Jalan Tengah: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
Tjmoel (bicara | kontrib)
Tjmoel (bicara | kontrib)
Baris 24:
 
 
InBerdasarkan regardnasihat to theSang Buddha's admonitionterhadap against"kegemaran theakan "indulgencekesenangan of sense-pleasuresindryawi" (Pali: kāmesu kāma-sukha-allika), Ven.bhikkhu Dr. Rewata Dhamma has writtenmenuliskan:
{{cquote|... pelatihan semacam ini berhubungan dengan cara 'hidup perkotaan', yang menerima kesenangan indriyawi sebagai faktor tertinggi kebahagiaan; semakin tinggi kegemaran, semakin bahagia ....<br><br>
 
Sang Buddha mengajarkan bahwa kegemaran akan kesenangan indriawi bukanlah pelatihan bagi yang tercerahkan, mereka yang terhormat (ariya). Para Ariya yang menjalani kehidupan duniawi tidak memiliki keterikatan akan obyek indriawy. Sebagai contoh, pada tingkatan pertama dalam hidupan mulia, sotapanna, atau pemenang arus, belum lagi mengalahkan nafsu atau hasrat. Pengertian pada tahap awal akan kegemaran jasmani yang masih ditoleransi (sukhasaññā) masih lemah. Akan tetapi, seorang pemenang arus tidak akan merasa perlu untuk menggemari keinginan duniawi.<ref> {{eng}} Dhamma (1997), p. 25. </ref>
"...This kind of practice is the concern of so-called 'urban civilization,' which condones sensuous pleasures as the highest attributes of bliss; the greater the pleasures, the greater the happiness....
|4=
 
|5=}}
"The Buddha taught that indulgence in sensuous pleasures is not the practice of enlightened, noble ones (ariyas). Noble ones who live the worldly life do not have attachment to sense objects. For example, in the first stage of an enlightened noble life, the sotāpanna, or stream winner, has not yet overcome lust and passions. Incipient perceptions of the agreeableness of carnal pleasures (sukhasaññā) still linger. Nevertheless, the stream-winner will not feel the need to indulge in worldly pleasures."[6]
 
Berdasarkan naskah dalam kitab suci, ketika Sang Buddha menyampaikan Dhammacakkappavattana Sutta, Ia menyampaikan hal ini kepada lima orang bhikkhu ((Assajji, Vappa, Bhadiya, Kondañña, Mahanama) yang dahulu bersama-sama melakukan kehidupan pertapaan yang keras. Dengan demikian, hal ini dan juga hubungan yang lebih luas dengan ajaran Shramanic dari India yang memberikan hubungan utama dengan perbedaan pendapat akan penyiksaan diri yang keras (Pali: atta-kilamatha)