Siti Munjiyah: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
InternetArchiveBot (bicara | kontrib)
Rescuing 1 sources and tagging 0 as dead.) #IABot (v2.0.9.4
k fix
Baris 122:
Djazman turut menambahkan bahwa anak dan cucu dari Haji Hasyim Ismail, termasuk Siti Munjiyah, memang banyak yang berkiprah di organisasi Muhammadiyah dan Aisyiyah. Namun, kiprah tersebut bukan dikarenakan mereka keturunan dari Haji Hasyim Ismail, melainkan lebih disebabkan oleh kemampuan atau kapasitas yang dimilikinya. Anshoriy menegaskan bahwa para anggota Muhammadiyah maupun Aisyiyah memang tidak mengakui perannistimewa dari para ulama yangusecara genealogis turut terhubung dengan kedua organisasi itu, tetapi gerakan tersebut secara jelas meletakkan elit ahli syariat sama pentingnya dengan ulama. Semakin tinggi pengetahuan syariat seseorang, besar pula peluangnya untuk memangku jabatan strategis di dalam gerakan ini.
 
Tradisi Muhamadiyah yang memang tidak mengenal garis keturunan menjadi salah satu kelebihan tersendiri dari para anggota Muhammadiyah keturunan Haji Hasyim Ismail dalam ikut membesarkan perserikatan yang disahkan oleh pemerintah Hindia Belanda pada 22 Agustus 1914 tersebut.  Harus diakui bahwa beberapa ortom yang telah berdiri di Muhammadiyah tidak dapat dilepaskan dari keturunan Haji Hasyim Ismail. Salah satu ortom yang ada di Muhammadiyah adalah Siswo Proyo Wanito (SPW). Menurut Siti Chamamah Soeratno, SPW merupakan embrio atau cikal bakal dari Nasyiyatul Aisyiyah (NA). SPW adalah perkumpulan anak-anak wanita atau remaja putri di Kauman yang mulai dibangun sejak tahun 1919 dan berubah namanya menjadi NA pada 1931.
 
Siti Munjiyah bersama dengan anak pertama dari K.H. Sangidu (Siti Umniyah) tercatat sebagai salah satu tokoh yang berhasil memajukan ortom ini. NA kemudian dipimpin oleh Siti Umniyah selama sekitar <u>+</u> 10 tahun dan tampuk kepemimpinan beralih kepada Zoechrijah pada 1929.
Baris 137:
 
 
Aisyiyah berhasil menjadi sebuah gerakan sosial wanita yang bergerak langsung secara riil di tingkat akar rumput ketika dipimpin oleh Siti Munjiyah. Aisyiyah cenderung memfungsikan kembali peran agama sebagai rujukan dalam bertindak. Tentu saja, peran dan fungsi agama ini ditujukan untuk kepentingan dan pemberdayaan kaum miskin dan anak-anak yatim. Organisasi wanita seperti Aisyiyah diperlukan masyarakat umum bagi penyelenggaraan beberapa kegiatan yang berhubungan dengan kewanitaan.  Hal ini dikarenakan organisasi Aisyiyah didirikan dengan tujuan untuk memberikan pengetahuan secara umum dan wawasan kepada masyarakat luas, khususnya para wanita, agar mereka menjadi lebih cerdas.
 
Siti Munjiyah menekankan bahwa wanita harus memiliki peranan aktif menjadi agen dalam pembangunan mengingat kuantitas dari para wanita lebihubaik dibandingkan dengan kaum laki-laki ketika menjabat sebagai ketua umum. Selain itu, wanita juga berperan dalam membentuk karakter sebuah bangsa. Maju atau mundurnya karakter sebuah bangsa tergantung dari kondisi kaum wanitanya. Wanita memberikan pengaruh dalam meningkatkan kadar kesusilaan umat manusia karena dari kaum wanitalah manusia menerima pendidikan pertama, terutama dalam pembinaan mental dan moral – di tangan para wanita, seorang anak belajar berpikir dan berbicara. Kiranya, dapat disadari bahwa salah satu prasyarat bagi keberhasilan usahai ersebut adalah keteladanan dari seorang wanita.
Baris 155:
Dalam kongres ini terdapat sejumlah pidato tentang nasionalisme dan kecaman terhadap poligami, tetapi mosi yang diterima oleh kongres agak terbatas. Hal inilah yang sempat menimbulkan pertentangan paham antara golongan nasionalis dan Kristen di satu pihak dengan golongan Islam di pihak yang lain, tetapi umumnya terdapat persamaan kemauan untuk memajukan kaum wanita Indonesia. Wacana kontroversial mengenai poligami lantas diatasi dengan mengirimkan mosi ke dewan agama dan meminta penjelasan tertulis kepadanya apabila terjadi penolakan.
 
Dalam pidato pembukaan Kongres Wanita Indonesia Pertama, R.A. Sukonto menjelaskan bahwa kongres itu semula berawal dari usulan perkumpulan wanita “kanan” dan “kiri” untuk mengajak bersatu.  Dia baru bisa menyampaikannya dalam kongres tersebut karena mengalami beberapa kerepotan. Berdasarkan penilaiannya, kemampuanikaum wanita Indonesia masih kurang jika dibandingkan dengan kaum wanita di negara-negara lain, walaupun perkumpulan wanita di Indonesia sudah banyak. Hal inilah yang mendorongnya bersama dengan R.A. Sutartinah (Nyi Hajar Dewantara) dan Ny. Suyatin Kartowiyono mengadakan suatu kongres.
 
Pendirian komite kongres yang dicetuskan oleh R.A. Sukonto ini di sisi lain tidak mengherankan jika sebelumnya mendapatkan tantangan dan kritikan yang tajam dari berbagai pihak. Salah satu kritikan tersebut dilontarkan oleh kaum kolot yang masih merendahkan kaum wanita, antara lain:
Baris 164:
* Kaum wanita Indonesia belum matang dan belum bisa berdamai satu sama lain.
 
Sukonto secara tegas mengingatkan kepada para peserta kongres bahwa seorang wanita yang ingin mencapai cita-citanya harus membantah semua celaan. Para wanita jangan sampai dianggap rendah, apalagi oleh orang-orang yang masih kolot pemikirannya.  Maksud perkataannya itu tidak untuk melepaskan kaum wanita dari dapur, tetapi mereka juga harus turut memikirkan tindakan yang dilakukan oleh kaum laki-laki. Bagi dirinya, kongres yang berlangsung dirasa penting untuk mengumpulkan organisasi-organisasi wanita Indonesia guna berdamai dan memikirkan berbagai pokok permasalahan.
 
Pada acara penyampaian-pidato, Siti Munjiyah dan Siti Hayinah Mawardi tampil sebagai perwakilan dari Aisyiyah. Munjiyah memberikan pidato dengan judul “Derajat Perempuan”, sedangkan Mawardi menyampaikan tentang “Persatuan Manusia”. Aisyiyah sendiri secara terbuka mengemukakan bahwa menginginkan kongres tersebut untuk melakukan kerja sama dengan organisasi wanita lain. Soewondo menambahkan bahwa Aisyiyah juga mengharapkan pertemuan tersebut menjadi suatu wadah bagi para wanita untuk mengemukakan pendapat dan gagasan tentang perjuangan.
Baris 170:
Munjiyah dalam pidatonya mengungkapkan bahwa derap langkah perjuangan dari bangsa Indonesia, khususnya kaum wanita, telah menggema di hati. Menurut dirinya, Kongres Wanita Indonesia Pertama sangat penting artinya karena mayoritas para utusan sudah meluangkan waktunya agar dapat hadir dalam kongres tanpa meninggalkan urusan pekerjaan maupun rumah. Mereka dapat menghadiri rapat tersebut untuk membahas beberapa keperluan kehidupan bersama. Kongres itu sudah memberikan keuntungan secara langsung karena menambah teman organisasi wanita dalam melakukan perjuangan. Namun, Munjiyah mengungkapkan bahwa persiapan dalam kongres itu masih memiliki kekurangan.
 
Berdasarkan dokumen yang diterbitkan oleh PP. Aisyiyah serta penelitian yang dilakukan oleh Blackburn, dapat diketahui bahwa Siti Munjiyah mengelompokkan derajat dan kemuliaan dari kaum wanita menjadi tiga bagian, yaitu budinya yang tinggi, ilmunya yang banyak, dan kelakuannya yang baik. Menurut pengamatan yang dilakukannya sendiri, waktu itu sudah banyak kaum wanita yang pintar. Namun, mereka tidak bisa memanfaatkannya karena kelakuan dan budinya dirasakan masih kurang. Hal tersebut memang harus dipertanyakan apakah sifat mereka sudah sesuai dengan kodratnya.  Pendapat dan pandangan tersebut adalah lontaran pemikirannya yang dikemukakan atas sumbangan pemikiran organisasi Aisyiyah, yang harus direnungkan seperlunya oleh pemimpin-pemimpin organisasi wanita lain yang hadir dalam kongres itu.
 
Siti Munjiyah juga menyampaikan perbedaan antara wanita dan laki-laki berdasarkan hukum dari Islam. Dia menjelaskan bahwa para peserta kongres tidak harus memeluk agama Islam, semuanya diserahkan kepada pribadi masing-masing. Hukum dalam Islam memang membedakan antara wanita dan laki-laki. Namun, perbedaan tersebut tidak berarti bahwa kaum laki-laki lebih tinggi derajatnya dibandingkan dengan kaum-wanita. Laki-laki dan wanita Islam masing-masing-berhak maju secara bebas dengan batas-batas tertentu karena sejak lahir mereka telah mempunyai kodrat masing-masing yang berbeda-beda.
Baris 273:
<small>Oentoeng benar bahwa orang-orang jang bangsawan fikiran soedah bernasehat pada kita djalah: S.T. Bernard, S.T. Anthonij, S.T. Bonaventure, S.T. Jerome, S.T. Gregorij the great, dan S.T. Cijprian.</small>
 
<small>Adat-istiadat orang mempelaikan ada di tanah Europa, maka professor Holland bersabda demikian: bahwa faedahnja orang berlaki bini itoe jalah hendak mempersatoean dari antaranja orang lelaki dan perempoean, dan jang akan mengikat keroekoenan antara satoe sama lain dengan kokoh. Dalam pada perseroan ini maka adalah hak jang lebih besar atasnja ada pada fehak lelaki; si istri tidak berhak mendjoeal atau lain-lainnja atas harta benda, dan tidak berkoeasa memboeat sesoeatu wasijat, ataoe memboeat sesoeatoe perdjandjian (contract) atas tanggoengannja sendiri. Oendang-oendang hoekoem jang menentoekan bahwa fehak istri tidak berhak sesoeatoe apa itoe pada galibnja berlaku di  negeri Inggris.</small>
 
<small>Toean Hepworth berkata demikian: peratoeran-peratoeran jang soedah lazim kita djalankan itoe, maka si istri adalah dalam pengoeasannja soeaminja. Oleh karena itoe walaoepoen orang perempoean jang masih moeda, soetji, tjantik dan jang kaja sekalipoen moengkin mendjadi genggamannja seorang soeami jang kedjam ................................................</small>