Poitiers: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
A154 (bicara | kontrib)
Tag: Suntingan perangkat seluler Suntingan peramban seluler Suntingan seluler lanjutan
Baris 18:
Tipe organisasi politik yang ada di Poitiers pada masa akhir Abad Pertengahan / awal Abad Modern dapat dilihat melalui pidato yang disampaikan pada 14 Juli 1595 oleh Maurice Roatin, wali kota Poitiers. Ia membandingkannya dengan negara Romawi, yang mengkombinasikan tiga bentuk pemerintahan: monarki (pemerintahan oleh satu orang), aristokrasi (pemerintahan oleh sedikit orang), dan demokrasi (pemerintahan oleh banyak orang). Ia mengatakan bahwa jabatan konsul Romawi sebanding dengan jabatan wali kota Poitiers, senat sama dengan pemerintah kota dan ''échevins'', serta unsur demokratis di Roma sama dengan kenyataan bahwa masalah-masalah yang paling penting "tidak dapat diputuskan kecuali melalui nasihat dari ''Mois et Cent'' [dewan yang luas].[[#Notes|<sup>1</sup>]] Wali kota tampaknya adalah seorang penganjur konstitusi campuran; kita harus mencatat bahwa tidak semua orang Prancis pada 1595 akan setuju dengannya, setidak-tidaknya di depan publik. Banyak yang lebih menyukai monarki absolut. Kita juga harus mencatat bahwa unsur-unsur demokratisnya tidaklah sekuat apa yang mungkin disiratkan oleh kata-kata sang wali kota. pada kenyataannya, Poitiers serupa dengan kota-kota Prancis yang lain: Paris, Nantes, Marseille, Limogues, La Rochelle, Dijon, dalam arti bahwa dewan pemerintahan kota (''corps de ville'') "sangat eksklusif dan oligarkis": sejumlah kecil kelompok profesional dan keluarga menguasai sebagian besar jabatan kota. Di Poitiers banyak dari posisi-posisi ini diberikan seumur hidup kepada si pemegang jabatan.[[#Notes|<sup>2</sup>]]
 
Pemerintah koatkota di Poitiers mendasarkan klaim-klaim legitimasinya pada teori pemerintahan di mana wali kota dan ''échevins'' memegang yurisdiksi urusan-urusan kota [[fief|sebagai vasal]] dari raja. Artinya, mereka bersumpah setia dan berjanji mendukungnya, dan sebagai ganjarannya, raja memberikan kepada mereka kekuasaan setempat.
<!--This gave them the advantage of being able to claim that any townsperson who challenged their authority was being disloyal to the king. Every year the mayor and the 24 ''échevins'' would swear an oath of allegiance "between the hands" of the king or his representative, usually the lieutenant général or the sénécheusée. For example, in 1567, when Maxient Poitevin was mayor, king Henry III came for a visit, and, although some townspeople grumbled about the licentious behaviour of his entourage, Henry smoothed things over with a warm speech acknowledging their allegiance and thanking them for it.[[#Notes|<sup>2</sup>]] -->