Syekh Nahrawi dan saudaranya, Kyai Haji Abu ‘Ammar melanjutkan pembelajaran di Makkah. Saat itu, usia Syekh Nahrawi baru 10 tahun. Namun, Syekh Nahrawi telah memperoleh surat izin mengajar di [[Masjidil Haram]] karena ketekunannya dalam mencari ilmu. Beliau bahkan sempat menjadi seorang [[hakim]] agung.
Saat itu juga Makkah menjadi pusat peradaban ilmu dengan guru-guru ulama yang sangat mumpuni seperti Syekh Muhammad al-Maqri a-Mishri al-Makki, Syekh Muhammad bin Sulaiman Hasballah, Sayyid Ahmad bin Zaini Dahlan, mufti madzab Syafi’iyah di Makkah, Syekh Ahmad An-Nahrawi al-Mishri al-Makki, Sayyid Muhammad Shalih al-Zawawi al-Makki, salah seorang guru di Masjid Nabawi dan lain-lain.
=== Kakak Syekh Nahrawi ===
Sejak itu, Syekh Nahrawi tidak kembali ke Nusantara. Beliau memilih berkarier di Makkah dan guru yang ulung. Berbeda dengan sang kakak, Abu ‘Ammar. Ia pulang ke tanah air dan menjadi Imam [[Masjid Agung Purbalingga]]. Kyai Haji Abu ‘Ammar pulang dari Makkah langsung menghidupkan dan memakmurkan Masjid Agung Purbalingga. Masjid tersebut merupakan peninggalan Mbah Abu ‘Ammar dan keluarganya. Sebab, tanah wakaf itu atas nama Kyai Haji Hardja Muhammad yang tidak lain adalah ayah Mbah Abu ‘Ammar .
Kyai Haji Abu ‘Ammar juga dikenal dengan kelapangan dan luwes dalam bergaul. Hal itu dibuktikan dengan kedekatan Mbah Abu ‘Ammar dengan tokoh lintas organisasi, seperti Kyai Haji Hasyim Asy’ari (NU) dan Kiai Ahmad Dahlan (Muhammadiyah) pernah datang dan berdiskusi di Masjid Kauman semasa Mbah Abu ‘Ammar. Bahkan Syekh Syurkati, pendiri Al Irsyad Al Islamiyah dari Makkah dikabarkan juga pernah bertandang. Kyai Haji Abu ‘Ammar adalah seorang intelektual muslim yang sangat disegani tidak saja pada regional Banyumas akan tetapi juga nasional. Kancah KH. Abu ‘Ammar di tingkat nasional bisa ditelusur ketika berteman akrab dengan seorang hakim Belanda yang sangat terkenal yaitu Prof. Terrhar. Diskusi yang intens Kyai Haji Abu ‘Ammar ini dengan Terrhar ini kemudian memunculkan perlunya sebuah peradilan bagi kaum inderland tersendiri yang terpisah dengan landrat yang ada ketika itu. Peradilan ini hanya diberlakukan buat kaum inderlands yang berhubungan dengan hukum-hukum perdata (Begerlijc Wetbook). Sektor yang diurus oleh peradilan ini meliputi pernikahan, perceraian, hukum waris. Peradilan ini kemudian dikenal dengan Pengadilan Agama. Peradilan agama ini telah berkembang sekarang sampai keseluruh persada nusantara. Dalam sejarah peradilan di Indonesia, pengadilan agama ini telah menjadi salah satu dari empat peradilan di Indonesia. Pengadilan Agama telah sama kedudukannya dengan pengadilan umum serta dibawah satu atap [[Mahkamah Agung]]. Bahkan kewenangan Pengadilan Agama kini telah meluas tidak saja hal-hal yang berkenaan denngan hukum Perdata tapi juga menerima sengketa pidana yang bersifat syariah.
=== Menjadi Guru di Makkah ===
Sementara Syekh Ahmad Nahrowi Mukhtarom Al Banyumasi tidak mau pulang ke tanah Jawa. Bahkan oleh Pemerintah Saudi Syekh Ahmad Nahrowi Mukhtarom diangkat menjadi guru mengajar santri dari berbagai Negara. Beliau Banyak mempunyai murid dan bahkan menjadi hakim agung di Arab Saudi (lihat; Islam transformasi; Azyumardi Azra; Gramedia; 1997).
Tidak satupun pengarang kitab di Haromain; Makkah-Madinah, terutama ulama-ulama yang berasal dari Indonesia yang berani mencetak kitabnya sebelum ada pengesahan dari Syekh Ahmad Nahrowi Mukhtarom Al Banyumasi. Sehingga bisa dipastikan waktu Syekh Ahmad Nahrowi Mukhtarom al Banyumasi ini habis untuk mengkoreksi dan mentahshih ratusan kitab karya ulama-ulama Nusantara yang pada waktu itu terkenal sangat produktif menulis karya. Seperti Syekh Mahfudz Al Tremasi, Syekh Soleh Darat, Syekh Nawawi Al-Bantani, Syekh Kholil Al Bangkalani, Syekh Junaid Al Batawi dan lain-lain. Syekh Nahrowi iabaratnya adalah editor handal dari kitab-kitab klasik ulama-ulama Nusantara pada masa itu.
Syekh Nahrawi banyak mengoreksi ratusan kitab karya ulama-ulama Nusantara seperti Syekh Mahfudz Al Tremasi dan Syekh Nawawi Al Bantani. Kala itu, para pengarang kitab, terutama yang berasal dari Indonesia, enggan mencetak karyanya sebelum diberi rekomendasi atau taqrizh oleh Syekh Nahrawi.
|