Perang Diponegoro: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
tidak ada referensi bahwa pasukan Tionghoa berperang bersama pasukan jawa
Citra (bicara | kontrib)
Baris 32:
Pada tanggal 6 Desember 1822, Hamengkubuwana IV meninggal pada usia 19 tahun. Ratu Ageng (permaisuri Hamengkubuwana II) dan Gusti Kangjeng Ratu Kencono (permaisuri Hamengkubuwana IV) memohon dengan sangat kepada pemerintah Belanda untuk mengukuhkan putra Hamengkubuwana IV yang masih berusia 2 tahun untuk menjadi Hamengkubuwana V serta tidak lagi menjadikan Paku Alam sebagai wali. Pangeran Diponegoro selanjutnya diangkat menjadi wali bagi keponakannya bersama dengan Mangkubumi.
 
Residen baru Yogyakarta pengganti Nahuys, Jonkheer Anthonie Hendrik Smissaert bertindak keterlaluan dengan terlibat dalam penunjukkan Sultan pada bulan Juni 1823. Penunjukan itu untuk menggantikan Sultan Hamengku Buwono IIIIV yang meninggal mendadak. Smissaert duduk di atas tahta seraya menerima sembah dan bakti para bupati mancanagara dalam lima upacara Garebeg selama 31 bulan masa jabatannya sebagai Residen. Di mata orang Jawa hal ini adalah penghinaan terhadap martabat mereka. (Peter Carey: 2014)
 
Pangeran Diponegoro memang tetap menerima posisi sebagai Wali Sultan bersama Mangkubumi, Ratu Ageng dan Ratu Kencono (Ibunda Sultan balita). Namun posisi Pangeran semakin tidak dianggap. Smissaert mengabaikan pendapat Pangeran Diponegoro dalam persoalan ganti rugi sewa tanah yang dapat membawa Kesultanan pada kebangkrutan.<ref name=carey/>