Hartojo Andangdaja: Perbedaan antara revisi
Konten dihapus Konten ditambahkan
k Bot: +{{Authority control}} |
Rescuing 3 sources and tagging 0 as dead.) #IABot (v2.0.9.5 |
||
Baris 6:
Hartojo lahir dan tumbuh di Solo, Jawa Tengah. Pendidikan dasar dan menengahnya di lingkungan sekolah Islam [[Muhammadiyah]] [[Surakarta]]. Pendidikan terakhirnya adalah Muallimin Muhammadiyah Solo, yang kemudian hari berganti nama menjadi Sekolah Guru Muhammadiyah Solo, sejajar dengan PGSLP (Pendidikan Guru Sekolah Lanjutan Pertama), jurusan Bahasa Indonesia, tahun [[1953]]. Pendidikannya tersendat-sendat akibat penjajahan Jepang dan perang revolusi kemerdekaan Republik Indonesia. Setamat dari sekolah guru, ia mengajar di beberapa sekolah swasta SLTP dan SMA di Solo ([[1953]]–[[1956]]). Sambil mengajar ia mengajukan lamaran menjadi guru pegawai negeri. Lamarannya pun diterima dan ia ditugaskan menjadi guru SLTP Negeri [[Pasaman]], [[Sumatra Barat]]. Selain itu, ia juga menjadi tenaga honorer di SMA Negeri Simpang Empat, Pasaman, Sumatra Barat ([[1957]]–[[1962]]). Ketika terjadi peristiwa PRRI Permesta awal tahun 1960-an di Sumatra Barat, ia dituduh berpihak pada republik sehingga ia memilih menyelamatkan diri dengan meninggalkan tanah [[Minang]], tanpa sempat mengurus kepindahan tugas mengajarnya dari kedua sekolahan tersebut.<ref>[http://media.kompasiana.com/buku/2012/12/20/world-writers-390-hartojo-andangdjaja-517503.html Media-Kompasiana] {{Webarchive|url=https://web.archive.org/web/20150402093745/http://media.kompasiana.com/buku/2012/12/20/world-writers-390-hartojo-andangdjaja-517503.html |date=2015-04-02 }}, diakses 28 Februari 2015</ref>
Ia tidak langsung pulang ke Solo, melainkan memilih singgah dan bekerja di Jakarta bergabung dengan majalah Si Kuntjung. Bersama rekan-rekan seniman yang lainnya, pada tahun 1963 ia ikut mencetuskan dan menandatangani Manifes Kebudayaan. Setelah terjadi pelarangan Manifes Kebudayaan pada tahun 1964, hidupnya kembali terancam oleh Lekra-PKI yang anti-Manifes. Ia kembali meninggalkan sumber nafkahnya di majalah Si Kuntjung dan kemudian pulang ke kampung halamannya, Tegal Kembang, Laweyan, Solo. Setelah peristiwa G30S/PKI usai, barulah ia kembali mendapat pekerjaan sebagai guru di STN (Sekolah Teknik Negeri) Kartasura dan SLTP Batik Solo. Kisah hidupnya sebagai seorang guru ditulis dalam sajaknya ''Dari Seorang Guru Kepada Murid-Muridnya'' (dimuat dalam majalah Cerpen Tahun I Nomor 7, 1967).<ref>[http://www.amazon.com/Hartojo-Andangdjaja/e/B001JOFGSM Amzon: Hartojo Andangdaja] {{Webarchive|url=https://web.archive.org/web/20160925051018/https://www.amazon.com/Hartojo-Andangdjaja/e/B001JOFGSM |date=2016-09-25 }}, diakses 28 Februari 2015</ref>
Beberapa puisinya pun pernah diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa asing dan terbit di [[Amerika Serikat]] dan [[Jepang]]. Satu-satunya buku kumpulan puisi tunggal yang dimilikinya adalah ''Buku Puisi'' (1973) yang memuat sebanyak 36 sajak dan diterbitkan oleh Dunia Pustaka Jaya atas prakarsa Ajip Rosidi.<ref>[http://www.worldcat.org/identities/lccn-n93904243/ World Cat: Hartojo Andangdaja] {{Webarchive|url=https://web.archive.org/web/20181029115421/http://www.worldcat.org/identities/lccn-n93904243/ |date=2018-10-29 }}, diakses 28 Februari 2015</ref>
Salah satu karya esainya bertajuk ''Pola-Pola Pantun Dalam Persajakan Modern'' (dimuat dalam majalah Sastra Nomor 6 Tahun II, 1962, hlm. 31–34), pernah memenangkan hadiah dari majalah Sastra asuhan [[H.B. Jassin]]. Esai kemudian dimuat pula dalam buku ''Sejumlah Majalah Sastra'' (1982) susunan Satyagraha Hoerip (Jakarta: Sinar Harapan), dan dimuat pula dalam buku ''Dari Sunyi ke Bunyi: Kumpulan Esai Tentang Puisi'' ([[1991]]) dengan pengantar [[Goenawan Mohamad]] (Jakarta: Pustaka Utama Grafiti).
Selain sebagai penulis puisi dan esai, ia pernah menjadi redaktur beberapa majalah antara lain ''Merpati'' (Solo, 1948), ''Tjitra'' (Solo, [[1952]]–[[1954]]), Si ''Kuntjung'' (Jakarta, 1962–1964), ''Madyantara'' (Solo, [[1974]]), dan ''Relung Pustaka'' ([[Solo]], [[1970]]-an). Ketika masih berada di Solo, Hartojo bersama D.S. Moeljanto pernah pula memimpin ruang seni dan sastra Simposium dalam majalah ''Dwiwarna'' (1953–1954). Selain bergerak di bidang tulis-menulis, ia pun pernah mencoba bekerja di perusahaan swasta di Solo hingga tahun 1972. Karena perusahaan tempatnya bekerja itu macet, ia pun berhenti bekerja dan pindah bekerja di perusahaan batik, namun jenis pekerjaan ini pun tidak sesuai dengan cita-cita dan harapannya.<ref>[http://narasastra.wix.com/narasastra#!Dari-Ara-Tentang-1-Hartojo-Andangdjaja/colb/54c138620cf2ad5dc6c703e9 Narassastra: Dari ara tentang Hartojo Andangdadja] {{Webarchive|url=https://web.archive.org/web/20160304233826/http://narasastra.wix.com/narasastra#!Dari-Ara-Tentang-1-Hartojo-Andangdjaja/colb/54c138620cf2ad5dc6c703e9 |date=2016-03-04 }}, diakses 28 Februari 2015</ref>
Setelah mencoba menekuni pekerjaan lain di luar bidang tulis menulis, dan semuanya tidak ada yang cocok, sejak tahun 1976 ia memutuskan untuk kembali menekuni kariernya di bidang penulisan esai dan penerjemahan. Sebagai seorang partikeliran atau swasta, ia cukup tinggal di rumahnya, bahu-membahu dengan istrinya, sambil sesekali mengunjungi perpustakaan dan toko buku, ke kantor pos mengirimkan karya-karyanya ke berbagai majalah, surat kabar, dan penerbitan, serta mengambil wesel honororium tulisannya. Menjelang akhir hayatnya, ia sering sakit-sakitan, digerogoti asma-bronchitis. Dalam kondisi yang sakit-sakitan itu dia beruntung selalu ditemani oleh Istida, istrinya, dan kedua anaknya, Haris Wijayanto dan Fitri Wijayanti.
|