Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
Firman.Nst (bicara | kontrib)
Tag: Suntingan perangkat seluler Suntingan peramban seluler Suntingan seluler lanjutan
Tidak ada ringkasan suntingan
Tag: VisualEditor Suntingan perangkat seluler Suntingan peramban seluler
Baris 73:
Setelah [[Soekarno]] digantikan oleh [[Soeharto]], undang-undang baru dibuat untuk mengubah susunan parlemen Indonesia. Susunan MPR yang sebelumnya ditetapkan oleh Perpres No. 12 Tahun 1959 digantikan oleh UU No. 16 Tahun 1969. Berdasarkan UU ini, jumlah anggota F-UD memperoleh kenaikan dari 94 menjadi 110 anggota. Penambahan anggota ini diakibatkan oleh peningkatan jumlah wakil-wakil dari setiap provinsi (Pasal 8 Ayat 1), dan penunjukan [[gubernur]] (Pasal 8 Ayat 2), Panglima [[Komando Daerah Militer|Kodam]], dan Komandan [[Komando Resor Militer|Korem]] (Keppres No. 83/M Tahun 1972), sebagai anggota ''ex officio'' dari F-UD. Akibatnya, jumlah anggota utusan daerah meningkat lagi menjadi 130 orang pada MPR periode 1972-1977, dan pada periode-periode selanjutnya tidak ada peningkatan yang signifikan dalam jumlah anggota.<ref>Jumlah anggota Utusan Daerah dari tahun 1971 hingga 1997 mengalami kenaikan secara minim. Hal ini disebabkan oleh proses integrasi secara bertahap provinsi Irian Jaya dan Timor Timur ke dalam lembaga legislatif, dan perubahan undang-undang yang mengatur komposisi anggota DPR/MPR, mulai dari UU No. 16 Tahun 1969 hingga UU No. 2 Tahun 1985. Lihat Pemerintah RI 1992, hlm. 3-4; Departemen Penerangan RI 1992, hlm. 30</ref>
 
Pada praktiknya, utusan daerah selama masa Soekarno dan Soeharto tidak banyak memainkan peranan penting dalam menyalurkan aspirasi daerah. Hal ini dikarenakan pemilihannya oleh DPRD yang bersangkutan, sehingga lebih didominasi oleh para pejabat setempat. Selain itu, dipilihnya anggota F-UD oleh presiden membuat F-UD (dan MPR secara keseluruhan) hanya sebagai ''rubber-stamp parliament'', dimanadi mana tugas dan fungsinya secara ''de facto'' hanyalah menyetujui segala keputusan presiden, baik secara formal maupun informal. Kelemahan lainnya adalah bahwa tidak ada keharusan bagi anggota F-UD untuk berasal dari atau bertempat tinggal di daerah yang diwakilinya. Hanya ada peraturan mengenai usia (maksimal 21 tahun), kewarganegaraan, dan tidak terlibat [[Gerakan 30 September|G30S/PKI]], serta syarat normatif lainnya bagi anggota F-UD.<ref>{{harvnb|Jaweng|Siahaan|Armanjaya|Adinabung|2005|pp=76-78}}</ref>
Reformasi yang menggulingkan Presiden Soeharto membawa dampak besar bagi lembaga legislatif, tidak terkecuali bagi F-UD. Pada MPR periode 1999-2004, jumlah anggota F-UD dipotong menjadi 130 anggota<ref>Pada pelantikan anggota MPR tanggal 1 Oktober 1999, terdapat 135 anggota F-UD. Setelah Provinsi Timor Timur memisahkan diri dari Indonesia, anggota F-UD dari Timor Timur ditarik balik.</ref> dari jumlah pada MPR periode 1997-1999 sebanyak 149 anggota.<ref>{{harvnb|Departemen Penerangan RI|1998|p=63}}</ref> Berbeda dengan periode sebelumnya, dimanadi mana jumlah anggota F-UD dari setiap provinsi disesuaikan dengan jumlah penduduknya, jumlah wakil F-UD dari setiap provinsi disamaratakan sebanyak 5 orang. Meskipun sistem keanggotaan ini sudah mulai menyerupai DPD seperti sekarang, menurut peraturan Tatib MPR, fraksi-fraksi dalam MPR hanya dibagi berdasarkan parpol, TNI/Polri, dan utusan golongan. F-UD dibubarkan dan anggota F-UD masuk ke dalam fraksi parpol menurut partai asal yang mencalonkan mereka dalam pemilihan di DPRD Provinsi.<ref>{{harvnb|Jaweng|Siahaan|Armanjaya|Adinabung|2005|p=82}}</ref>
 
Hal ini mengakibatkan F-UD tidak lain hanyalah wakil partai politik dalam parlemen, bukan merupakan wakil daerah. Para anggota F-UD yang tidak setuju dengan keputusan ini kemudian membuat secara informal Forum Utusan Daerah,<ref>Kompas, 12 Juni 2000</ref> dan fraksi Utusan Daerah kembali disahkan sebagai kelompok dalam MPR pada Sidang Tahunan MPR pada tanggal 1-9 November 2001.<ref>{{harvnb|Jaweng|Siahaan|Armanjaya|Adinabung|2005|p=83}}</ref>