Gula: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
Benambah kata
Tag: Suntingan perangkat seluler Suntingan peramban seluler
InternetArchiveBot (bicara | kontrib)
Rescuing 1 sources and tagging 0 as dead.) #IABot (v2.0.9.5
Baris 20:
Ketika orang-orang [[Belanda]] mulai membuka koloni di [[Pulau Jawa]], kebun-kebun tebu monokultur mulai dibuka oleh [[tuan tanah|tuan-tuan tanah]] pada abad ke-17, pertama di sekitar [[Batavia]], lalu berkembang ke arah timur.
 
Puncak kegemilangan perkebunan tebu dicapai pada tahun-tahun awal 1930-an, dengan 179 pabrik pengolahan dan produksi tiga juta ton gula per tahun.<ref name=FAO>[http://www.fao.org/DOCREP/005/X0513E/x0513e21.htm Indonesia] {{Webarchive|url=https://web.archive.org/web/20190216192304/http://www.fao.org/docrep/005/X0513E/x0513e21.htm |date=2019-02-16 }}. Proc. of the Fiji/FAO Asia Pacific Sugar Conference</ref> Penurunan harga gula akibat krisis ekonomi merontokkan industri ini dan pada akhir dekade hanya tersisa 35 pabrik dengan produksi 500 ribu ton gula per tahun. Situasi agak pulih menjelang [[Perang Pasifik]], dengan 93 pabrik dan prduksi 1,5 juta ton. Seusai [[Perang Dunia II]], tersisa 30 pabrik aktif. Tahun 1950-an menyaksikan aktivitas baru sehingga Indonesia menjadi eksportir netto. Pada tahun 1957 semua pabrik gula dinasionalisasi dan pemerintah sangat meregulasi industri ini. Sejak 1967 hingga sekarang Indonesia kembali menjadi importir gula.
 
Macetnya riset pergulaan, pabrik-pabrik gula di Jawa yang ketinggalan teknologi, tingginya tingkat konsumsi (termasuk untuk industri [[minuman ringan]]), serta kurangnya investor untuk pembukaan lahan tebu di luar Jawa menjadi penyebab sulitnya swasembada gula.<ref name=FAO/>