Tajdid: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
Hibensis (bicara | kontrib)
kTidak ada ringkasan suntingan
Imam Saja (bicara | kontrib)
Fitur saranan suntingan: 3 pranala ditambahkan.
 
Baris 6:
At-Tajdid menurut bahasa, maknanya berkisar pada menghidupkan, membangkitkan dan mengembalikan. Makna-makna ini memberikan gambaran tentang tiga unsur yaitu keberadaan sesuatu kemudian hancur atau hilang kemudian dihidupkan tanpa kecacatan.
 
Kata ini kemudian dijadikan jargon dalam gerakan pembaruan Islam agar terlepas dari Bid'ah, Takhayyul dan Khurafat. Gerakan ini diilhami dari [[Muhammad bin Abdul Wahab]] di [[Arab Saudi]] dan Pemikiran Al-Afghani yang dibuang di Mesir. Gerakan ini kemudian menjadi ruh dalam beberapa Organisasi seperti [[Sarekat Islam]], Muhammadiyyah dan Al-Irsyad juga Persatuan Islam di Jawa. Gerakan ini pula pernah menjadi ruh perjuangan Tuanku Imam Bonjol dalam menggerakkan kaum Paderi. Gerakan ini kemudian mengalami Kanter dari Akademisi Jawa Kejawen yang kemudian menggabungkan diri dalam Budhi Oetomo dan Ulama Jawa yang bergabung dalam Nahdhatul Ulama.
Meski gerakan ini kini sudah mulai melemah, tetapi semangatnya kini terus diwariskan pada generasi berikutnya hingga muncullah [[Jaringan Islam Liberal]] yang memiliki visi Tajdid ini meski kemudian ditentang oleh para Tokoh ummat Islam yang aktif dalam Organisasi yang dulunya mengusung ruh Tajdid.
 
== Tajdid dalam Muhammadiyah ==
Baris 17:
# rekonstruksi.
 
Ketika Muhammadiyah didirikan, para tokoh Muhammadiyah, termasuk [[Ahmad Dahlan|K.H. Ahmad Dahlan]], belum memikirkan landasan konseosional dan teoretis tentang apa yang akan dilakukannya. Yang terjadi adalah, upaya mereka untuk secara praktis dan pragmatis menyebarkan ajaran Islam yang baik dan benar sesuai dengan tuntunan [[Rasulullah]]. Konsentrasi mereka difokuskan pada bagaimana praktik keagamaan yang dilakukan masyarakat waktu itu disesuaikan dengan apa yang dilakukan oleh Rasulullah di satu sisi, tapi juga memperhatikan tradisi agama lain, khususnya [[kristen]], yang kebetulan disebarkan oleh penjajah negeri ini. Kecenderungan yang bersifat reaktif dalam menyelesaikan masalah yang dihadapi mulai terlihat. Pembetulan arah kiblat dalam pelaksanaan shalat, misalnya, menjadi bukti betapa reaktifnya tokoh Muhammadiyah saat itu. Jargon yang diusung saat itu adalah “Kembali Kepada [[Al-Qur'an|Al-Qur’an]] dan Al-Sunnah” secara apa adanya terutama dalam masalah aqidah dan ibadah mahdlah. Munculnya istilah TBC (Takhayul, Bid’ah dan Khurafat) merupakan akibat dari gerakan pemurnian periode ini. Produk pemikiran yang dihasilkan oleh Majlis Tarjih didominasi oleh upaya memurnikan bidang akidah dan ibadah itu. Periode ini berlangsung sampai tahun enam puluhan.
 
Kemudian pada awal tahun enam puluhan sampai tahun sembilan puluhan sudah mulai terasa bagaimana pentingnya untuk membuat dasar dan teori penyelesaian masalah yang dihadapi oleh umat Islam yang di-dominasi oleh bahasan ''mu’amalah dunyawiyyah'', baik dalam bidang [[ekonomi]], [[sosial budaya]] dan bahkan masalah politis sekalipun. Pedoman bertarjih dalam bentuk kaidah lajnah tarjih mulai disusun pada awal tahun tujuh puluhan. Dalam kaidah ini disebutkan, bahwa tugas pokok lajnha tarjih adalah melakukan pemurnian dalam bidan aqidah dan ibadah serta menyusun rumusan dan