ke Gorontalo untuk berunding (lo duudula) dengan pembesar Gorontalo. Ia didampingi oleh Hohuhu Popa, Wulea lo Lipu Pomalo serta pembesar-pembesar kerajaan lainnya. Sesampainya di Lupoyo (Gorontalo) mereka menyampaikan salam melalui tuja’i sebagai berikut :
Baate-baate Loti’alo
Lo Limutu Hulontalo
Wuudionto dulalo
Wameti tayuyuwalo
Tuja’i ini dibalas oleh bate-bate Gorontalo :
Baate-baate lo ti’alo
Wuudionto dilelo
Wametalo talaalo
Tayuyuwo lo dudulalo
Bangango lolahepo
Kemudian raja Pomontolo turun dari perahunya mengambil tempat duduk di atas babulowangga (tandu) dan berangkatlah dengan pengiring-pengeringnya ke tempat kediaman raja to Huliyalio Bumulo yang sementara itu sudah menggantikan Poheleo. Sesudah pembesar-pembesar kedua kerajaan itu mengambil tempat duduk masing-masing, bersama-sama mereka mengucapkan tuja’i yang berikut :
Hibulo’a hidulitu
Mopayu wu’udu lipu
Mojanji bidu motipu
Hidulitu hihulo’a
Dunggolo de mobu’a
Tujuh hari lamanya Pomontolo dengan pengiring-pengiringnya berada di Gorontalo untuk merundingkan isi persekutuan antara kedua kerajaan, setelah itu barulah ia pulang ke Limboto. Sementara itu berangkatlah pula raja to Tilayo lo Hulontalo Eyato yang sementara itu telah menggantikan isterinya untuk mengadakan kunjungan balasan ke Limboto beserta pengiring-pengiringnya di antaranya Hohuhu Male dan Wulea to Lipu Uwabu.
Sesampainya di Lintalo, yang merupakan pusat kedudukan kerajaan Limboto waktu itu mereka mengucapkan tuja’i maksudnya kurang lebih sama dengan tuja’i di atas. Selesai acara membalas tuja’i oleh para Baate kedua kerajaan tersebut, Raja Eyato kemudian turun dari perahunya, diambilnya tempat duduk di dalam Babulowangga yang disediakan dan selanjutnya menuju ke tempat kediaman raja to Tilayo lo Limboto (Ilato) yang juga telah menggantikan ibunya Ntihedu, ketika masuk ke dalam istana dan dipersilahkan duduk berdampingan dengan raja Limboto, dengan penuh keakraban mereka mendengarkan tuja’i-tuja’i dan kata-kata sanjungan yang disampaikan oleh baate-baate kedua negeri.
Baris 120:
# '''SEJARAH KELURAHAN BIONGA'''
BIONGA BERASAL
DAERAH INI PADA AWALNYA MERUPAKAN WILAYAH YANG TIDAK BERPENGHUNI, SELAMA BERTAHUN-TAHUN, WILAYAH BIONGA SEBELUM DI DATANGI OLEH PENDUDUK YAKNI DITUTUPI OLEH HUTAN BELANTARA YANG BANYAK DITUTUPI OLEH POHON-POHON BESAR. SAMPAI AKHIRNYA SUATU SAAT MUNCUL SEORANG PENGEMBARA YANG DIKEJAR-KEJAR DAN AKAN DIBUNUH OLEH SUATU SUKU YANG BERNAMA SUKU MINDANAO ( MANGGINANO ). PRIA YANG DIKEJAR-KEJAR OLEH SUKU MINDANAO INI LARI MENCARI TEMPAT PERSEMBUNYIAN, YANG PADA AKHIRNYA DIA BERHASIL SEMBUNYI DI HUTAN. PRIA INI MUNCUL SEAKAN-AKAN BEGITU SAJA TANPA DIKETAHUI SEBAB MUJSABABNYA SEHINGGA DIA DIJULUKI LUMOTO. LUMOTO SELAMA BERTAHUN-TAHUN HIDUP DITEMPAT PERSEMBUNYIANNYA, SAMPAI PADA AKHIRNYA SI LUMOTO TURUN DENGAN NIAT HENDAK MANDI DISUMUR LIMBOTO. DAN PADA SAAT DIA MENUJU TEMPAT PEMANDIAN ( SUMUR ) DIA MELIHAT BIDADARI YANG SEDANG MANDI DISUMUR YANG BERNAMA POLIMAMUTA ( YANG BERARTI TEMPAT UNTUK MENCUCI MUKA ) SAMPAI SAAT INI SUMUR ITU MASIH ADA.
Baris 131:
2. '''SEJARAH KELURAHAN KAYUBULAN'''
Awal mula berdirinya Ayuhulalo (Kayubulan) yaitu Pada tahun 1788 berawal dari tumbuhnya sehamparan Pohon Yang Batang dan Daunya berwarna kuning yang tumbuh di Parasamya yang sekarang sudah menjadi taman menara Keangungan Limboto. Melihat banyaknya pohon yang tumbuh tersebut masyakat belum mengetahui nama dan jenis dari pohon itu. Masyarakat melihat warna dari pohon seperti warna bulan sehingga masyarakat sekitar mengatakan bahwa pohon tersebut adalah AYUHULALO artinya kayu yang berwarna kuning seperti bulan. Namun pada tahun tersebut Ayuhulalo pemerintahannya masih bersifat adat sekitar 140 Tahun.
Dan Kelurahan Kayubulan terbentuk / lahir sejak tahun 1928 yang pada saat itu masih berstatus desa hingga tahun 1974 dengan berkembangnya dunia pemerintahan status desa berubah menjadi kelurahan pada tahun 1974 hingga sekarang.
Baris 140:
Kelurahan Bulota sebelumnya adalah Desa yang dibentuk pada tahun 1800 sampai dengan tahun 1825 yang dipimpin oleh seorang kepala Desa yang bernama TALOWO OLII, yang kemudian dialihkan statusnya menjadi kelurahan pada bulan Januari 1982 sampai dengan sekarang.
# Tahun 1982; Pada masa ini aktifitas masyarakat Kelurahan mulai mengalami perkembangan yang pesat. System pemerintahan berjalan dengan sangat baik dan terus mengalami pergantian kepala Kelurahan dari setiap periode jabatan. Sarana dan prasarana Kelurahan sudah permanen.
# Tahun 2006;
# Tahun 2007;
# Tahun 2008 ; tahun ini kelurahan kembali mendapat perhatian dari pemerintah dengan program bantuan pembangunan pendidikan anak usia dini
# Tahun
Sejarah berdirinya Kelurahan Bulota dari tahun 1800 dengan susunan Kepala Desa yang pernah menjabat selama rentan waktu sebagai berikut :
Baris 174:
# Tahun 2012 s/d tahun 2014 : Kepala Kelurahan Muchtar Potutu. S.Ag
# Tahun 2014 s/d tahun 2018 : Kepala Kelurahan Sudarmadji Hasan
# Tahun 2018 s/d sekarang
'''LETAK GEOGRAFIS'''
Baris 181:
UTARA
TIMUR
SELATAN
BARAT
Baris 201:
DUTULANAA adalah gabungan dua kata yang mempunyai arti yaitu :
-
-
Dulu sebelum menjadi Kelurahan, Dutulanaa adalah bentangan aliran sungai yang sangat besar. Oleh Olongia Bionga menyarankan agar aliran sungai tersebut di alihkan ketempat lain, supaya akan ada lahan datar yang luas, yang bisa dijadikan sebuah perkampungan dan bisa menjadi tempat tinggal oleh masyarakat setempat.
1.
Butato yang berarti tempat melintasnya Olongia menuju danau untuk mencari ikan.
2.
Linggotu yang berarti Jalan yang berlubang-lubang.
3.
Tolite yang berarti sebuah pohon besar yang dijadikan tempat berteduh oleh Olongia saat beliau mencari ikan di Danau Limboto.
Baris 229:
Akhir sejarah kami cantumkan nama-nama yang menjabat kepala Desa dan Kelurahan dari pertama terbentuk pada tahun 1660 sampai dengan tahun 2014
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
12.
13.
14.
15.
16.
17.
18.
19.
20.
21.
22.
23.
Baris 286:
Kelurahan Hepuhulawa terdiri dari 4 lingkungan dengan luas wilayah 400,2 Ha dengan batas-batas sebagai berikut :
Sebelah Utara
Sebelah Timur
Sebelah Selatan
Sebelah Barat
Jumlah penduduk Kelurahan Hepuhulawa Tahun 2014 berjumlah 5266 jiwa yang terdiri dari laki-laki 2585 jiwa dan perempuan 2681 jumlah KK : sejumlah 1340 KK tersebut terdapat KK Miskin sejumlah 124 KK yang terdiri dari penerima raskin.
Baris 301:
6. '''Sejarah Kelurahan Hutuo'''
Diperkirakan pada tahun 1830 ada sekolompok masyarakat dari Kerajaan Suwawa yang melintas ke barat Daerah Hulontalangi, setelah melewati beberapa tempat dan tibalah di tempat ini mereka singgah dan mereka tertarik dengan genangan-genangan air yang ada. Kemudian mereka sepakat untuk tinggal beberapa waktu di tempat ini untuk meneliti genangan air tersebut. Dalam penelitian tersebut mereka menemukan sejenis ikan dan ikan tersebut dinakan ikan '''Hutuo'''. Setelah mereka menemukan dan memberi nama ikan tersebut kemudian mereka berjalan ke utara mencari alat untuk memancing dan mereka menemukan alat tersebut dan mereka namakan '''Wangea'''. Setelah itu mereka menyusuri wilayah tersebut mereka menemukan rumput ilalang dalam bahasa Gorontalo padengo yang luas sehingga mereka namakan '''Padedaa'''. Setelah mereka mengelilingi tempat ini mereka menemukan sumur besar dan mereka namakan '''Alidaa.''' Setelah mereka mengelilingi tempat ini mereka mendirikan Pos atau rumah penjagaan yang mereka namaka '''Rumah Jaga''' setelah itu mereka mereka juga mengelilingi wilayah bagian selatan dan mereka menemukan pasir yang mengeluarkan air lalu mereka namakan '''Butu Hungayo'''. Kemudian mereka melanjutkan penelitian dan mereka menemukan seseorang yang bernama '''Olidatu''' dan setelah itu mereka menutup penelitian mereka dan menetapkan batas yang mereka namakan '''Dehuwalolo'''. Maka dari sekolompok masyarakat Kerajaan Suwawa mengahiri penelitian mereka dan kemudian sebahagian dari mereka melanjutkan perjalanan dan sebahagian tinggal menetap disini dan mereka yang tinggal membentuk Pemerintahan yang dinamakan Kampung Hutuo yang dimulai dari kepala Desa yang bernama Amara. Dari nama-nama yang mereka temukan telah disepakati unntuk dijadikan nama-nama lingnkungan dengan urutan sebagai berikut
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
Dan adapun susunan kepala desa sejak berdirinya kampung Hutuo sampai dengan sekarang adalah :
Baris 463:
7. '''Sejarah Kelurahan Kayumerah'''
Nama Desa Kayumerah berasal dari Bahasa Daerah Gorontalo yakni
dahulu bahwa Masyarakat sering melihat sebatang pohon kayu yang sangat besar dan sering mengeluarkan cahaya
Baris 469:
berwarna merah yang menyala seperti api. Sehingga dibuatlah kesepakatan untuk memberikan nama desa AYU -
MELA
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
12.
13.
14.
15.
16.
Wilayah Kelurahan Kayumerah memiliki Luas Tanah 744 Ha. Dengan batas – batas sebagai berikut :
Utara
Selatan
Barat
Timur
8. '''Sejarah Kelurahan Polohungo'''
Wilayah Polohungo sebelum dihuni oleh masyarakat merupakan wilayah hutan yang didalamnya terdapat pohon – pohon besar . pada tahun 1838 hiduplah dua orang pengembara bernama '''Dula''' dan '''Dani''' yang berasal dari '''Tapa''' dalam perjalanan mereka melewati wilayah '''Telaga''' sehingga mereka sampai diwilayah limboto tepatnya disungai yang kering yang bernama '''Tapamohengu''' dan
Jumlah Penduduk KK Miskin yang menerima Program Subsidi Raskin : 334 KK
Jumlah Penduduk yang menerima Jamkesmas sebanyak 1513
Baris 546:
Kelurahan Tilihuwa adalah kelurahan pemekaran dari Kelurahan Kayumerah.Tilihuwa resmi dikukuhkan oleh Bupati Gorontalo pada tanggal 10 Desember 2010.Kelurahan tilihuwa terdiri dar 3 lingkungan yaitu lingkungan Libuo,Tinelo dan Tilihuwa.
{{Kabupaten Gorontalo}}
|