Perang Saudara Islam II: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
Tidak ada ringkasan suntingan
Tag: Suntingan visualeditor-wikitext
Tidak ada ringkasan suntingan
Tag: Suntingan visualeditor-wikitext
 
Baris 18:
{{Campaignbox Islamic Civil Wars}}
 
'''Perang Saudara Islam II''' (atau disebut juga '''Fitnah Kedua'''){{efn|1=Kata ''fitnah'' ({{lang-ar|فتنة}}, "ujian" atau "cobaan") dalam konteks ini berasal dari Al-Qur'an dalam arti ujian Allah terhadap iman umat Muslim maupun sebagai hukuman Allah terhadap dosa-dosa mereka. Dalam sejarah Islam, kata ini digunakan untuk menyebut perang saudara ataupun pemberontakan yang mengakibatkan pecahnya kesatuan umat dan menguji keimanan.{{sfn|Gardet|1965|p=930}}}} adalah sebuah periode kekacauan politik dan militer yang melanda umat Islam pada masa-masa awal [[kekhalifahan Umayyah]]. Perpecahan ini terjadi setelah meninggalnya khalifah pertama Umayyah, yaitu [[Mu'awiyah bin Abu Sufyan|Muawiyah]] pada 680 dan berlangsung selama sekitar dua belas tahun. Dalam perang ini, Dinasti Umayyah berhasil mengalahkan dua kelompok penentangnya: pendukung keluarga Ali yang awalnya dipimpin [[Husain bin Ali]] dan dilanjutkan [[Sulaiman bin Surad]] serta [[Mukhtar ats-Tsaqafi]] di Irak, maupun kekhalifahan tandingan yang didirikan [[Abdullah bin az-Zubair]] di Mekkah.
 
Perang ini berakar dari [[Perang Saudara Islam I]] (Fitnah Pertama). Setelah terbunuhnya khalifah ketiga [[Utsman bin Affan]], umat Islam mengalami perang saudara untuk memperebutkan kepemimpinan, yang utamanya melibatkan [[Ali bin Abi Thalib]] dan [[Mu'awiyah bin Abu Sufyan|Muawiyah bin Abi Sofyan]]. Setelah [[pembunuhan Ali]] pada 661 dan mundurnya penerusnya [[Hasan bin Ali]] pada tahun yang sama, Muawiyah menjadi penguasa tunggal umat Islam. Sebelum Muawiyah meninggal, ia menunjuk putranya [[Yazid bin Muawiyah|Yazid]] sebagai pewaris takhta. Tindakan ini banyak ditentang karena penunjukan penerus melalui garis keturunan belum pernah dilakukan dalam sejarah Islam. Hal ini memicu ketegangan sepeninggal Muawiyah dan setelah berpindahnya tampuk kekhalifahan ke tangan Yazid. Husain bin Ali diajak oleh pendukung keluarganya di Kufah untuk melengserkan Dinasti Umayyah, tetapi ia terbunuh dalam perjalanan ke Kufah dalam [[Pertempuran Karbala]] pada Oktober 680. Abdullah bin az-Zubair melancarkan perlawanan terhadap Yazid yang berpusat di Mekkah dan meluas hingga Madinah serta seluruh Hijaz berada di bawah pengaruhnya. Yazid mengirim pasukannya untuk [[Pertempuran al-Harrah|menyerang Madinah]] [[Pengepungan Mekkah (683)|dan Mekkah]], tetapi ia meninggal pada November 683. Sepeninggal Yazid, seluruh wilayah kekhalifahan (kecuali [[Syam]]) melepaskan diri dari kekuasaan Umayyah dan hampir seluruhnya tunduk kepada Ibnu Zubair. Di Irak, muncul pemberontakan pendukung keturunan Ali. Menyesali kematian Husain, 4.000 warga Kufah yang dipimpin Sulaiman bin Surad berniat melawan Bani Umayyah hingga mati. Mereka terbunuh dalam [[Pertempuran Ain al-Wardah]] pada Januari 685. Mukhtar ats-Tsaqafi mengambil alih Kufah pada Oktober dan pasukannya mengalahkan pasukan Umayyah dalam [[Pertempuran Khazir]] pada Agustus 686. Mukhtar sendiri lalu menghadapi pendukung Ibnu Zubair dalam serangkaian pertempuran, dan terbunuh di Kufah pada April 687. Kekalahan Mukhtar menyisakan kubu Umayyah dan kubu Ibnu Zubair dalam perang ini. Selanjutnya, [[Abdul Malik bin Marwan]] menyusun kembali kekuatan Umayyah dan berhasil mengalahkan tentara Ibnu Zubair di Irak ([[Pertempuran Maskin]]) dan Hijaz ([[Pengepungan Mekkah (692)|Pengepungan Mekkah]]) pada tahun 692.
 
Setelah peperangan ini, Abdul Malik melakukan perubahan struktur pemerintahan kekhalifahan Umayyah dengan meningkatkan kekuasaan pusat khalifah, serta mereformasi angkatan tentara dan birokrasi. Perkembangan yang terjadi selama perang saudara ini memperkuat perpecahan sektarian dan menyebabkan pengembangan doktrin-doktrin dalam agama Islam yang kelak menjadi bagian dari kelompok [[Islam Sunni|Sunni]] dan [[Islam Syiah|Syiah]]. Hingga saat ini Peristiwa Karbala yang terjadi dalam perang ini diperingati umat Muslim Syiah pada [[Hari Asyura]].
Baris 30:
 
=== Yazid menggantikan Muawiyah ===
Perjanjian antara Hasan dan Muawiyah mengakhiri perang saudara pertama, dan dilanjutkan dengan periode pemerintahan yang relatif tenang di bawah Muawiyah selama kurang lebih dua dasawarsa.{{sfn|Donner|2010|pp=170–171}} Pada periode ini, Muawiyah beserta para wali negerinya melanjutkan perluasan wilayah Islam, dan membangun institusi-institusi pemerintahan baru,{{sfn|Donner|2010|pp=171–172}} tetapi periode ini tidak menghasilkan aturan yang jelas mengenai pengangkatan khalifah-khalifah selanjutnya.{{sfn|Donner|2010|p=177}}{{sfn|Lewis|2002|p=67}} Isu pergantian kepempimpinan ini berpotensi menimbulkan masalah lagi seperti sebelumnya.{{sfn|Wellhausen|1927|p=140}} Menurut pakar sejarah Islam [[Bernard Lewis]]: "Preseden yang tersedia bagi Muawiyah dari sejarah Islam hanyalah pemilihan [melalui syura] dan perang saudara. Pilihan pertama sulit dilaksanakan, sedangkan pilihan kedua tentu saja banyak masalahnya."{{sfn|Lewis|2002|p=67}} Muawiyah bermaksud menyelesaikan masalah ini dengan menunjuk anaknya [[Yazid bin Muawiyah]] sebagai penerusnya. Pada 676, ia mengumumkan pencalonan Yazid, tetapi pewarisan kekuasaan belum pernah dilakukan dalam sejarah Islam sehingga hal ini banyak ditentang berbagai kalangan dan dianggap merusak institusi kekhalifahan menjadi sebuah kerajaan.{{sfn|Madelung|1997|p=322}}{{sfn|Kennedy|2016|p=76}} Muawiyah mengadakan majelis syura di Damaskus dan membujuk perwakilan berbagai wilayah melalui diplomasi, suap, serta ancaman.{{sfn|Lewis|2002|p=67}}{{sfn|Wellhausen|1927|pp=141–145}} Putra-putra dari para sahabat terkemuka, termasuk [[Husain bin Ali]], [[Abdullah bin az-Zubair]], [[Abdullah bin Umar]], dan [[Abdurrahman bin Abi Bakar]], yang semuanya dapat mengklaim kekuasaan seandainya ditentukan melalui keturunan, menentang pencalonan ini.{{sfn|Wellhausen|1927|p=142}}{{sfn|Hawting|2000|p=46}} Namun, ancaman dari Muawiyah dan diterimanya Yazid oleh berbagai kalangan di kekhalifahan memaksa mereka untuk diam.{{sfn|Wellhausen|1927|pp=141–145}}
[[Berkas:2nd Fitna Battles.png|jmpl|Lokasi pertempuran-pertempuran dalam Perang Saudara Islam II|alt=Lokasi pertempuran ditandai dalam sebuah peta Timur Tengah]]
 
Baris 43:
=== Perlawanan di Mekkah dan Madinah ===
{{main|Pertempuran al-Harrah|Pengepungan Mekkah (683)}}
Setelah tewasnya Husain, tantangan utama terhadap Yazid datang dari Abdullah bin Az-Zubair, putra sahabat Nabi Az-Zubair bin Al-Awwam serta cucu khalifah pertama Abu Bakar. Ibnu Zubair diam-diam mengumpulkan baiat dari berbagai kalangan di Mekkah,{{sfn|Wellhausen|1927|pp=148–150}} walaupun secara terbuka ia hanya meminta diadakan syura untuk memilih khalifah baru.{{sfn|Kennedy|2016|p=77}} Awalnya, Yazid berusaha membujuknya dengan menawarkan hadiah rantai koin perak serta delegasi untuk berunding.{{sfn|Wellhausen|1927|pp=148–150}} Ibnu Zubair menolak perundingan dan selanjutnya Yazid mengirim pasukan yang dipimpin oleh [[Amr bin az-Zubair]], saudara Abdullah bin az-Zubair. Pasukan Umayyah ini dikalahkan dan Amr terbunuh.{{sfn|Donner|2010|p=180}} Pengaruh Ibnu Zubair menyebar ke Madinah, yang penduduknya juga kecewa dengan kekuasaan Umayyah dan dengan program pertanian Muawiyah yang melibatkan penyitaan tanah penduduk oleh pemerintah.{{sfn|Kennedy|2016|pp=76–77}} Yazid mengundang para pemuka Madinah ke Damaskus dan memberi mereka berbagai hadiah agar mereka tunduk. Upaya ini gagal, dan saat kembali ke Madinah mereka justru mengabarkan kisah tentang kemewahan Yazid dan perbuatan-perbuatannya yang dianggap tidak Islami, seperti meminum [[anggur (minuman)|anggur]], berburu dengan anjing, dan mendengarkan musik. Penduduk Madinah, di bawah pimpinan [[Abdullah bin Hanzhalah]], menyatakan tidak lagi tunduk pada Yazid dan mengusir wali negeri beserta para petinggi Umayyah di kota itu. Yazid mengirimkan 12.000 tentara yang dipimpin oleh [[Muslim bin Uqbah]] untuk menundukkan kawasan [[Hijaz]] termasuk Mekkah dan Madinah. Setelah perundingan gagal, pasukan Umayyah menundukkan pasukan Madinah dalam [[Pertempuran al-Harrah]], dan menjarah Madinah selama tiga hari.{{sfn|Wellhausen|1927|pp=152–156}}{{sfn|Donner|2010|pp=180–181}} Berbagai sumber sejarah menyebutkan antara 4.000 hingga 10.000 penduduk Madinah yang tewas akibat peristiwa ini, termasuk pemimpin mereka Abdullah bin Hanzhalah serta 180 hingga 700 orang lainnya dari golongan [[Muhajirin]] dan [[Anshar]].{{sfn|Veccia Vaglieri|1971|p=227}} Para pemberontak Madinah dipaksa untuk kembali berbaiat kepada Yazid, dan pasukan Umayyah bergerak menuju Mekkah untuk menundukkan Ibnu Zubair.{{sfn|Wellhausen|1927|pp=152–156}}{{sfn|Donner|2010|pp=180–181}}
 
Ibnu Uqbah meninggal dalam perjalanan menuju Mekkah dan pasukan Umayyah lalu dipimpin [[Husain bin Numair]], yang memulai [[pengepungan Mekkah (683)|Pengepungan Mekkah]] pada September 683. Mekkah dikepung selama beberapa minggu, dan [[Ka'bah]] sempat terbakar. Pengepungan berakhir setelah Yazid meninggal pada November 683. Ibnu Numair berusaha membujuk Ibnu Zubair untuk mengikutinya ke Syam dan diangkat sebagai khalifah di sana, tetapi ia menolak dan Ibnu Numair mundur dari Hijaz bersama pasukannya.{{sfn|Hawting|2000|p=48}}
 
== Kekhalifahan tandingan Ibnu Zubair ==
{{main|Abdullah bin az-Zubair}}
Setelah wafatnya Yazid serta mundurnya pasukan Umayyah, Ibnu Zubair secara ''[[de facto]]'' menjadi penguasa Hijaz dan seluruh semenanjung Arab, dengan ibu kota di Mekkah. Ia secara terbuka menyatakan dirinya khalifah seluruh umat Islam, dan kawasan Irak serta Mesir pun lalu tunduk padanya.{{sfn|Donner|2010|pp=181–182}} Ia mengirimkan wali negeri ke Mesir serta Kufah dan Bashrah di Irak. Posisi wali negeri Bashrah dipegang oleh adiknya [[Mush'ab bin az-Zubair|Mush'ab]].{{sfn|Donner|2010|p=182}} Koin dengan namanya juga dicetak di kawasan selatan Persia ([[Fars]] dan [[Kirman]]),{{sfn|Hawting|2000|p=48}}{{sfn|Rotter|1982|p=85}} tetapi sebagian daerah Syam tetap berada di bawah kekuasaan Umayyah.{{sfn|Wellhausen|1927|pp=168–169}}
 
=== Konflik memperebutkan Syam ===
Baris 55:
Setelah wafatnya Yazid, kekhalifahan Umayyah berpindah ke tangan putranya yang telah ia tunjuk, [[Muawiyah bin Yazid|Muawiyah II]]. Namun, kekuasaan Muawiyah bin Yazid hanya terbatas ke sebagian wilayah Syam.{{sfn|Wellhausen|1927|pp=168–169}} Setelah jatuhnya Mesir dan semenanjung Arab ke tangan Ibnu Zubair, para pemuka Irak mengusir wali negeri Umayyah Ubaidullah bin Ziyad.{{sfn|Hawting|2000|p=48}} Beberapa bulan kemudian, Muawiyah bin Yazid meninggal tanpa penerus yang jelas. Banyak kabilah-kabilah Syam bagian utara, dipimpin kabilah [[Banu Qais]], serta wali negeri di berbagai distrik Syam yaitu [[Jund Hims|Hims]], [[Qinnasrin]], dan [[Jund Filastin|Filastin]] (Palestina), yang berpindah ke kubu Ibnu Zubair.{{sfn|Wellhausen|1927|p=182}} Bahkan Wali Negeri Damaskus [[Dahhak bin Qais]] serta beberapa pemuka Umayyah termasuk Marwan bin al-Hakam, juga mempertimbangkan untuk tunduk pada Ibnu Zubair.{{sfn|Wellhausen|1927|pp=171–174}} Tokoh utama pendukung Muawiyah II adalah [[Ibnu Bahdal]], seorang panglima militer dan pemimpin kabilah pro-Umayyah [[Banu Kalb]]. Ia berkuasa di distrik [[Jund al-Urdunn|al-Urdunn]] (Yordania) dan memiliki pendukung di sebagian Damaskus.{{sfn|Wellhausen|1927|pp=170–171}} Ibnu Bahdal memiliki ikatan pernikahan dengan keluarga para khalifah Umayyah sebelumnya dan memiliki kedekatan dengan istana. Ia ingin mengangkat adik Muawiyah, [[Khalid bin Yazid]], sebagai khalifah.{{sfn|Kennedy|2016|pp=78–79}} Di sisi lain, Ibnu Ziyad membujuk Marwan untuk mengajukan diri karena Khalid dianggap terlalu muda untuk menjadi khalifah. Setelah perdebatan, Marwan diangkat sebagai khalifah oleh sebuah syura di kalangan pro-Umayyah di [[Jabiyah]] pada Juni 684.{{sfn|Wellhausen|1927|p=182}} Pihak pendukung Ibnu Zubair di Syam menolak kekuasaan Marwan dan kedua kubu berhadapan dalam [[Pertempuran Marj Rahith]] dekat Damaskus pada Agustus 684. Para pendukung Ibnu Zubair yang dipimpin oleh Dahhak bin Qais mengalami kekalahan, dan banyak anggota serta pimpinannya tewas.{{sfn|Kennedy|2016|pp=78–79}}
 
Naiknya Marwan menjadi titik balik di Syam karena ia berhasil mengukuhkan kekuasaan Umayyah di daerah tersebut. Ia mulai beralih mengembalikan kekuasaan Umayyah di wilayah lain.{{sfn|Kennedy|2016|p=80}} Marwan dan anaknya [[Abdul Aziz bin Marwan]] mengusir wali negeri Ibnu Zubair di Mesir dengan bantuan kabilah setempat.{{sfn|Kennedy|2016|p=80}} Serangan Mush'ab bin Az-Zubair ke Palestina berhasil dipatahkan dan pihak Umayyah melancarkan serangan ke Hijaz tetapi dikalahkan di dekat Madinah.{{sfn|Wellhausen|1927|pp=185–186}} Ibnu Ziyad dikirim untuk merebut Irak.{{sfn|Wellhausen|1927|pp=185–186}} Marwan wafat pada April 685 dan digantikan oleh putranya [[Abdul Malik bin Marwan|Abdul Malik]].{{sfn|Kennedy|2016|p=80}}
 
=== Di kawasan timur ===
Baris 69:
 
=== Pemberontakan Mukhtar ats-Tsaqafi ===
Mukhtar banyak beraktivitas setelah ia terpecah dari kubu Ibnu Zubair dan kembali di Kufah. Ia mendorong pembalasan terhadap kematian Husain dan diangkatnya putra Ali lainnya, [[Muhammad bin al-Hanafiyyah]], sebagai khalifah.{{sfn|Daftary|1992|p=52}} Setelah kekalahan pasukan Tawwabin, ia menjadi pemimpin para pendukung keturunan Ali di Kufah. Pada Oktober 685, Mukhtar dan para pengikutnya yang termasuk banyak kaum ''[[mawali]]'' (penduduk non-Arab yang masuk Islam), melengserkan wali negeri yang ditunjuk Ibnu Zubair dan menguasai Kufah. Ia memperluas kekuasaannya ke sebagian besar Irak dan barat laut Iran.{{sfn|Dixon|1971|p=45}} Mukhtar mengalahkan perlawanan terhadapnya di Kufah dan membunuh para penduduk yang terlibat dalam pembunuhan Husain. Ribuan penduduk Kufah melarikan diri ke Bashrah. Ia lalu mengirim panglima [[Ibrahim bin al-Asytar]] untuk menghadapi pasukan Umayyah pimpinan Ibnu Ziyad yang dikirim untuk merebut kembali Kufah. Pasukan Umayyah dikalahkan dalam [[Pertempuran Khazir]] (Agustus 686) dan Ibnu Ziyad terbunuh.{{sfn|Hawting|2000|p=53}} Hubungan Mukhtar dengan Ibnu Zubair memburuk. Pengungsi dari Kufah di Bashrah mendesak Mushab bin az-Zubair, wali negeri Bashrah dan adik Abdullah bin az-Zubair, untuk menyerang Kufah. Mukhtar mengirim pasukan untuk menghadapi Mush'ab, tetapi dikalahkan dalam pertempuran di tempat bernama Madzar di [[Sungai Tigris]] antara Bashrah dan Kufah. Pasukan Mukhtar mundur ke Harura, sebuah desa dekat Kufah, tetapi diikuti pasukan Mush'ab dan dihancurkan dalam [[pertempuran Harura]]. Mukhtar dan pengikutnya berlindung di istana Kufah dan dikepung oleh Mush'ab. Pada April 687, Mukhtar terbunuh saat berusaha menyerang para pengepung. Sekitar 6.000 pengikutnya terpaksa menyerah, tetapi dihukum mati oleh Mush'ab.{{sfn|Dixon|1971|pp=73–75}} Jatuhnya Mukhtar menyisakan dua kubu dalam perang saudara ini: kubu Umayyah dan kubu Ibnu Zubair.{{sfn|Hawting|2000|pp=47–49}}
 
== Kemenangan kubu Umayyah ==
Baris 75:
Setelah berkuasanya Marwan pada Juni 684, ia mengirim Ibnu Ziyad untuk merebut Irak, dan ia berhasil mengalahkan kaum Tawwabin di Ain al-Warda. Setelah kekalahan mereka di Marj Rahith, Banu Qais menyusun kembali kekuatannya di utara Irak, melanjutkan perang untuk mendukung Ibnu Zubair, dan menggagalkan upaya Ibnu Ziyad selama setahun.{{sfn|Wellhausen|1927|pp=185–186}} Setelah gagal mengalahkan Mukhtar di benteng pertahanannya, Ibnu Ziyad bergerak merebut Mosul dari penguasa bawahan Mukhtar. Mukhtar mengirim 3.000 pasukan berkuda untuk merebut kembali kota tersebut. Ia memenangkan sebuah pertempuran pada Juni 686, tetapi harus mundur dari pasukan Umayyah yang jauh lebih besar.{{sfn|Dixon|1971|pp=59–60}}
 
Sebulan kemudian, pasukan Mukhtar yang telah mendapat bala bantuan ganti mengalahkan Ibnu Ziyad dalam Pertempuran Khazir.{{sfn|Wellhausen|1927|p=186}} Ibnu Ziyad sendiri terbunuh, sehingga Abdul Malik menunda rencananya merebut Irak dan memusatkan perhatiannya untuk mengukuhkan kekuasaannya di Syam.{{sfn|Kennedy|2016|p=81}} Posisinya di Syam terancam oleh konflik internal dan serangan dari [[Kekaisaran Romawi Timur|Romawi Timur]].{{sfn|Gibb, H. A. R.|1960|p=76}} Meskipun demikian, ia sempat memimpin dua serangan ke Irak (689 dan 690),{{sfn|Dixon|1971|pp=126–127}} dan pesuruhnya menghasut sebuah pemberontakan di Bashrah terhadap Ibnu Zubair. Serangan maupun pemberontakan tersebut mengalami kegagalan. Alhasil, wali negeri Mush'ab bin az-Zubair balik menghukum para pendukung Umayyah di Bashrah.{{sfn|Dixon|1971|pp=127–129}}
 
Setelah gencatan senjata dengan Romawi Timur dan mengatasi masalah internal di Syam, Abdul Malik kembali menolehkan perhatiannya ke Irak.{{sfn|Gibb, H. A. R.|1960|p=76}} Pada 691, ia mengepung benteng Banu Qais di utara Irak. Setelah gagal menembus pertahanan Banu Qais, ia berhasil mengajak kabilah tersebut untuk bergabung dengan menawarkan konsesi politik serta janji pengampunan atas pemberontakan mereka.{{sfn|Kennedy|2016|p=84}}{{sfn|Dixon|1971|pp=92–93}} Dengan sekutu baru ini Abdul Malik maju untuk menghadapi Mush'ab,{{sfn|Gibb, H. A. R.|1960|p=76}} yang posisinya di Irak mulai melemah. Kaum Khawarij melakukan serangan-serangan terhadap pemerintah di Persia, Irak dan Semenanjung Arab. Di Irak dan Persia, kelompok [[Azariqah]], salah satu faksi Khawarij, merebut Fars serta Kirman pada 685 dan terus menentang Mush'ab.{{sfn|Rotter|1982|p=84}}{{sfn|Kennedy|2016|p=84}} Penduduk Kufah dan Bashrah juga mulai membencinya akibat tindakan tangan besinya serta pembunuhan terhadap pendukung Mukhtar dan Abdul Malik.{{sfn|Lammens|Pellat|1993|pp=649–650}} Alhasil, mantan pengikut Ibnu Zubair banyak membelot ke pihak Umayyah. Mush'ab harus meninggalkan setengah pasukannya di Bashrah untuk menghalau kaum Khawarij, dan tidak memiliki kekuatan cukup untuk menghadapi Abdul Malik. Ia dikalahkan dan terbunuh dalam [[Pertempuran Maskin]] pada Oktober 691.{{sfn|Gibb, H. A. R.|1960|p=76}}{{sfn|Lammens|Pellat|1993|pp=649–650}}
 
Setelah Irak dan wilayah sekitarnya jatuh ke tangan Abdul Malik, khalifah Umayyah tersebut mengirim panglimanya [[Al-Hajjaj bin Yusuf]] untuk menghadapi Abdullah bin az-Zubair, yang pusat kekuasaannya di Hijaz sedang diancam oleh kelompok Khawarij di bawah pimpinan [[Najdah bin Amir]].{{sfn|Kennedy|2016|p=84}} Najdah mendirikan sebuah negara merdeka di kawasan [[Najd]] dan [[Yamamah]] di semenanjung Arabia pada 685,{{sfn|Rotter|1982|p=84}} merebut [[Yaman]] dan [[Hadhramaut]] pada 688, serta menduduki [[Ta'if|Thaif]] pada 689.{{sfn|Gibb|1960|p=55}} Al-Hajjaj tidak langsung menyerang ibu kota Ibnu Zubair di Mekkah, tetapi bergerak menuju Thaif dan mengalahkan pasukan pendukung Ibnu Zubair dalam beberapa bentrokan kecil. Pasukan Umayyah lain merebut Madinah dari kubu Ibnu Zubair, dan bergabung dengan Al-Hajjaj yang [[Pengepungan Mekkah (692)|mengepung Mekkah]] pada Maret 692.{{sfn|Wellhausen|1927|pp=188–189}}{{sfn|Gibb|1960|p=54}} Kota suci itu dikepung selama enam atau tujuh bulan, berakhir dengan menyerahnya pasukan Ibnu Zubair dan dibunuhnya pemimpin mereka pada September atau Oktober 692.{{sfn|Wellhausen|1927|pp=188–189}}{{sfn|Gibb|1960|p=54}} Dengan meninggalnya sang khalifah tandingan, daerah Hijaz jatuh ke tangan Umayyah dan kubu Umayyah telah memenangi perang saudara di antara umat Islam.{{sfn|Donner|2010|p=188}} Walaupun setelah ini masih ada rongrongan dari kaum Khawarij, perlawanan kelompok ini pun kelak akan dipadamkan.{{sfn|Gibb, H. A. R.|1960|p=77}}
 
== Tinggalan sejarah ==