Sekolah Dasar Muhammadiyah Kauman: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
k fix
Baris 7:
 
== Madrasah Ibtidaiyah Diniyah Islamiyah ==
Peretntangan antara pendidikan tradisional yang diwakili pesantren dan modern yang diwakili oleh pendidikan Belanda inilah yang mendorong K.H. Ahmad Dahlan, seorang ulama dan ''ketib'' Keraton [[Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat|Ngayogyakarta]] Hadiningrat yang tinggal di kampung [[Kauman]], untuk menjembatani pertentangan antara pendidikan modern milik pemerintah kolonial dan pendidikan tradisional yang menekankan agama Islam  dengan mendirikan sekolah bernama ''Madrasah Ibtidaiyah Diniyah Islamiyah''. Sekolah ini menggunakan kamar tamu di rumah Ahmad Dahlan dengan ukuran 2,5 x 6 meter yang dilengkapi oleh tiga meja dan tiga bangku. Murid-murid terdiri sembilan orang anak pada permulaannya. Pendirian sekolah tersebut ternyata tidak mendapat sambutan yang baik dari masyarakat sekitarnya, kecuali beberapa pemuda. Masyarakat yang melihat pendirian sekolah ini mengecap K.H. Ahmad Dahlan dengan sebutan “''Kristen Alus''”, “''kyai kafir''”, dan “''kyai palsu''”.<ref name=":0">{{Cite book|url=https://www.worldcat.org/oclc/1077577991|title=Cerita tentang Kiai Haji Ahmad Dahlan : catatan Haji Muhammad Sudja'|last=Sudja', Muhammad, 1882-1962,|others=Suara Muhammadiyah (Publisher),|isbn=978-602-6268-49-5|edition=Cetakan I|location=Yogyakarta|oclc=1077577991}}</ref> Julukan ini disematkan oleh masyarakat karena saat itu di dalam sekolahnya diajarkan pelajaran ala Barat seperti nada-nada musik. Sedangkan kesenian ala santri yang umum di masayarakat Kauman saat itu seperti ''Marhaban-marhaban'', ''jalil-jalil'', dan lagu-lagu burdah tidak lagi terdengar. Menghadapi hal ini, K.H. Ahmad Dahlan hanya tersenyum dalam hati karena menyadari bahwa untuk memperbaiki agama Islam harus berani mendapat cacian dan hinaan dan bahkan mendapat label kafir dari masyarakat sekitar. Menurut K.H. Ahmad Dahlan, hal ini tidak perlu dibantah dan dibenci. Tetapi perlu dibiarkan dan dijawab dengan tenang karena suatu saat akan menyadari dan mengerti apa yang dilakukan oleh K.H. Ahmad Dahlan.
 
Penolakan yang dilakukan masyarakat berpengaruh pada tahap awal proses belajar mengajar. Murid-murid sekolah ini pada akhirnya sering tidak masuk sekolah karena perlakuan masyarakt Kauman. Untuk mengatasai hal tersebut, K.H. Ahmad Dahlan tidak segan-segan datang ke rumah siswanya dan meminta mereka masuk sekolah kembali. Ia juga terus mencari siswa baru. Perbuatan yang dilakukan oleh K.H. Ahmad Dahlan dirasakan begitu asing saat itu, mengingat yang berlaku adalah murid yang mencari guru, bukan guru yang mencari murid. Ketekunan dan kesbaran K.H. Ahmad Dahlan berbuah manis. Sedikit demi sedikit, murid sekolahnya telah bertambah. Seiring dengan pertambahan jumlah siswa, K.H. Ahmad Dahlan juga menambah meja dan bangku satu per satu sehingga setelah berlangsung enam bulan jumlah siswa menjadi 20 orang. Kemajuan yang ditunjukkan Madrasah milik K.H. Ahmad Dahlan tersebut mendorong [[Budi Utomo]] untuk memberikan bantuan tenaga pengajar. Para guru dikirim oleh Budi Utomo sejak bulan ketujuh berdirinya sekolah ini.<ref name=":0" /> Umumnya guru tersebut merupakan lulusan ''[[Kweekschool]]'' yang belum mendapat penetapan dari pemerintah dengan jangka waktu mengajar antara satu hingga dua bulan.
 
Diantara murid K.H. Ahmad Dahlan yang belajar di ''Kweekschool'' Jetis yang juga belajar Agama Islam di serambi rumahnya ada yang bertanya untuk apa susunan bangku, meja, dan papan tulis. Pertanyaan ini dijawab oleh K.H. Ahmad Dahlan bahwa peralatan tersebut digunakan untuk sekolah anak-anak Kauman yang mengajarkan pelajaran agama dan pengetahuan umum.<ref>M. Yusron Asrofie (2005), hlm. 75.</ref> Mereka kemudian menyarankan agar K.H. Ahmad Dahlan mendirikan organisasi agar keberadaan sekolah tersebut tetap berlanjut meskipun K.H. Ahmad Dahlan telah wafat. Saran ini direnungkan oleh K.H. Ahmad Dahlan dan didiskusikan dengan santri-santrinya yang telah dewasa.   Akhirnya, K.H. Ahmad Dahlan membentuk organisasi baru. Pada tanggal 18 November 1912, berdirilah organisasi bernama Muhammadiyah. Keterlibatan para pengurus Budi Utomo terkait erat dengan pendirian organisasi tersebut. Pada awalnya, organisasi ini didirikan untuk menjaga keberadaan sekolah milik K.H. Ahmad Dahlan, akan tetapi dalam perkembangannya Muhammadiyah juga menmperluas aktivitasnya dalam bidang sosial-keagamaan.
 
Pada tahun-tahun berikutnya, Muhammadiyah mendirikan banyak sekolah. Madrasah Ibtidaiyah Diniyah Islamiyah yang telah berdiri setahun sebelum Muhammadiyah, telah berjalan dengan sistem tiga jenjang kelas. Adanya mata pelajaran ilmu umum disamping pelajaran agama Islam telah menempatkan sekolah ini setaraf dengan Sekolah Angka 2 atau ''[[Volkschool]]'' yang ditetapkan oleh pemerintah.<ref name=":1">{{Cite book|url=https://www.worldcat.org/oclc/653499438|title=1 abad Muhammadiyah : gagasan pembaruan sosial keagamaan.|date=2010|publisher=Penerbit Buku Kompas|others=Penerbit Buku Kompas.|isbn=978-979-709-498-0|location=Jakarta|oclc=653499438}}</ref> Oleh sebab itu, sekolah di Kauman ini mendapat subsidi dari pemerintah kolonial sejak tahun 1914.