Aksara Sunda Kuno: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
Meminta penghapusan cepat (KPC A10). (TW)
Tidak ada ringkasan suntingan
Baris 22:
[[Edi S. Ekajati]] mengungkapkan bahwa keberadaan Aksara Sunda Kuno sudah begitu lama tergeser karena adanya ekspansi [[Kerajaan Mataram Islam]] ke wilayah Priangan kecuali [[Cirebon]] dan [[Banten]]. Pada waktu itu para menak [[Sunda]] lebih banyak menjadikan budaya [[Jawa]] sebagai anutan dan tipe ideal. Akibatnya, kebudayaan Sunda tergeser oleh kebudayaan Jawa. Bahkan banyak para penulis dan budayawan Sunda yang memakai tulisan dan ikon-ikon Jawa.
 
<!--Bahkan [[VOC]] pun membuat surat keputusan, bahwa aksara resmi di daerah Jawa Barat hanya meliputi [[Aksara Latin]], [[Aksara Arab Gundul]] (Pegon) dan [[Aksara Jawa]] ([[Cacarakan]]). Keputusan itu ditetapkan pada tanggal 3 November 1705. Keputusan itu pun didukung para penguasa Cirebon yang menerbitkan surat keputusan serupa pada tanggal 9 Februari 1706. Sejak saat itu Aksara Sunda Kuno terlupakan selama berabad-abad. Masyarakat Sunda tidak lagi mengenal aksaranya. Kalaupun masih diajarkan di sekolah sampai penghujung tahun 1950-an, rupanya salah kaprah. Pasalnya, yang dipelajari saat itu bukanlah Aksara Sunda Kuno, melainkan Aksara Jawa yang diadopsi dari Mataram dan disebut dengan Aksara [[Cacarakan]].-->
 
Aksara Sunda Kuno umumnya dijumpai pada naskah-naskah berbahan daun lontar yang tulisannya digoreskan dengan pisau. Naskah yang ditulis menggunakan aksara ini di antaranya adalah [[Bujangga Manik]], Sewa ka Darma, Carita Ratu Pakuan, Carita Parahyangan, Fragmen Carita Parahyangan, dan Carita Waruga Guru. Aksara Sunda Kuno terdapat pada kolom 89 – 92 di dalam ''Table van Oud en Nieuw Indische Alphabetten'' (Holle, 1882).