Ketuanan Melayu: Perbedaan antara revisi
Konten dihapus Konten ditambahkan
k ~ref |
Fitur saranan suntingan: 3 pranala ditambahkan. Tag: halaman dengan galat kutipan VisualEditor Tugas pengguna baru Disarankan: tambahkan pranala |
||
Baris 26:
Kebijakan kependidikan Britania kemudian mensegregasi kaum-kaum yang satu dengan yang lain. Britania memberikan pendidikan yang minim bagi kaum Melayu, sedangkan kaum non-Melayu dibiarkan sendiri. Kaum Melayu yang umumnya tinggal di pedesaan tidak dianjurkan bersosialisasi dengan kaum non-Melayu perkotaan.<ref>Hwang, pp. 30–31.</ref> Kondisi ekonomi Melayu yang miskin dibandingkan dengan kaum Tionghoa yang lebih baik juga membakar sentimen rasial ini.
Faktor lain yang mencuatkan ketuanan Melayu adalah pendudukan [[Jepang]] di Malaya semasa Perang Dunia II. Perang Dunia ini "membangkitkan kesadaran politik di antara warga Malaya dengan mengintensifkan komunalisme dan kebencian rasial". Kebijakan Jepang atas "politisasi kaum petani Melayu" secara sengaja membakar nasionalisme Melayu. Dua sejarahwan Melayu menulis bahwa "Perlakuan tidak ramah yang diberikan Jepang kepada kaum Tionghoa dan perlakuan sebaliknya yang diberikan kepada kaum Melayu membantu kaum Tionghoa merasakan identitasnya yang terkucil secara lebih tajam..." Salah satu komentator asing juga menyatakan "Semasa periode pendudukan ... sentimen nasional Melayu telah menjadi kenyataan; sentimen ini sangatlah anti-Tionghoa dan dalam unjuk rasa diserukan 'Malaya untuk orang Melayu'..."<ref>Hwang, pp. 34–35.</ref>
== Prakemerdekaan ==
Baris 103:
Lee kemudian berkeluh: "Malaysia — kepada siapa ia berpunya? Kepada bangsa Malaysia. Namun siapakah bangsa Malaysia? Saya berharap saya adalah bangsa Malaysia, Tuan Pembicara. Namun kadang-kadang, duduk di ruangan ini, saya ragu apakah saya diizinkan menjadi bangsa Malaysia. Keraguan inilah yang menyangkut di pikiran saya, dan ... [seketika] emosi dilepaskan, dan manusia dengan manusia saling berseberangan dibatasi oleh garis tak terucapkan ini, anda akan mempunyai sejenis peperangan yang akan memecah belah negara ini dari atas ke bawah dan menghancurkan Malaysia."<ref>Keith, pp. 115–116.</ref> Kadang-kadang, Lee memperparah situasi dengan membuat komentar-komentar rasial. Banyak pidato-pidatonya yang terus mendengung-dengungkan komposisi etnis Malaysia, mengingatkan kepada para pendengar bahwa kaum non-Melayu yang sekarang telah menjadi mayoritas, dengan 61% populasi berbanding 39% Melayu, "Mengapa kita harus kembali ke Singapura yang dulu dan sekali lagi menurunkan derajat non-Melayu di Malaya menjadi minoritas?"<ref>Sopiee, p. 204.</ref> Lee memperparah hubungan PAP-UMNO dengan secara konstan menuntut pemerintah federal memerangi kelompok [[Ultra (Malaysia|ultra]] yang banyak menduduki jabatan penting UMNO seperti [[Syed Jaafar Albar]] dan [[Syed Nasir Ismail]].<ref>Sopiee, p. 194.</ref><ref>Keith, p. 118.</ref>
Pernyataan-pernyataan Lee mengundang kemarahan banyak pihak, utamanya politikus-politikus Perikatan. Tan Siew Sin menyebut Lee "Kekuatan perusak terbesar dalam seluruh sejarah Malaysia dan Malaya."<ref>[http://ourstory.asia1.com.sg/merger/headline/mimposib.html "'Impossible to co-operate with Singapore while Lee is Premier'"] {{Webarchive|url=https://web.archive.org/web/20050310003615/http://ourstory.asia1.com.sg/merger/headline/mimposib.html |date=2005-03-10 }}. (2 June 1965). ''[[Straits Times]]''.</ref> Tunku Abdul Rahman menganggap Lee terlalu ekstremis dalam pandangannya, manakala politikus-politikus UMNO berpendapat bahwa Lee hanyalah berusaha menarik dukungan kaum Tionghoa Malaysia dengan retorikanya.<ref>Khaw, Ambrose (1998). [http://ourstory.asia1.com.sg/merger/lifeline/akimpos.html "This man is making too much noise"] {{Webarchive|url=https://web.archive.org/web/20060522214050/http://ourstory.asia1.com.sg/merger/lifeline/akimpos.html |date=2006-05-22 }}. Retrieved 11 November 2005.</ref> Pernyataan Lee mengenai migrasi Melayu mendapatkan bantahan keras. Albar menyerukan: "Mengatakan bahwa orang Melayu berada dalam kategori yang sama dengan ras lain adalah sebuah hinaan..." [[Koran|Surat kabar]] UMNO ''Malaya Merdeka'' memperingatkan: "Jika kaum Melayu ditekan dengan keras dan kepentingannya tidak dilindungi," kaum Melayu akan menggabungkan Malaysia dengan [[Indonesia]].<ref>Keith, p. 124.</ref> Adalah hal ini yang Tunku Abdul Rahman takuti. Baginya, golongan ultra bukanlah ekstremis sebenarnya. Adalah orang-orang yang menginginkan terbentuknya "Indonesia Raya" untuk menekan populasi Tionghoalah yang dia anggap sebagai ancaman utama.<ref>Keith, pp. 66–67.</ref>
Hubungan antar kaum yang buruk berakhir pada [[kerusuhan rasial 1964 Singapura]],<ref name="spark"/> yang secara tidak langsung oleh politikus Melayu PAP [[Othman Wok]] tuduh telah direncanakan oleh kelompok Ultra.<ref>Veloo, Ravi (Jan. 25, 1997). [http://ourstory.asia1.com.sg/independence/ref/race.html "Othman Wok on race relations"] {{Webarchive|url=https://web.archive.org/web/20150502022606/http://ourstory.asia1.com.sg/independence/ref/race.html |date=2015-05-02 }}. ''Straits Times''.</ref> Ketegangan antar kaum terus bertambah tahun-tahun setelah kerusuhan itu. Deklarasi Syed Jaafar Albar "Di mana pun saya berada, saya adalah seorang Melayu" mendapatkan tanggapan keras dari Lee Kuan Yew yang menyatakan dalam Parlemen: "Jika saya telah berpindah dan mengatakan apa yang [dia] telah katakan (''Di mana pun saya berada, saya adalah seorang Tionghoa''), di manakah kita ini? Tetapi saya terus mengingatkan orang-orang bahwa saya adalah seorang Malaysia. Saya belajar "Bahasa Kebangsaan" (''Bahasa Melayu'') dan saya menerima Pasal 153 Konstitusi."<ref>Keith, p. 128.</ref>
Baris 166:
Untuk menjaga semua hal ini, amendemen pasal-pasal yang menyentuh "isu-isu sensitif" seperti di atas beserta klausa-klausa yang mengatur undang-undang amendemen dilarang dibahas oleh parlemen tanpa persetujuan [[Majlis Raja-Raja]]. Langkah ini membuat pasal-pasal "sensitif" tersebut dikukuhkan (tak dapat diubah) dan mendapat kritik dari anggota-anggota parlemen dari pihak oposisi. Tidaklah jelas pula apakah larangan pembahasan "isu-isu sensitif" ini juga berlaku bagi larangan itu sendiri. Walau demikian, undang-undang ini tetap disahkan.<ref name="khoo_104"/> [[Undang-Undang Keselamatan Dalam Negeri]] (''Akta Keselamatan Dalam Negeri'') yang memberikan pemerintah kuasa untuk menangkap siapapun yang dianggap membahayakan keselamatan nasional untuk periode waktu tak terbatas tanpa kaji ulang hukum juga diamendemen pada tahun 1971 dengan menekankan pada "pemeliharaan keharmoninisan antarkaum".<ref>Khoo, p. 107.</ref>
Perubahan-perubahan ini mendapatkan penentangan yang keras dan pihak oposisi dan luar negeri. Ketika rancangan perubahan pertama diumumkan, Britania menuduh bahwa perubahan ini akan "mempertahankan [[sistem feodal]] yang mendominasi masyarakat Melayu" dengan "memberikan lembaga [[Kerajaan konstitusional|monarki konstitusional]] ini kuasa pemblokiran yang besar". Penyensoran isu-isu sensitif ini dicap bertolak belakang dengan seruan Tun Abdul Razak yang menyerukan "realisasi penuh masalah-masalah yang sensitif tidak boleh lagi disembunyikan dalam karpet..."<ref>Emery, Fred (Nov. 8, 1969). "Malaysia unity call against a background of fear", p. 7. ''[[The Times]]''.</ref> Beberapa kritikus berargumen bahwa Pasal 153 tidaklah lebih dari sebuah "mangkuk nasi kertas" dan bahkan tidak memberikan [[Orang Asli]] dan suku-suku aborigin lainnya hak-hak khusus Melayu.<ref>Hickling, pp. 74–75.</ref>
Perbuahan kebijakan penting lainnya berkaitan dengan bidang pendidikan. Pada tahun 1970, pemerintah Malaysia menentukan bahwa bahasa Melayu menggantikan bahasa Inggris sebagai bahasa pengantar dalam pendidikan sekolah dasar, sekolah menengah, dan perguruan tinggi. Walaupun pembiayaan pemerintah atas pendidikan kaum Tionghoa dan Tamil terus berlanjut, banyak kaum non-Melayu yang menganggap kebijakan baru ini sebagai yang "paling diskriminatif". Alasan pemerintah adalah perubahan ini akan memberikan kaum Melayu peluang mendapatkan pendidikan yang lebih baik. Selain itu, kebijakan ini juga diharapkan akan menyatukan para siswa-siswa sekolah dan memelihara keharmonisan antar kaum serta secara tidak langsung menekankan "kemelayuan negara Malaysia".<ref name="hwang_113"/>
Baris 247:
Setahun sebelumnya, Abdullah menyebut aspek paling signifikan dari kontrak sosial adalah kesepakatan masyarakat adat untuk memberikan kewarganegaraan kepada imigran Tionghoa dan India. Meskipun Abdullah melanjutkan dengan menyatakan jati diri bangsa berubah menjadi salah satu yang warga Tionghoa dan India juga bisa sebut sebagai milik mereka,<ref>{{cite web|author=Badawi, Abdullah Ahmad|year=2004|url=http://domino.kln.gov.my/kln/statemen.nsf/0/eee39330c19514e648256e7c0009f6ee?OpenDocument|title=The Challenges of Multireligious, Multiethnic and Multicultural Societies|access-date=12 November 2005|archive-url=https://web.archive.org/web/20060225004256/http://domino.kln.gov.my/kln/statemen.nsf/0/eee39330c19514e648256e7c0009f6ee?OpenDocument|archive-date=2006-02-25|url-status=dead}}</ref> pidato tersebut sebagian besar tidak diketahui ramai orang. Akhirnya, Keng Yaik menyatakan bahwa pers Melayu telah membesar-besarkan komentarnya dan salah mengutipnya. Masalah diakhiri dengan Ketua Pemuda UMNO Hishammuddin Hussein memperingatkan masyarakat untuk tidak "mengungkit masalah lagi seperti yang telah disepakati, dihargai, dipahami dan disahkan oleh Konstitusi."<ref>[http://www.bernama.com/bernama/v3/news.php?id=150404 "Don't Raise Social Contract Issue, Umno Youth Chief Warns"]. (15 August 2005). ''[[BERNAMA]]''.</ref>
Pada Januari 2006, pemerintah mengumumkan kampanye kesadaran [[Rukun Negara]]. Kantor berita pemerintah Bernama mengutip pernyataan Abdul Rahman pada tahun 1986 bahwa "Orang Melayu bukan hanya penduduk asli tetapi juga penguasa negeri ini dan tidak ada yang dapat membantah fakta ini". Pasal-pasal konstitusi yang menyinggung agama resmi [[Islam]], monarki, status bahasa Melayu sebagai bahasa nasional, dan hak-hak khusus Melayu digambarkan sebagai "dengan jelas mengeja pengakuan dan pengakuan bahwa orang Melayu adalah penduduk asli ' pribumi '[pribumi] dari negeri ini. " Kemudian dinyatakan bahwa penekanan baru pada Rukunegara adalah untuk mencegah pertanyaan lebih lanjut tentang kontrak sosial, yang "menentukan polaritas politik dan kedudukan sosial ekonomi orang Malaysia".<ref>Ramly, Rosliwaty (25 January 2006). [http://www.bernama.com.my/bernama/v3/news.php?id=177338 Appreciating The Rukun Negara] {{Webarchive|url=https://web.archive.org/web/20070324110139/http://www.bernama.com.my/bernama/v3/news.php?id=177338
Diketahui kemudian bahwa survei terhadap orang Malaysia menemukan 55% responden setuju politisi harus disalahkan karena memisahkan orang dengan memainkan politik rasial. [[Mukhriz Mahathir|Mukhriz]]—putra Mahathir dan pemimpin Pemuda UMNO—membela tindakan UMNO karena kesenjangan ekonomi dengan menegaskan bahwa selalu ada orang yang memperjuangkan setiap perlombaan untuk menyamakan keadaan. [[Shahrir Abdul Samad]], ketua BN Backbenchers 'Club, berpendapat bahwa politisi hanya menanggapi sebuah negara yang terbagi ke dalam ras yang berbeda, dengan mengajukan pertanyaan, "jika Anda berbicara tentang masalah Melayu kepada komunitas Melayu, apakah itu memainkan peran ras politik?" Presiden PPP [[M. Kayveas]] menyatakan ketidaksetujuanny dengan berkata, "Setiap 12 bulan, partai kembali ke satu perlombaan untuk memperjuangkan tujuan mereka sendiri dan, pada akhirnya, ketika pemilihan umum tiba, kita berbicara tentang Bangsa Malaysia."<ref>"Racial politics. And so, who's to blame?", p. 12. (21 March 2006). ''[[New Straits Times]]''.</ref>
|