Arya Raksadinata: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
Relly Komaruzaman (bicara | kontrib)
Tidak ada ringkasan suntingan
Tidak ada ringkasan suntingan
Baris 1:
{{unreferenced}}
{{rapikan}}
kabuyutan sawal. R. Arya Raksadinata atau raden Ahmad Raksadinata adalah seorang panembahan dari kerajaan Panjalu yang tinggal di tepian gunung Sawal, tepatnya di kampung Sukapulang desa Kertaraharja, kecamatan Panumbangan Ciamis. beliau berasal dari keluarga yang cukup terpandang dan disegani warga sekitar, karena R. A Raksadinata adalah keturunan yang ke sembilan dari silsilah kerajaan Panjalu. beliau memiliki putra-putri bernama: Kaip, Sanukhri, Abdul Salam dan Uha si gadis cantik.
 
{{MACAN SURYALAYA}}
Salah satu kerabat dekatnya adalah KH. Abdullah Mubarrok (Abah Sepuh). dikarenakan kerabatnya memiliki ilmu ke agamaan yang luas, R. A Raksadinata (eyang Raksa)pernah menyarankan Abah Sepuh untuk mendirikan sebuah pengajian (pesantren) di daerah Tundagan. Hal ini ditanggapi positif oleh Abah Sepuh. dan untuk mempererat hubungan kekerabatan dan kekeluargaan, maka eyang Raksa menyerahkan putranya yang bernama Abdul Salam (KH. M Abu Bakar Faqih kelak memiliki gelar si Macan Suryalaya). Karena diharapkan jika dewasa Abdul Salam dapat menimba ilmu sekaligus membantu perjuangan Abah Sepuh.
 
Saat berusia 69 tahun Abah Sepuh berencana membangun tempat kediaman dan wisma tamu yang disebut Ribath. Selain untuk kediaman abah Sepuh dan keluarga, tempat ini juga untuk menampung murid-murid yang bermukim (Sunda:mondok). Serta para tamu yang datang dari berbagai daerah.
 
kabuyutan sawal. R. Arya Raksadinata atau raden Ahmad Raksadinata adalah seorang panembahan dari kerajaan Panjalu yang tinggal di tepian gunung Sawal, tepatnya di kampung Sukapulang desa Kertaraharja, kecamatan Panumbangan Ciamis. beliau berasal dari keluarga yang cukup terpandang dan disegani warga sekitar, karena R. A Raksadinata adalahmasih ada keturunan yang ke sembilandengan darikeluarga silsilahbesar kerajaan Panjalu. beliau memiliki putra-putri bernama: Kaip, Sanukhri, Abdul Salam dan Uha si gadis cantik.
Faqih, yang pada waktu itu berumur sekitar 25 tahun, ikut serta berpartisipasi merealisasikan rencana Abah Sepuh. Kegiatan diawali dengan memusnahkan atau membersihkan semak belukar. Dengan peralatan yang seadanya Faqih muda yang hanya dibantu segelintir orang bahu membahu mengikis sebagian pegunungan yang terjal hingga rata. Hal itu dilakukan supaya mempermudah proses pembangunan Ribath berupa masjid dan beberapa tempat tinggal dengan memakan waktu berbulanbulan hingga tuntas.
 
Salah satu kerabat dekatnya adalah KH. Abdullah Mubarrok (Abah Sepuh). dikarenakan kerabatnya memiliki ilmu ke agamaan yang luas, R. A Raksadinata (eyang Raksa)pernah menyarankan Abah Sepuh untuk mendirikan sebuah pengajian (pesantren) di daerah Tundagan. Hal ini ditanggapi positif oleh Abah Sepuh. dan untuk mempererat hubungan kekerabatan dan kekeluargaan, maka eyang Raksa menyerahkan putranya yang bernama Abdul Salam (Fakih) yang kelak disapa dengan sebutan Abah Faqih (KH. M Abu Bakar Faqih kelak memiliki gelarbergelar si Macan Suryalaya). KarenaSiapakah diharapkansebenarnya jikasosok dewasasi AbdulMacan SalamSuryalaya dapat menimba ilmu sekaligus membantu perjuangan Abah Sepuh.?
Sekitar tahun 1905 M, tepatnya tanggal 7 Rajab 1323 H atau 5 September 1905 M, tempat tersebut diresmikan dengan nama Patapan Suryalaya Kajembaran Rahmaniah atau disingkat Suryalaya. Tanggal tersebut dijadikan awal mula (Sunda: titi mangsa) lahirnya Patapan Suryalaya. Sekalipun patapan tersebut diberi nama Suryalaya, ketika itu masyarakat masih menyebutnya Godebag, sebuah nama kampung tempat terdapatnya Patapan. Makna Patapan berarti tempat bertapa atau kholwat, sedangkan hakekatnya, meredam kehidupan lahir, baik emosional maupun rasional dengan menggunakan suatu alat yakni dzikrullah ala Thoreqat, supaya kehidupan batin/spiritual menjadi cemerlang. Saat-saat tertentu, kholwat itu memang dibutuhkan, supaya hati dan pikiran kita yang terkadang tanpa sebab menjadi keruh, dengan kholwat itu kembali cerah, namun untuk melakukan kholwat orang harus mendapatkan bimbingan guru ahlinya, supaya setan tidak menjadi pembimbingnya. Dzikir thoriqoh itu ibarat orang melaksanakan meditasi, meminjam istilah jawa: “mati sak jeroneng orep”. Maksudnya, saat itu kita harus mampu meredam atau mengosongkan kehidupan basyariyah(lahir/manusiawi) kita supaya kehidupan ruhani (batin/spiritual)kita hidup. dengan dzikrullah supaya terjadi interaksi antara dzikir seorang hamba dengan dzikir ilahiyah sebagaimana yang ditegaskan Allah Ta’ala dalam firmanNya: “Karena itu, ingatlah kamu kepada-Ku niscaya Aku ingat (pula) kepadamu, dan bersyukurlah kepada-Ku, dan janganlah kamu mengingkari (ni`mat) -Ku” (QS.alBaqoroh/152)
Ini merupakan rahasia dzikir, ilmu thoriqoh yang sangat perlu difahami oleh orang yang senang berdzikir. Jika orang tidak memahaminya, terkadang orang yang ahli dzikir itu malah menjadi setengah gila.
Setelah interaksi dua dzikir itu terkondisi, lalu sebagai buahnya kita akan mendapatkan ‘inspirasi ilahiyah’ yang disebut pikir: Allah memberikan info dengan firmanNya;”(yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadaan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): “Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia. Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka”(QS.Ali Imran/191). Itulah rahasia masuknya ilmu laduni.
Untuk dzikir seperti ini kita harus mendapatkan bimbingan seorang guru mursyid, kalau tidak, yang membimbing dzikir kita setan jin. Akibatnya, kalau tidak menjadi gila, terkadang orang ahli dzikir itu malah terjebak menjadi sombong, dalam arti merasa lebih baik daripada orang lain
 
Di dalam sejarah kehidupannya ia telah menorehkan tinta emas sebagai ulama spiritual yang ikut berjasa mendirikan Patapan Suryalaya untuk mengamankan, melestarikan, menyebar luaskan ajaran Tarekat Qoodiriyah wa Naqsyabandiyyah (TQN). Meskipun demikian beliau merasa hanya menyumbangkan sebagian kecil pengabdian untuk kejayaan agama, khususnya Tarekat Qoodiriyah wa Naqsyabandiyah di Patapan Suryalaya. Seperti dikatakan oleh seorang penyair:
“Sebutan Suryalaya diambil dari bahasa Sunda, Surya artinya matahari, sedangkan Laya berarti tempat terbit. Pesantren ini diharapkan dapat memberikan cahaya bernuansa Islami bagi seluruh umat manusia, seperti halnya matahari yang menyinari jagat alam semesta ini”
“Saya bukanlah yang membangun Patapan tersebut, saya hanya sekedar yang memanggul kerikil dan pasir saja”.
 
Seolah-olah kerikil dan pasir sumbangannya itu di bawah tumpukkan bahan-bahan lainnya dari jutaan ikhwan TQN Suryalaya yang ikut menyelamatkan dan mengembangkan, serta mendukung bangunan tersebut. Berkat rahmat Allah SWT dimasa hidupnya beliau diangkat Abah Sepuh sebagai salah satu guru mursyid TQN di Patapan Suryalaya. (SEBAGAI BAHAN RUJUKKAN: lihat buku kenang-kenangan Hari Ulang Tahun Pondok pesantren Suryalaya ke 95, dan buku Satu Abad Ponpes Suryalaya, diterbitkan Yayasan Serba Bhakti Ponpes Suryalaya).
Di zaman kolonial Belanda masih berkuasa, [[Patapan Suryalaya]] mengalami beberapa kali pemugaran (renovasi). Faqih muda turut berpartisipasi baik dari segi tenaga maupun materi untuk perbaikan bangunan dan perluasan area Patapan Suryalaya. Pernah suatu hari ia mengirim genteng untuk atap bangunan masjid jami Nurul Asror, proses pengirimannya ditempuh dengan berjalan kaki dari Majalengka menuju Patapan Suryalaya, memakan waktu delapan jam perjalanan (waktu itu atap masjid masih menggunakan ijuk dari dahan kelapa).
 
Dalam melestarikan, mengamankan, dan menyebarluaskan ajaran TQN Patapan Suryalaya, Abah Faqih menjadikan sebuah masjid dan tempat kediamannya sebagai wadah melatih diri dalam bertasawuf, yaitu pekerjaan dzikir, sholat-sholat sunat, khotaman, manaqiban, berpuasa, berkholwat, muroqobah, muhasabah, dan riyadhoh khusus lainnya.
ayah kandung kyai Faqih (RA Raksadinata)ketika mengetahui bahwa kerabatnya (Abah Sepuh) memiliki rencana memperluas area Ribath , ia mengerahkan anak buahnya untuk berpartisipasi dalam proses perluasan area Patapan Suryalaya Kajembaran Rahmaniah ( baca selengkapnya di buku "Selayang Pandang Menelusuri Perjalanan Hidup Macan Suryalaya" dan "Penyambung Lidah Macan Suryalaya".
Di tahun 1980an, karena usianya yang sudah lebih dari seratus tahun ditambah kondisi fisik yang sudah tidak memungkinkan untuk sering berpergian, beliau menunjuk putranya yang bernama H. Dudung meneruskan perjuangannya menyebarkan agama Islam bernuansakan tasawuf di bawah panji pondok Pesantren Suryalaya Tasikmalaya Jawa Barat.:
 
“ Dudung... bilih aya nu butuh amalan-amalan tarekat bere wae ku maneh ”...
Kenyataan memang tidak bisa ditutup-tutupi, hal yang demikian serupa dengan ucapan syekh mursyid pangersa Abah Anom kepada H. Dudung pada tahun 1960 M di Patapan Suryalaya. Kala itu usia haji Dudung masih belia dan belum berumah tangga (bujangan). Beberapa tahun setelah ia menetap di Suryalaya, haji Dudung mohon restu kepada gurunya untuk mengembara, ketika itu pangersa Abah Anom memberitahukan bahwa kelak dirinya sebagai pengganti dan penerus Abah Faqih:
“Maneh engke rek dijadikeun pengganti bapak maneh di dieu”..... (Maksudnya adalah, bahwa kamu kelak akan dijadikan sebagai pengganti bapakmu di sini).
 
Dengan penuh kepasrahan H. Dudung menerima apa yang telah disampaikan guru spiritualnya, kelak jika telah tiba waktunya ia akan menjadi penerus dan pengganti ayahnya, syekh Muhammad Abu Bakar Faqih si Macan Suryalaya. Mengenai keabsahannya, bagi para pembaca yang meragukan hal tersebut dipersilahkan “langsung” bertanya kepada syekh mursyid pangersa Abah Anom, dan bukan kepada yang lain, alhamdulillah kini beliau masih sehat walafiat dan semoga dipanjangkan usia dunianya, amin.
sumber dari: Buku Menelusuri Perjalanan Hidup Macan Suryalaya
 
Subhanalloh...
Bagi seorang musafir yang mencari penerang di malam kelam, cahaya bulan dapat menuntun perjalanan. Padahal itu hanyalah sinar pantulan, namun mampu meneruskan sinar mentari yang telah ditelan bayangan. Semoga jiwa yang baik menerima bagian yang sudah disediakan…amiin.
 
Setelah sang Macan Suryalaya telah tiada, perjuangannya kini diteruskan oleh haji Dudung Zaenal Abidin (Ahmad Abidin) dengan mendirikan suatu Zawiyah di sekitar pondok labu (pangkalan jati) sebagai tempat melatih diri dalam bertasawuf. Ketika reputasinya berkembang di tahun 1990an, H. Dudung dan keturunannya diterpa “iklan gratis nan jitu”, ghosip berupa hinaan, maupun fitnahan. Ibarat pepatah, semakin tinggi pohon semakin keras terpaan angin, itu pula yang dialami H. Dudung. Semakin ia berkibar, semakin banyak isu yang mengguncangnya. Ia telah dianggap sesat dan menyeleweng. Kini jika ada orang menyebut “H. Dudung dari Pondok Labu” pasti keluarnya yang jelek-jelek, dan ada pula yang menyebut dirinya adalah seorang buta huruf, statusnya sosial rendah, seorang dukun, gelandangan, dan sebagainya. Semuanya ia terima dengan tangan terbuka, dengan alasan ini adalah alamiah dari kehidupan bermasyarakat yang timbul tenggelam pada diri manusia dan hal seperti itu bisa saja terjadi di kalangan orang-orang ahli dzikir, bahkan mereka sendiri yang menyebar isu seperti itu. Menurut H. Dudi Riswan. SH seorang ikhwan dan pengusaha eksekutif asal Batam mengatakan bahwa, hinaan dan fitnahan terhadap haji Dudung dan keluarganya ibarat snow ball (bola salju), menggelinding semakin jauh dan besar sampai mancanegara.
 
Siapakah sebenarnya H. Dudung Ahmad Abidin? Dan mengapa sebagian saudara kita yang seiman dan seaqidah sampai hati menghujat, dan memfitnahnya? Memang, suka duka yang dialami Macan Suryalaya beserta keturunan merupakan romantika perjalanan hidup yang menarik untuk di simak, sehingga yang asalnya samar menjadi jelas, yang asalnya tidak faham menjadi faham. Jika kita mampu menyikapinya dengan matahati, bukan nafsu dan akal saja, maka insya Allah kita bisa menemukan hikmah dan dapat mengambil manfaatnya. Dan semoga Allah swt membuka pintu hati kita untuk memahami segala kehendak dan takdir-Nya. Amin Yaa Robbal ‘alamin.
 
[[ Sumber: buku Macan Suryalaya-Perjalanan dan Pengabdiannya ]]