Ioane Teitiota, seorang warga negara Kiribati, bersama keluarganya mengajukan suaka sebagai pengungsi iklim di Selandia Baru karena terpaksa meninggalkan negara asalnya, Kiribati, yang sangat terdampak oleh fenomena kenaikan air laut dan memiliki kualitas tanah yang buruk.<ref name="tc">Rafika Ramli (2022) "[https://theconversation.com/perubahan-iklim-bisa-ciptakan-gelombang-massal-pengungsi-tapi-keberadaan-mereka-belum-diakui-hukum-internasional-184643 Perubahan iklim bisa ciptakan gelombang massal pengungsi, tapi keberadaan mereka belum diakui hukum internasional] The Conversation</ref> Namun, upayanya ditolak pengadilan karena definisi "pengungsi" yang ada dalam aturan pengungsi internasional tidak memuat faktor perubahan iklim ataupun bencana alam. Misalnya, pada pasal 1 ayat 2 "Konvensi Pengungsi 1951", pengungsi hanya didefinisikan sebagai mereka yang mengalami "... persekusi karena alasan - alasan ras, agama, kebangsaan, keanggotaan pada kelompok sosial tertentu atau opini politik ..."
Menanggapi penolakan ini, Teitiota membawa kasus ini ke Komisi HAM PBB. Namun lagi-lagi, Komite HAM PBB menolak argumen Teitiota. Meski demikian, Komite tersebut menyepakati argumen bahwa suatu negara tidak boleh mendeportasi warga negara lain yang bermigrasi karena dampak perubahan iklim.<ref name="tc"></ref>