Trilaksana: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
Tjmoel (bicara | kontrib)
Tjmoel (bicara | kontrib)
k →‎Anatta: +wikify
Baris 45:
{{main|Anatta}}
Didalam Filosofi orang [[India]], konsep dari suatu Diri disebut [[Atman (Hindu)|atman]] (itu adalah, " jiwa" atau diri metafisis), yang mengacu pada suatu inti sari tak berubah-ubah/permanen yang dipahami berdasarkan atas keberadaan. Konsep ini dan konsep Brahman (''Vedantic Monistic Ideal'') yang dihormati sebagai suatu atman terakhir untuk semua mahluk, dan yang sangat dibutuhkan oleh orang India sebagai metafisika tendensi, logika, dan ilmu pengetahuan; untuk semua hal-hal yang nyata pada suatu dasar dan kenyataan, yang serupa dengan suatu format bersifat persaudaraan.
[[Sang Buddha]] menolak semua konsep atman, menekankan tidak ada ketetapan, tetapi perubahan/tidak tetap. Ia mengajar bahwa semua konsep dari suatu diri pribadi adalah substansiil salah, dan dibentuk di dalam dunia ketidak-tahuan. Di dalam sejumlah besar sutra Mahayana (contoh: [[Mahaparinibbana Sutra|Sutra Mahaparinirvana]], [[Tathagatagarbha Sutra|Sutra Tathagatagarbha]], [[Srimala Sutra|Sutra Srimala]], dan lainnya), [[Sang Buddha]] diperkenalkan sebagai pemberi penjelasan akan pengajaran ini dengan mengatakan bahwa, selama [[Skanda]] (faktor penyusun tubuh fisik dan pikiran) bukan merupakan diri, akan tetapi terdapat sesuatu yang abadi, tidak berubah, sifat kebuddhaan yang bahagia pada seluruh mahluk hidup, yang merupakan sesuatu yang tidak tercipta dan jati-diri Buddha ("Buddha-dhatu") atau "Diri Sejati" akan Sang Buddha sendiri. "Tathagatagarbha" / Sifat Buddha tidak menggambarkan suatu diri yang besar; akan tetapi, merupakan ungkapan bahasa yang positif akan "sunyata" (kehampaan) dan mewakili kemampuan untuk mewujudkan kebuddhaan melalui pelaksanaan ajaran-ajaran Agama Buddha; tujuan pengajaran akan tathagatagarbha (Sifat Buddha) adalah lebih kearah soteriologi daripada secara teoritis.<ref>{{en}} {{cite web|url=http://zencomp.com/greatwisdom/ebud/ebdha191.htm|title=Heng-Ching Shih, "The Significance Of 'Tathagatagarbha' -- A Positive Expression Of 'Sunyata.'"|accessdate=15-08-2009}}</ref>
 
Tubuh suci (atman) ini tidaklah mungkin untuk dibentuk seperti tubuh duniawi, tidak kekal, menderita "ego", yang mana berlawanan. Pada sisi lain, Esensi-Buddha atau Jati-diri Buddha juga seringkali dijelaskan sebagai kemampuan untuk mencapai kebuddhaan ("Buddhahood" - ''Bodhicitta''), daripada gejala yang telah ada yakni pemahaman akan saya atau diri sendiri.
 
Konsep Anatta di diskusikan dalam [[Milinda Panha|"Pertanyaan Raja Milinda"]], yang dirangkum pada periode "Hellenistik" Kerajaan Indo-Yunani abad ke 2 dan ke 1 SM. Pada naskah ini, bhikkhu [[Nagasena]] menunjukkan pengertian akan "tanpa-inti" yang sesungguhnya dengan mengumpamakan mahluk hidup sebagai sebuah kereta perang dan menantang raja Yunani "Milinda (Menaher) untuk menemukan inti dari kereta tersebut. Nagasena menyatakan sebagaimana sebuah kereta perang yang terbuat dari berbagai benda, tidak satupun daripadanya merupakan inti dari kereta perang sesungguhnya, tanpa bagian lain, sama seperti tidak adanya bagian dari seseorang yang merupakan suatu entitas sejati; kita dapat dibagi menjadi lima faktor pendukung - tubuh, perasaan, cerapan, bentukan mental dan kesadaran - kesadaran menjadi yang paling dekat dengan pengertian sejati akan "diri", tetapi senantiasa berubah dengan pemikiran baru sebagaimana disebutkan oleh pandangan ini.
 
Menurut beberapa pemikir baik Barat atau Timur, ajaran mengenai "tanpa-inti", dapat diartikan bahwa [[Agama Buddha]] merupakan suatu bentuk dari nihilisme atau sesuatu sejenis. Akan tetapi, seorang pemikir seperti [[Nagarjuna]] yang telah menjelaskan dengan seksama, [[Agama Buddha]] bukan semata-mata menolak pandangan akan keberadaan atau arti, tetapi kepada pembedaan keras dan gegabah antara keberadaan dan ketidak-beradaan, atau lebih antara ada atau tidak ada. Gejala tidaklah berdiri sendiri dari sebab dan kondisi dan tidak berada sebagai suatu hal yang diasingkan sebagaimana kita mengganggapnya demikian. Kurangnya kesejatian, ketidak-berubahan, Diri yang sejati pada mahluk hidup dan benda-benda tidak berarti bahwa mereka tidak mengalami pertumbuhan dan hancur pada taraf tertentu. Tetapi pada tingkat analisa yang lebih lanjut, seseorang tidak dapat mengenali sebuah obyek dari sebab dan kondisinya atau bahkan mengenali antara obyek dan subyek (sebuah pemikiran yang baru oleh para ilmuwan negara barat). [[Agama Buddha]] oleh karenanya memiliki banyak kesamaan dengan [[teori pengalaman]] (empirisme) negara Barat, [[faham pragmatis]], [[anti-fondamentalisme]], dan bahkan [[pra-strukturalisme]] dibandingkan dengan [[nihilisme]].
 
Di dalam [[Nikaya]], [[Sang Buddha]] dan para pengikutnya seringkali mempertanyakan atau menyatakan "Sesuatu yang tidak sejati, dapat berubah, dapat menderita, yang sesuai untuk dipertimbangkan demikian: 'Inilah saya, ini milik saya, ini adalah diri saya'?" Pertanyaan yang diajukan oleh Sang Buddha kepada pendengarnya apakah gejala persenyawaan sesuai untuk dianggap sebagai diri, yang mana para pendengar setuju bahwa tidaklah berharga untuk dianggap demikian. Dan dalam melepaskan keterikatan akan gejala persenyawaan, orang yang demikian meninggalkan kegembiraan, keinginan dan pendambaan akan gejala persenyawaan dan tidak terikat akan perubahannya. Ketika terbebaskan sepenuhnya dari keterikatan, pendambaan atau keinginan akan lima kelompok, orang yang demikian mengalami, kemudian melampaui penyebab utama dari penderitaan.
 
Dengan demikian, kebijaksanaan yang mendalam atau [[Prajna|prajñā]] akan tanpa-inti membangkitkan pelenyapan akan penderitaan, dan bukan merupakan debat intelektual akan ada tidaknya diri.
 
Hanya dengan memahami (bukan dengan pengertian pemikiran semata-mata, tetapi membuatnya menjadi pengalaman nyata) tiga corak umum keberadaan yang dikembangkan oleh seseorang yakni [[Prajna|prajñā]], yang merupakan penawar dari kebodohan yang merupakan akar dari seluruh penderitaan.
 
== Penafsiran oleh berbagai aliran ==